MK Ungkap Syarat Jika Perancang UU Ingin Ubah Sistem Pemilu
Mahkamah Konstitusi (MK) mengungkap syarat jika pembuat Undang-Undang ingin mengubah sistem pemilu di masa yang akan datang.
Hal itu disampaikan hakim konstitusi Saldi Isra dalam menyampaikan pertimbangan dalam putusan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 pada sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (15/6).
Meski menolak uji materi terkait sistem pemilu itu, MK tetap menyerahkan kepada pembuat Undang-Undang untuk mengubah sistem pemilihan itu di masa mendatang.
Mulanya, Saldi menjelaskan bahwa dengan menggunakan original intent dan penafsiran terhadap Pasal 22E ayat (3) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, sistem pemilihan umum proporsional dengan daftar terbuka lebih dekat dengan sistem pemilihan umum yang diinginkan oleh UUD 1945.
Kendati demikian, Saldi menyebut secara konseptual dan praktik sistem pemilu apapun yang dipilih pembentuk Undang-Undang, baik terbuka maupun tertutup, bahkan sistem distrik sekalipun tetap memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
"Dalam hal ini, jika ke depan akan dilakukan perbaikan terhadap sistem yang berlaku saat ini, pembentuk Undang-Undang harus mempertimbangkan beberapa hal," ujar Saldi.
Pertimbangan pertama adalah tidak terlalu sering melakukan perubahan, sehingga dapat diwujudkan kepastian dan kemapanan atas pilihan suatu sistem pemilihan umum.
Kedua, kemungkinan untuk melakukan perubahan harus tetap ditempatkan dalam rangka menyempurnakan sistem pemilihan umum yang sedang berlaku terutama untuk menutup kelemahan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilihan umum.
"Ketiga, kemungkinan perubahan harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilihan umum dimulai, sehingga tersedia waktu yang cukup untuk melakukan simulasi sebelum perubahan benar-benar efektif dilaksanakan," jelas Saldi.
Pertimbangan selanjutnya adalah kemungkinan perubahan tetap harus menjaga keseimbangan dan ketersambungan antara peran partai politik sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
"Dan lima, apabila dilakukan perubahan tetap melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation)," tutur dia.
MK menolak uji materi atau judicial review terkait sejumlah Pasal dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono.
Adapun salah satu pasal yang diuji dan kemudian ditolak MK, yakni Pasal 168 ayat 2 UU Pemilu yang mengatur sistem proporsional terbuka. Para pemohon ingin sistem coblos partai atau proporsional tertutup yang diterapkan. Indonesia sendiri telah menerapkan sistem proporsional terbuka sejak Pemilu 2004 lalu.
Dengan sistem proporsional tertutup, pemilih tak bisa memilih calon anggota legislatif langsung. Pemilih hanya bisa memilih partai politik, sehingga partai punya kendali penuh menentukan siapa yang duduk di parlemen.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Hakim Ketua Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan hari ini.
Hakim konstitusi Arief Hidayat menjadi satu-satunya hakim yang mempunyai pendapat berbeda atau dissenting opinion terkait putusan perkara tersebut.
(pop/ain)