LIPUTAN KHUSUS

Menyoal Liberalisasi dan Kapitalisasi dalam RUU Kesehatan

CNN Indonesia
Selasa, 27 Jun 2023 12:13 WIB
Dokter, perawat, hingga bidan menggelar aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di Kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Senin (8/5/2023). (CNN Indonesia/Adi Ibrahim)
Jakarta, CNN Indonesia --

Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law tentang Kesehatan telah disepakati untuk ditindaklanjuti pada pembicaraan tingkat II rapat paripurna usai tujuh fraksi menyetujui. Sementara dua fraksi lainnya di parlemen yakni Demokrat dan PKS menolak.

Proses pembentukan dan pembahasan calon beleid ini juga diwarnai protes dari sejumlah elemen masyarakat dan lima organisasi profesi (OP) khususnya. Mereka yakni IDI, PDGI, PPNI, IBI, dan IAI.

Mereka menilai liberalisasi ditunjukkan melalui dua pasal dalam RUU Kesehatan yang menyoal perlindungan dan kepastian hukum terhadap dokter dan nakes, serta bergesernya kewenangan, tugas, dan tanggung jawab organisasi profesi.

Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi menilai RUU itu berpotensi mengkriminalisasi dan melemahkan profesi dokter dalam empat UU OP yang ada, yakni UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU Nomor 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, dan UU Nomor 4 tahun 2019 tentang Kebidanan.

Adib mengatakan dalam RUU Kesehatan terdapat ancaman pidana yang membuat kekhawatiran tenaga medis dan nakes dalam menangani pasien. Apalagi menurutnya konsiderans dan penjelasan mengenai kesalahan dan kelalaian yang berujung pemidanaan tidak dijelaskan secara rinci.

Misalnya pada pasal 282 ayat (1) butir a tertuang, 'Tenaga medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik berhak; a) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melakukan tugas sesuai standar profesi, standar pelayanan profesi dan standar prosedur operasional'.

Kemudian penjelasan pasal 282 ayat (1) huruf a yang dimaksud dengan 'perlindungan hukum' adalah sesuatu jaminan tidak dinyatakan bersalah apabila melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional.

Adib menilai norma tersebut masih bersifat abstrak sehingga butuh yang sifatnya konkret. Contohnya, dalam UU nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, pada pasal 16 bab IV hak dan kewajiban advokat tertulis mereka tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam itikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun luar pengadilan.

Dengan demikian, OP menurutnya mengusulkan agar redaksional Pasal 282 ayat (1) butir a RUU Kesehatan diganti dengan, 'Tenaga medis dan tenaga kesehatan tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas sesuai standar profesi, standar pelayanan profesi dan standar prosedur operasional'.

Adib menyinggung pasal perlindungan nakes dan tenaga medis yang tertuang dalam RUU Kesehatan belum cukup kuat dan dikhawatirkan malah memunculkan fenomena defensive medicine yang bisa berimbas pada naiknya biaya pengobatan. Mengapa demikian?

Adib menjelaskan praktik defensive medicine akan membuat dokter misalnya takut untuk memberikan diagnosis, sehingga dia memilih melakukan pemeriksaan tambahan seperti CT Scan, MRI, dan sebagainya hingga mendapatkan hasil yang benar-benar valid.

"Jadi karena takut, kalau ada masalah kita nanti jadi dipidana, maka defensive medicine," ujarnya.

OP, lanjut Adib, juga menilai secara keseluruhan RUU ini bermasalah karena tidak taat dan patuh asas serta prematur, sehingga mengundang protes dari masyarakat luas, termasuk para dokter dan tenaga medis se-Indonesia

"RUU Kesehatan secara filosofis, yuridis dan sosiologis ternyata tidak jauh lebih baik dari UU yang akan dihapuskannya, yang selama ini sudah harmonis walaupun terdapat kekurangan sedikit di dalamnya," ujar Adib.

Sementara pada aspek kapitalisasi, salah satunya pada aturan yang memperbolehkan tenaga medis dan nakes bekerja di Indonesia. Selama ini, kedatangan WNA hanya untuk proses transfer teknologi dan bukan dalam rangkaian bekerja.

Adapun Adib membantah selama ini OP berupaya mempersulit masuknya diaspora atau WNI lulusan luar negeri untuk bekerja di Indonesia. Menurutnya selama ini proses penyaluran diaspora sudah sesuai ketentuan yang mempertimbangkan banyak hal.

Salah satu yang dikhawatirkan adalah WNA ataupun diaspora belum terbiasa menangani penyakit endemik yang berbeda, pun dengan penyakit tropis dan sub-tropis yang kemungkinan belum pernah mereka tangani.

"Masuknya nakes asing hanya dengan portofolio pernah praktik lima tahun di negaranya, tidak ada adaptasi, berbahaya untuk keselamatan pasien," kata dia.



Senada, Ketua Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI) Setyo Widi Nugraha menilai Indonesia harus lebih hati-hati dalam menerapkan kebijakan ini. Sebab menurutnya OP selama ini sudah berupaya menjaga dan menjalankan kode etik dalam berprofesi.

Widi juga tak ingin ada anggapan bahwa para dokter dan nakes di OP berupaya menjegal baik diaspora dan WNA lantaran mereka merasa tersaingi secara kemampuan atau bahkan takut kehilangan ladang rejeki.

"Jangan Indonesia membuka selebar-lebarnya sementara negara lain justru menjaga. Mereka selalu menjaga supaya dokter yang berpraktik di negara tertentu itu kualitasnya baik dan sama dengan kualitas minimum yang ada di negaranya," kata Widi.

Widi juga menyoroti RUU Kesehatan yang menghapus kewajiban bisa berbahasa Indonesia bagi WNA. Padahal menurutnya kemampuan bisa berbahasa Indonesia bertujuan untuk menyesuaikan pasien di Indonesia yang mayoritas berasal dari kelas menengah.

Dengan WNA yang diperbolehkan memakai bahasa selain Indonesia, maka menurutnya juga menunjukkan bahwa peruntukan mereka hanya untuk pasien kalangan menengah ke atas.

"Hati-hati dengan dokter asing. Tapi kami ingin kok dokter asing itu memiliki kontribusi membangun Indonesia. Bukan datang berpraktik lalu mereka pergi dan akhirnya ternyata devisa yang katanya kita hilang berapa? 600 ribu orang pergi, menjadi 10 juta orang yang pergi devisanya, atau 20 juta pergi karena uang lari semua. Jadi kan terbalik gitu, jadi itu harus dijaga dengan baik," ujar Widi.



Kemenkes jamin perlindungan nakes

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Azhar Jaya menegaskan pemerintah tetap menjamin perlindungan kepada para tenaga medis dan nakes sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

"Kalau bisa dibilang istilahnya RUU ini tidak memberikan perlindungan pada dokter, maka yuk kita lihat pasal-pasalnya," kata Azhar.

Azhar lantas mengklaim justru pemerintah malah menambah proteksi pada tenaga medis dan nakes melalui daftar inventaris masalah (DIM) RUU Kesehatan yang telah diserahkan kepada Komisi IX DPR RI sejak 5 April.

Azhar menyebut baik tenaga medis maupun nakes sebagai garda terdepan dalam pelayanan kesehatan sudah sepatutnya mendapat haknya untuk mendapatkan perlindungan hukum yang baik. Tenaga medis dan nakes menurutnya merupakan mitra strategis pemerintah dalam mewujudkan transformasi kesehatan.

Dalam RUU ini, malah pemerintah mengusulkan tambahan substansi hadirnya hak bagi peserta didik baik peserta koas dan residen untuk mendapatkan perlindungan hukum, yang tertuang dalam pasal Pasal 208 E ayat (1) huruf a draft usulan pemerintah.

"Dia [IDI] melihat pasal bagian depan, dia tidak melihat yang ke belakang justru kami bahkan menambah pasal 208 E, kita pikirin sampai peserta didik itu kita lindungi, yang tadinya belum ada," lanjutnya.

Azhar melanjutkan dalam RUU ini juga akan ada pengaturan substansi hak tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk menghentikan pelayanan apabila mendapat perlakuan kekerasan fisik dan verbal.

Selain adanya usulan baru, hak bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang sebelumnya sudah tercantum dalam Undang Undang Kesehatan yang ada tidak hilang.

Terutama pada substansi perlindungan hukum selama menjalankan praktik sesuai standar yang tertuang dalam Pasal 282 ayat (1) huruf a; Perlindungan hukum bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan di luar kompetensinya dalam kondisi tertentu yang tertuang dalam pasal 296.

Pun pada RUU ini, pemerintah menurutnya malah mengusulkan adanya penghapusan pada substansi tuntutan bagi tenaga medis atau nakes yang telah menjalani sidang disiplin atau alternatif penyelesaian sengketa, yang tertuang pada pasal 328.

"Dan kalau yang dipermasalahkan soal imunitas dokter, pada pasal 322 ayat (4) ini mengedepankan alternatif penyelesaian sengketa dalam sengketa hukum. Dalam DIM sudah jelas kalau toh salah, aparat wajib menyelesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif," ujar Azhar.

"Jadi, bukan berarti seorang nakes itu kebal hukum sehingga kalau memang ada kesalahan ya diproses," imbuhnya.

Cerita Diskriminasi Diaspora: Prosesnya Berbelit-belit


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :