Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah orang tua mengeluhkan sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2023/2024 yang harus diikuti anak-anaknya untuk masuk sekolah negeri.
Sejak beberapa tahun lalu pemerintah pusat telah menetapkan pelaksanaan PPDB dilakukan secara daring (online) di masing-masing daerah dengan skema utama zonasi dan jalur lain seperti afirmasi maupun prestasi.
Namun, kebingungan selalu terlihat di kalangan orang tua maupun calon siswa terkait pelaksanaan PPDB untuk mendapatkan kursi di sekolah yang diinginkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada gelaran PPDB 2023/2024 di lingkungan DKI Jakarta salah satu orang tua yang mengeluh bingung adalah Maya.
"Saya bingung dan tidak mengerti akan cara dan aturan yang sangat rumit di PPDB ini," kata Maya saat ditemui CNNIndonesia.com, Rabu (21/6).
Anaknya sudah mengikuti PPDB jalur akademik di SMAN 68 Jakarta, namun terlempar alias tak bisa masuk. Padahal, dia merasa nilai akademik di rapor anaknya tidak buruk. Sementara, anak yang mempunyai nilai akademik di bawah anaknya lolos.
Anaknya pun mencoba jalur afirmasi. Namun, hasilnya sama. Padahal, kata dia, anaknya pemegang Kartu Indonesia Pintar (KIP), yang seharusnya menjadi prioritas.
Harapan terakhirnya adalah lewat jalur zonasi. Dia tinggal di Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat, satu wilayah dengan sekolah yang didaftarkan anaknya.
Maya mengaku sempat optimistis anaknya akan lolos PPDB. Sebab, jarak dari rumahnya ke SMAN 68 dekat. Namun, saat mendaftar, secara otomatis dia masuk ke prioritas tiga.
Maya kembali bingung karena anak temannya yang mendaftar di sekolah yang sama masuk prioritas dua lewat jalur zonasi tersebut. Padahal, jarak rumah dia lebih dekat ke SMAN 68 dibandingkan dari sekolah itu ke rumah temannya.
"Saya RW 03 dan teman saya RW 04 dan 05," kata dia.
Akibat kebingungan, Maya mengadukan kasus sengkarut PPDB anaknya ke posko yang disediakan Pemprov DKI. Saat ditemui pada Rabu siang itu, Maya mengaku belum juga mendapat titik terang.
Maya ketar-ketir jika anaknya tak lolos jalur zonasi. Dia tak bisa membayangkan harus menyekolahkan anaknya di SMA swasta.
Saat ini Maya merupakan orang tua tunggal dari tiga anak yang masih harus mengenyam bangku sekolah. Maya juga tak mempunyai penghasilan tetap.
Maya mengaku pesimistis dengan program PPDB Bersama. Selain kuota yang tersedia sedikit, Maya juga tak menemukan SMA swasta terdekat yang bekerja sama dengan Pemprov untuk program tersebut.
"Semakin bingung saya. Sementara saya single parent dan sudah tidak bekerja. ketiga anak saya adalah anak yatim. Dua anak saya [lainnya] masih SD naik ke kelas 4 dan kelas 6," ujarnya.
"Ini bukan berat doang, pake banget [beratnya]," lanjutnya lagi.
PPDB Bersama adalah program Dinas Pendidikan DKI dengan sejumlah SMA/SMK swasta untuk menampung calon peserta didik yang tidak lolos PPDB sekolah negeri.
Calon peserta didik yang lolos program PPDB Bersama tetap dibiayai oleh pemerintah, baik untuk uang pakal maupun biaya operasional (SPP) setiap semesternya.
Maya bukan hanya bingung, dia juga sedih karena anaknya terlihat frustasi dengan ketidak jelasan nasibnya imbas sengkarut PPDB ini.
"Menyulitkan dan bikin mental anak rusak karena udah nilainya bagus, tapi enggak dapat sekolah. Teman-temannya yang nilainya gak bagus tapi dapat sekolah," ujar dia.
Berlanjut ke halaman berikutnya...
Sengkarut PPDB di DKI tidak terjadi jelang tahun ajaran 2023/2024 ini saja. Keluhan serupa dialami Felicia, salah satu orang murid yang berdomisili di Jati Padang, Jakarta Selatan.
Felicia mengaku sudah merasakan masalah pada PPBD sejak 202o silam. Tahun itu dia harus mendaftarkan PPDB anak pertamanya. Namun, anaknya terlempar dari daftar nama penerima PPDB untuk jenjang SMP jalur akademik dan zonasi.
"Jadi kalo 2020 itu anak pertama saya mau masuk SMA nah itukan tepat dengan Covid, ujian nasional ditiadakan. Jadi enggak ada alat ukurnya kan, diputuskan kan dari situ untuk jalur prestasi nilai raport dikali akreditasi sekolah," kata Felicia kepada CNNIndonesia.com, Rabu.
Padahal, kata Felicia, nilai akademik anaknya tinggi dan sekolah yang dipilih juga dekat dengan rumahnya. Dia memilih jalur zonasi, tetapi masalah umur anaknya menjadi hambatan.
"Itu anak kami sudah kalah, karena akreditasi sekolah cuma 93. Meski nilai rapot anak kami tinggi. Tentunya kalah dengan nilai akreditasi sekolah yang 96 atau 100," kata dia.
"Lewat jalur zonasi, ternyata yang digunakan itu umur, usia anak. Anak saya SD itu swasta, jadi masuk SD umur 6 tahun, otomatis lulusnya lebih muda dibanding teman-temannya yang lain ada yang 7 atau 7 setengah," ucapnya lagi.
Kejadian itu berulang pada 2023 ini saat Felicia harus mendaftarkan anaknya masuk ke SMA Negeri. Anak Felicia memilih SMAN 28 Jakarta dengan alasan jarak sekolah tersebut hanya sekitar 800 meter dari rumahnya. Namun, kata dia, di sekolah itu ternyata anaknya masuk prioritas tiga.
Pesimistis dengan SMAN 28 Jakarta, anak Felicia juga mendaftar ke SMAN 38 Jakarta. Meski jarak rumahnya lebih jauh ke SMAN 38, Felicia optimistis anaknya bisa masuk lewat jalur akademik.
Nyatanya, nilai akademik yang bagus juga ternyata tak menyelamatkan anaknya di SMAN 38. Anaknya pun bergeser ke sekolah yang lebih jauh lagi, SMAN 60 di Menteng Atas. Akhirnya, anak Felicia lolos lewat jalur akademik.
"Kakaknya tadi yang mau masuk SMA itu kembali keinginannya kandas. Karena dia udah ada tujuan mau ke SMA 28 atau 38 nah di dua SMA ini terjadi lonjakan nilai, itu lagi akademik dan sertifikat nonakademik dimasukkan," ucap Felicia.
"Ide atau cita-cita ini kan menciptakan anak yang komplit, yang prestasi akademik dan non-akademik kuat, tapi kan tidak semua orang bisa seperti itu, ada anak yang fokus di akademik, ada anak yang bagus di non-akademik, kalau perhitungan nilai akhirnya digabungkan dengan formulasi seperti itu, akhirnya ya tidak adil," imbuhnya.
[Gambas:Photo CNN]
Penjelasan petugas PPDB
CNNIndonesia.com bertanya ke salah satu Posko Layanan PPDB DKI Jakarta mengenai keluhan-keluhan yang terangkum dari proses penerimaan siswa baru tahun ini.
Salah satu petugas di Posko Layanan PPDB DKI Jakarta Wilayah I Jakarta Pusat, Redy Ferianto mengakui banyak keluhan warga terkait sistem penerimaan siswa baru itu. Dia mengaku sudah menerima 549 aduan sejauh ini.
Aduan itu, kata Fery, bukan hanya berasal dari warga di Jakarta Pusat saja, melainkan dari wilayah lain. Fery menyebut mayoritas warga mengeluhkan hal yang bersifat teknis.
"Kendalanya kebanyakan teknis, seperti lupa password, kesulitan unggah dokumen. Sama prapendaftaran bagi siswa luar DKI atau siswa lulusan 2021/2022. Itu harus melalui prapendaftaran," kata Fery saat ditemui CNNIndonesia.com, Rabu.
Fery juga mengakui sejumlah orang tua mengeluhkan anaknya yang terpental dari sekolah meski mempunyai nilai akademis yang bagus di rapor anak mereka.
Fery mengatakan alasan mereka terpental karena tergeser oleh calon peserta didik yang mempunyai nilai lebih besar.
"Iya gitu [ada nilai yang lebih tinggi], kita jelaskan seleksinya untuk jalur akademik, jika nilainya sama nanti prosesnya seperti ini, nah seleksi berikutnya pakai kriteria apa, sampai terakhir itu waktu mendaftarnya jadi yang terakhir," ucapnya.
"Karena untuk nilai akhir itu mempertimbangkan nilai rapor rata-rata berapa, trus dari situ peringkat di sekolahnya berapa, karena untuk dapat nilai rapor dengan nilai sekian itu standarisasi tiap sekolah kan berbeda," lanjutnya.
Selain masalah nilai, Fery juga menjelaskan banyak calon peserta didik yang terpental dari sekolah yang didaftarkannya karena alasan zonasi.
Fery menjelaskan jalur zonasi dihitung berdasarkan kedekatan RT dengan sekolah, bukan berdasarkan pengukuran garis lurus.
"Jadi prioritas pertama itu RT yang bersinggungan langsung dengan sekolah atau RT tempat sekolah itu berada. Prioritas kedua adalah di luar prioritas satu berdasarkan rapat dengan ketua RT/RW," ucap dia.
CNNIndonesia.com juga telah menghubungi Sekretaris Disdik DKI Agus Ramdani untuk memintai keterangan terkait permasalahan PPDB. Namun, hingga tulisan ini tayang, yang bersangkutan belum juga merespons.