Sengkarut PPDB di DKI tidak terjadi jelang tahun ajaran 2023/2024 ini saja. Keluhan serupa dialami Felicia, salah satu orang murid yang berdomisili di Jati Padang, Jakarta Selatan.
Felicia mengaku sudah merasakan masalah pada PPBD sejak 202o silam. Tahun itu dia harus mendaftarkan PPDB anak pertamanya. Namun, anaknya terlempar dari daftar nama penerima PPDB untuk jenjang SMP jalur akademik dan zonasi.
"Jadi kalo 2020 itu anak pertama saya mau masuk SMA nah itukan tepat dengan Covid, ujian nasional ditiadakan. Jadi enggak ada alat ukurnya kan, diputuskan kan dari situ untuk jalur prestasi nilai raport dikali akreditasi sekolah," kata Felicia kepada CNNIndonesia.com, Rabu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, kata Felicia, nilai akademik anaknya tinggi dan sekolah yang dipilih juga dekat dengan rumahnya. Dia memilih jalur zonasi, tetapi masalah umur anaknya menjadi hambatan.
"Itu anak kami sudah kalah, karena akreditasi sekolah cuma 93. Meski nilai rapot anak kami tinggi. Tentunya kalah dengan nilai akreditasi sekolah yang 96 atau 100," kata dia.
"Lewat jalur zonasi, ternyata yang digunakan itu umur, usia anak. Anak saya SD itu swasta, jadi masuk SD umur 6 tahun, otomatis lulusnya lebih muda dibanding teman-temannya yang lain ada yang 7 atau 7 setengah," ucapnya lagi.
Kejadian itu berulang pada 2023 ini saat Felicia harus mendaftarkan anaknya masuk ke SMA Negeri. Anak Felicia memilih SMAN 28 Jakarta dengan alasan jarak sekolah tersebut hanya sekitar 800 meter dari rumahnya. Namun, kata dia, di sekolah itu ternyata anaknya masuk prioritas tiga.
Pesimistis dengan SMAN 28 Jakarta, anak Felicia juga mendaftar ke SMAN 38 Jakarta. Meski jarak rumahnya lebih jauh ke SMAN 38, Felicia optimistis anaknya bisa masuk lewat jalur akademik.
Nyatanya, nilai akademik yang bagus juga ternyata tak menyelamatkan anaknya di SMAN 38. Anaknya pun bergeser ke sekolah yang lebih jauh lagi, SMAN 60 di Menteng Atas. Akhirnya, anak Felicia lolos lewat jalur akademik.
"Kakaknya tadi yang mau masuk SMA itu kembali keinginannya kandas. Karena dia udah ada tujuan mau ke SMA 28 atau 38 nah di dua SMA ini terjadi lonjakan nilai, itu lagi akademik dan sertifikat nonakademik dimasukkan," ucap Felicia.
"Ide atau cita-cita ini kan menciptakan anak yang komplit, yang prestasi akademik dan non-akademik kuat, tapi kan tidak semua orang bisa seperti itu, ada anak yang fokus di akademik, ada anak yang bagus di non-akademik, kalau perhitungan nilai akhirnya digabungkan dengan formulasi seperti itu, akhirnya ya tidak adil," imbuhnya.
CNNIndonesia.com bertanya ke salah satu Posko Layanan PPDB DKI Jakarta mengenai keluhan-keluhan yang terangkum dari proses penerimaan siswa baru tahun ini.
Salah satu petugas di Posko Layanan PPDB DKI Jakarta Wilayah I Jakarta Pusat, Redy Ferianto mengakui banyak keluhan warga terkait sistem penerimaan siswa baru itu. Dia mengaku sudah menerima 549 aduan sejauh ini.
Aduan itu, kata Fery, bukan hanya berasal dari warga di Jakarta Pusat saja, melainkan dari wilayah lain. Fery menyebut mayoritas warga mengeluhkan hal yang bersifat teknis.
"Kendalanya kebanyakan teknis, seperti lupa password, kesulitan unggah dokumen. Sama prapendaftaran bagi siswa luar DKI atau siswa lulusan 2021/2022. Itu harus melalui prapendaftaran," kata Fery saat ditemui CNNIndonesia.com, Rabu.
Fery juga mengakui sejumlah orang tua mengeluhkan anaknya yang terpental dari sekolah meski mempunyai nilai akademis yang bagus di rapor anak mereka.
Fery mengatakan alasan mereka terpental karena tergeser oleh calon peserta didik yang mempunyai nilai lebih besar.
"Iya gitu [ada nilai yang lebih tinggi], kita jelaskan seleksinya untuk jalur akademik, jika nilainya sama nanti prosesnya seperti ini, nah seleksi berikutnya pakai kriteria apa, sampai terakhir itu waktu mendaftarnya jadi yang terakhir," ucapnya.
"Karena untuk nilai akhir itu mempertimbangkan nilai rapor rata-rata berapa, trus dari situ peringkat di sekolahnya berapa, karena untuk dapat nilai rapor dengan nilai sekian itu standarisasi tiap sekolah kan berbeda," lanjutnya.
Selain masalah nilai, Fery juga menjelaskan banyak calon peserta didik yang terpental dari sekolah yang didaftarkannya karena alasan zonasi.
Fery menjelaskan jalur zonasi dihitung berdasarkan kedekatan RT dengan sekolah, bukan berdasarkan pengukuran garis lurus.
"Jadi prioritas pertama itu RT yang bersinggungan langsung dengan sekolah atau RT tempat sekolah itu berada. Prioritas kedua adalah di luar prioritas satu berdasarkan rapat dengan ketua RT/RW," ucap dia.
CNNIndonesia.com juga telah menghubungi Sekretaris Disdik DKI Agus Ramdani untuk memintai keterangan terkait permasalahan PPDB. Namun, hingga tulisan ini tayang, yang bersangkutan belum juga merespons.