LIPUTAN KHUSUS

Menyoal Liberalisasi dan Kapitalisasi dalam RUU Kesehatan

CNN Indonesia
Selasa, 27 Jun 2023 12:13 WIB
Ketua Umum PB IDI Adib Khumaidi menilai RUU Kesehatan berpotensi mengkriminalisasi dan melemahkan profesi dokter.
Ilustrasi fasilitas kesehatan. (Antara Foto/ARI BOWO SUCIPTO)

Sasha--bukan nama sebenarnya--menaruh besar harapan setelah menyelesaikan studi S2 di Amerika Serikat. Ia bakal langsung berhadapan dengan pasien atau langsung menjalani program internship. Namun, nyatanya aral menghadang perjalanannya.

Sasha bahkan merasa menerima perlakuan diskriminasi bila dibandingkan dengan mahasiswa kedokteran lulusan Indonesia. Padahal menurutnya aturan penyederhanaan diaspora sudah berlaku sejak 2016, namun ia menilai tidak ada bedanya, tak lebih sekadar kebijakan yang hanya formalitas di atas kertas.

"Jadi untuk proses pendaftarannya saja saya menghabiskan waktu selama satu tahun. Itu hanya untuk pendaftarannya saja lho ya," kata Sasha.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sasha merasakan proses adaptasi dokter lulusan luar negeri terlalu berbelit. Penilaian uji kompetensi sebelum praktik disebutnya juga tidak jelas lantaran terbagi di dua ujian yakni uji kompetensi dokter Indonesia (UKDI) dan uji kompetensi mahasiswa program profesi dokter (UKMPPD).

Ia juga mengatakan perbedaan perlakuan antara dokter lulusan dalam negeri dan luar negeri juga berkaitan dengan pungutan biaya uji kompetensi. Mereka dikenakan biaya dua kali lipat lebih dari lulusan luar negeri, padahal statusnya sama-sama WNI.

"Jadi prosesnya memang berbelit-belit dengan melewati berbagai proses, padahal bisa selesai di KKI saja. Setelah dari MKKI dan KDI, suratnya dikembalikan ke KKI. Setelah dapat surat itu baru kita bisa mulai adaptasi ke rumah sakit yang kita daftar," kata dia.

Sasha juga mengaku mereka seolah kembali menjadi mahasiswa Koas dan tidak mendapatkan STR maupun SIP. Bila berhitung dari masa pendaftaran setahun, ditambah masa adaptasi 1-2 tahun.

"Ditambah lagi internship, padahal kita sudah internship di luar negeri. Empat tahun paling cepat bisa selesai hanya untuk dokter umum," ujarnya.

Sasha selanjutnya juga menyoroti apa parameter yang digunakan oleh pelaksana kebijakan dalam menentukan perbandingan ranking universitas luar negeri dan Indonesia.

Ia pribadi menyarankan agar tahap verifikasi tidak seruwet saat ini. Pun apabila mereka perlu penyetaraan pengetahuan, mengapa diaspora tidak diberikan materi ujian sama dengan lulusan luar negeri dan malah harus mengikuti ujian dua kali.

"Yang saya harapkan tentu, kalau soal kesehatan, kenapa harus ada ikut campur organisasi masyarakat? Kenapa tidak kasih pemerintah saja?" ujarnya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Kedokteran UI (FKUI) Ari Fahrial Syam sepakat bahwa diaspora harus melalui proses adaptasi. Namun ia menegaskan bahwa adaptasi itu tak perlu dilakukan di dunia pendidikan.

"Dokter adaptasi itu prinsipnya saya mendukung, tapi harus ada prosesnya. Apakah dia betul-betul proses pendidikannya lengkap. Di rumah sakit saja, ada dokter senior yang mendampingi," ujar Ari.

Sebanyak tujuh fraksi yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN, dan PPP setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU Omibus Law Kesehatan pada rapat paripurna DPR RI dengan beberapa catatan, sementara dua fraksi lainnya di parlemen yakni Demokrat dan PKS menolak.Sebanyak tujuh fraksi yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PAN, dan PPP setuju untuk melanjutkan pembahasan RUU Omibus Law Kesehatan pada rapat paripurna DPR RI dengan beberapa catatan, sementara dua fraksi lainnya di parlemen yakni Demokrat dan PKS menolak. (CNN Indonesia/Khaira Ummah Junaedi Putri)

WNA nakes untuk daerah terpencil

Direktur Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Kemenkes Anna Kurniati mengatakan salah satu alasan pemerintah mempermudah syarat masuk WNA tenaga kesehatan dan medis di Indonesia lantaran diharapkan mereka mampu mengisi kekosongan posisi nakes di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T).

Sebab hingga saat ini masih banyak tenaga kesehatan dan medis Indonesia yang enggan didistribusi di daerah 3T.

"Disparitas itu masih ada di daerah-daerah yang memang tidak diminati oleh nakes kita, seperti daerah terpencil. Kalau memang kemudian tidak diminati, kenapa tidak kalau ada WNA yang mau ke sana, kan begitu ya," kata Anna.

Anna menyebut selama ini terdapat rumah sakit yang sepi peminat seperti di Papua dan Kalimantan Barat. Padahal mereka telah membuka lowongan pekerjaan melalui berbagai platform. Salah satu solusi dari mereka kemudian mempertanyakan apakah WNA boleh daftar dan nantinya praktik di situ.

Anna mengatakan salah satu niat pemerintah melakukan simplifikasi WNA nakes di Indonesia lantaran saat ini banyak masyarakat yang memilih berobat ke luar negeri seperti Malaysia dan Singapura.

Anna menyebut Kemenkes melalui RUU Kesehatan berniat melakukan penyederhanaan syarat WNA maupun WNI lulusan luar negeri alias diaspora untuk bekerja di Indonesia.

Kemenkes menurutnya juga telah menyiapkan evaluasi kompetensi dan program adaptasi secara matang. Nantinya baik diaspora maupun WNA harus mengantongi Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP) yang berlaku dengan batas waktu tertentu.

Anna menjelaskan program adaptasi ini bertujuan agar WNA maupun diaspora belajar terkait jenis penyakit endemik yang berbeda, pun dengan penyakit tropis dan sub-tropis yang kemungkinan belum pernah mereka tangani.

Di sisi lain, menurutnya, Kemenkes juga sepakat dengan penghapusan syarat wajib bisa berbahasa Indonesia bagi WNA tenaga kesehatan dan tenaga medis yang berniat praktik di fasilitas kesehatan Indonesia. Syarat wajib berbahasa Indonesia itu sudah tak tertuang dalam draf RUU Kesehatan.

Anna mengatakan syarat itu tidak lagi relevan diterapkan saat ini. Kendati demikian, Kemenkes menurutnya tetap menjamin kompetensi dan syarat masuk WNA yang berkualitas.

"Jadi memang kita juga sejalan dengan RUU bahwasanya bahasa Indonesia itu tidak menjadi syarat utama ketika WNA masuk," kata Anna.

Kemenkes menurut Anna telah memikirkan solusi yakni salah satunya meminta agar WNA tersebut difasilitasi dengan pelatihan bahasa Indonesia oleh employer atau pihak resmi yang menjamin kedatangan WNA tersebut ke Indonesia.

Selain itu, nanti dalam praktiknya WNA tenaga kesehatan dan tenaga medis tersebut akan didampingi oleh tenaga kerja lokal yang bisa membantu WNA berkomunikasi dengan pasien.

"Jadi dia [WNA] juga ada proses transfer of knowledge kepada tenaga kesehatan kita yang lokal. Jadi itu yang membuat kemampuan bahasa yang harus dipunya di awal itu menjadi tidak terlalu relevan karena kan mereka baru mau masuk ini," kata dia.

Rawan Penyalahgunaan Data Genomik WNI

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER