Sukarno jelas menunjukkan kedekatannya bersama Lekra dengan secara langsung menghadiri Konferensi Nasional dan Seni Revolusioner (KSSR) pada tahun 1964.
Perbedaan pandangan dalam melihat politik kesenian antara Lekra dan Manikebu memantik konflik.
Manikebu menganggap Lekra terlalu mempolitisir seni, sementara Lekra menganggap Manikebu dengan humanisme universalnya sebagai kesenian yang 'kontra revolusi' hingga anti rakyat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lekra yang menuding Hamka melakukan plagiat dalam bukunya berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Tudingan itu pertama kali disampaikan oleh salah satu staf Harian Bintang Timur yang terafiliasi dengan Lekra.
Hamka dituding melakukan plagiat dari karya sastrawan asal Mesir, Manfaluti yang berjudul Magdalena. Salah satu pentolan Manikebu yakni H.B. Jassin membela Hamka. Ciptaan Hamka memang terinspirasi dari Manfaluti tetapi bukan plagiat.
Andil pemerintah dalam konflik Lekra vs Manikebu semakin mencolok. Salah satunya terlihat dari pelarangan buku karya tokoh Manikebu yakni H.B. Jassin. Melalui Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, buku karangan Jassin dilarang lantaran dinilai terlalu "kosmopolitan" dan tidak revolusioner.
Hingga akhirnya, Sukarno memutuskan untuk membubarkan Manikebu pada 8 Mei 1964.
Lihat Juga :SELUSUR POLITIK Bimbo, Mahfud, Megawati di Pusaran Cawapres Ganjar |
![]() |
Tak jauh berbeda dari era Sukarno, Soeharto sebagai presiden di era Orde Baru pun memanfaatkan seniman untuk melanggengkan kekuasaannya. Sedikit berbeda dengan Skarno yang memanfaatkan seniman untuk menggaungkan gagasannya, Soeharto justru memanfaatkan seniman untuk berkampanye di Pemilu untuk Golongan Karya (Golkar).
Pada pemilu pada tahun 1971 Golkar menggunakan strategi kampanye dengan menggunakan artis hingga musisi ternama untuk mendulang suara. Beberapa nama terkenal yang tergabung didalamnya yaitu Edy Soed, Bucuk Soeharto dan Bing Slamet. Mereka dan para artis simpatisan Golkar lainnya tergabung dalam Organisasi Artis Safari Golkar.
Tak main-main, total 324 artis berhasil direkrut pada tahun tersebut. Sebanyak 14 pesawat pun dikerahkan untuk mempermudah mobilisasi perjalanan artis tersebut ke penjuru Indonesia.
Keterlibatan artis dalam kampanye Golkar menjadi kejadian yang berulang tiap pemilu era Orde Baru. Artis yang mau terlibat pun mendapat privilese dengan mendapatkan kesempatan untuk tampil di televisi melalui acara Aneka Ria Safari. Sementara artis yang enggan mendukung Golkar tersisih.
Salah satu artis yang sempat tersisih lantaran enggan mendukung partai berlambang pohon beringin tersebut adalah Rhoma Irama. Pada pemilu 1977 Rhoma memutuskan untuk menjadi juru kampanye PPP. Keputusan tersebut berakibat pada larangan bagi Rhoma untuk tampil di TVRI yang kala itu menjadi satu-satunya stasiun televisi di Indonesia.
Rhoma Irama dilarang tampil di TVRI sejak tahun 1977 hingga 1988. Ketika ia memutuskan untuk keluar dari PPP di tahun 1987, barulah pelarangan tersebut dicabut. Rhoma pun berhasil menduduki kursi MPR dari golongan seniman pada 1992 hingga 1997 tanpa harus bergabung dengan Golkar.
Lihat Juga : |
Baru pada tahun 1997 Rhoma disebut termasuk dalam daftar calon anggota legislatif dari Golkar. Kendati demikian, nasib Rhoma sebagai caleg dari Golkar tak diketahui seiring meletusnya peristiwa reformasi pada 1998.
Apa yang dialami oleh Rhoma tak dialami oleh Titiek Puspa. Alasannya sederhana, Titiek tak pernah berseberangan dengan Golkar. Berdasarkan catatan Kompas, April 1987, Titiek Puspa sempat menjadi salah satu artis yang menjadi caleg dari Golkar dan turut ikut berkampanye.
Titiek yang tak pernah menolak bekerjasama dengan Golkar pun kerap tampil di acara Aneka Ria Safari di TVRI kala itu. Lebih jauh, kedekatan Titiek dengan Golkar pun terlihat dengan kesediaannya untuk membuat sebuah lagu berjudul "Bapak Pembangunan" yang dipersembahkan kepada Soeharto.
Puncak karier Titiek ketika masa Orde Baru. Akan tetapi, hal sebaliknya terjadi bagi para seniman yang kerap mengkritik Orde Baru. Salah satunya adalah Widji Thukul.
Akibat puisi-puisinya yang dianggap subversif, Widji diburu oleh ABRI. Pada akhirnya Widji dinyatakan hilang oleh Kontras pada tahun 2000 setelah sempat hidup dalam pelarian. Widji dianggap hilang pada tahun 1998.
Sebelum Widji, W.S Rendra telah merasakan dampak mengkritik rezim yang berkuasa selama 32 tahun tersebut. Pada tahun 1977 Rendra ditangkap dan ditahan di rutan militer Jalan Guntur, Jakarta. Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Laksamana Sudomo menyebut Rendra ditahan lantaran menghasut pembacaan puisi di Taman Ismail Marzuki.