Dua transpuan korban pemerasan oknum polisi, Kamaluddin alias Deca dan Ariyanto alias Fury, mengajukan permohonan perlindungan sebagai korban dan saksi ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan Muhammad Alinafiah Matondang mengatakan permohonan perlindungan itu telah diterima oleh LPSK pada Selasa (27/6).
Wujud perlindungannya berupa fisik, pemenuhan hak prosedural, perlindungan hukum, psikologis, rehabilitasi psikososial.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dan untuk itu Deca dan Fury telah melengkapi syarat dan menyerahkan bukti yang ada untuk menguatkan permohonan perlindungan ke LPSK tersebut," kata Alinafiah, Rabu (28/6).
Dia menjelaskan permohonan itu diajukan karena Deca dan Fury merasa ketakutan akibat tekanan untuk berdamai dengan terduga pelaku pemerasan yang terjadi di markas Polda Sumut.
"Intimidasi itu disampaikan melalui keluarga, teman dan bahkan oleh Perwira Polisi yang langsung ke rumah korban Deca diketahui bernama Kombes Budiman Bostang dan AKBP Budi," ungkapnya.
Selain itu, sejak muncul laporan pemerasan oleh oknum itu, LBH Medan berulangkali dihubungi oleh banyak pihak, termasuk oknum mengaku personel Polda Sumut, agar Deca dan Fury mengurungkan niat untuk melanjutkan proses hukum ini.
"Mereka menawarkan pengembalian uang hasil pemerasan namun secara tegas ditolak karena selain perbuatan terduga pelaku ini merupakan tindak pidana," ujar dia.
"Perbuatan ini juga bentuk kesewenang-wenangan kekuasaan oknum kepolisian dan pelanggaran HAM bagi masyarakat yang dapat saja berulang yang bila tidak diproses tuntas," imbuhnya.
Alinafiah berharap LPSK dapat mengabulkan permohonan perlindungan Deca dan Fury selaku korban dan saksi. Ia juga meminta Kapolda Sumut memberikan atensi serius penegakan hukum terhadap bawahannya yang diduga terlibat.
"Kami minta Polda Sumut segera menyelesaikan rangkaian penyelidikan dan penyidikan tindak pidana serta penetapan tersangka dan melakukan penahanan terhadap terduga pelaku karena melanggar Pasal 368 Jo. Pasal 220 Jo. Pasal 318 KUHPidana," tegasnya.
LBH Medan, tambahnya, juga mendesak agar Polda Sumut segera menyelesaikan penyelidikan dan penyidikan pelanggaran etik dengan kategori berat. Selain itu, menjatuhkan pelaku hukuman Pemberhentian Tidak Dengan Hormat.
"Karena para terduga pelaku ini telah melakukan pelanggaran terhadap UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pelanggaran Etik sehingga patut dan wajar apabila Kapolda Sumut memeriksa Kedua Perwira tersebut secara etik berdasarkan Perpol Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri," ucapnya.
Sebelumnya, peristiwa dugaan pemerasan dan rekayasa kasus itu bermula saat Deca alias Kamaluddin (27) dan Fury alias Rianto bertemu dengan teman prianya di sebuah hotel pada 19 Juni.
Keduanya diminta untuk membuka seluruh pakaiannya. Namun, Deca dan Fury menolak dan meminta uang panjar kepada laki-laki tersebut. Kemudian, laki-laki tersebut masuk ke dalam kamar mandi.
Tak lama, pintu kamar mereka digedor dari luar. Setelah pintunya dibuka, ternyata delapan pria berpakaian preman yang mengaku dari Polda Sumut sudah menunggu di depan pintu. Pria yang memesan mereka pun keluar dari dalam kamar mandi.
Usai melakukan pemeriksaan, polisi mengklaim menemukan sabu dari tangan teman pria kedua transpuan tadi. Setelah itu, kedua korban dibawa dan langsung ditahan.
Selama ditahan, Deca dan Fury ditawarkan untuk berdamai dengan catatan harus membayar sejumlah uang. Awalnya korban diminta menyetorkan Rp100 juta. Namun, Korban hanya menyanggupi membayar Rp50 juta.
Belakangan kedua korban meminta pendampingan hukum ke LBH Medan. LBH Medan melaporkan oknum polisi tersebut atas kasus pemerasan dan rekayasa kasus. Akan tetapi, SPKT Polda Sumut hanya menerima laporan soal dugaan pemerasan saja.
(arh)