Pertama, mereka menilai RUU Kesehatan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait organisasi keprofesian baik kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan, dan apoteker.
Sebab menurut mereka dalam RUU ini, sembilan undang-undang yang terkait keprofesian dan kesehatan dihilangkan. OP menilai penghapusan undang-undang yang secara khusus atau lex specialis mengatur tentang keprofesian itu akan berdampak pada kepastian hukum profesi.
Mereka menganggap RUU itu belum bisa menjamin perlindungan dan kepastian hukum tenaga medis atau kesehatan. Kedua, OP menganggap RUU 'Sapu Jagat' itu telah menghapuskan anggaran pembiayaan nakes melalui mandatory spending yang sebelumnya sebesar 10 persen tertuang dalam APBN dan APBD.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiga, OP mengatakan pasal terkait aborsi dalam RUU Kesehatan dapat berpotensi meningkatkan angka kematian. Sebelumnya, pasal aborsi mengatur maksimal 8 minggu. Akan tetapi, dalam RUU ini aborsi diperbolehkan hingga 14 minggu--dalam UU yang disahkan aturan ini sudah tidak tertulis lantaran menurut Kemenkes sudah diatur melalui KUHP.
Keempat, OP juga menilai pembahasan RUU Kesehatan terkesan terburu-buru alias dikebut untuk disahkan. Kelima, mereka menyebut dalam penyusunan hingga pembahasan, lima OP sebagai pemangku kepentingan tidak dilibatkan. Bahkan menurut mereka cenderung tak didengar.
Keenam, OP juga menyoroti RUU Kesehatan yang disebut memperbolehkan dokter asing untuk berkarya di rumah sakit Indonesia. OP menilai 'impor' tenaga kesehatan asing dapat berisiko terhadap pelayanan kesehatan masyarakat.
Sebelumnya, ada pula sejumlah protes terkait OP yang 'dikebiri' melalui klaim simplifikasi aturan. Seperti rekomendasi OP dihapus dalam syarat pembuatan Surat Izin Praktik (SIP), Surat Tanda Registrasi (STR) berlaku seumur hidup, hingga potensi kriminalisasi tenaga medis dan nakes.
Di tengah gelombang kritik itu RUU Kesehatan kemudian disahkan menjadi UU lewat rapat paripurna, Selasa (11/7).
Rapat pengesahan RUU tersebut langsung dipimpin Ketua DPR Puan Maharani, didampingi Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Lodewijk Freidrich Paulus, dan Wakil Ketua DPR dari Fraksi NasDem, Rachmat Gobel.
"Apakah Rancangan Undang-undang tentang Kesehatan dapat disetujui menjadi UU?" kata Puan di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7).
"Setuju," sahut mayoritas anggota yang hadir. "Tok," bunyi palu sidang diketok sebagai tanda disahkannya UU tersebut.
Rapat pengesahan itu turut dihadiri Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin yang mewakili pemerintah. Sebanyak tujuh dari sembilan fraksi di DPR menyetujui pengesahan RUU Kesehatan menjadi UU.
Hanya Fraksi Demokrat dan PKS yang menolak RUU tersebut. Kedua fraksi terutama mengkritik keras penghapusan mandatory spending alias belanja wajib di draf tersebut.
Menurut mereka mandatory spending yang diatur dalam Pasal 171 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebelum direvisi, seharusnya ditambah, bukan justru dihilangkan dalam UU baru ini.
"Fraksi Partai Demokrat berkomitmen memperjuangkan anggaran kesehatan sebagai bentuk konkret keberpihakan terhadap kesehatan rakyat melalui kebijakan fiskal, kebijakan kesehatan yang telah ditetapkan minimal 5 persen dari APBN," ujar anggota Komisi IX dari Fraksi Demokrat, Dede Yusuf.
Demokrat juga menyoroti liberalisasi sektor kesehatan melalui aturan perizinan masuknya WNA tenaga kesehatan di rumah sakit Indonesia. Menurut Dede, aturan itu perlu dipertimbangkan konsekuensinya.
"Di luar itu, Presiden memahami jika ada keinginan untuk menggalakkan investasi dan kepentingan ekonomi kita. Namun jika UU dan kebijakan kesehatan terlalu berorientasi pada investasi dan bisnis tentulah tidak baik," katanya.
Anggota Komisi IX DPR dari fraksi PKS Netty Prasetiyani menilai penghapusan mandatory spending menjadi sebuah kemunduran bagi sektor kesehatan.
Menurut Netty, mandatory spending masih diperlukan untuk pembiayaan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan dengan ketersediaan jumlah anggaran yang cukup.
"Kebutuhan dana kesehatan Indonesia sebagai negara berkembang justru meningkat dari waktu ke waktu karena semakin kompleksnya masalah kesehatan di masa mendatang," kata Netty.
(khr/wis)