Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek)
menyatakan berkomitmen mengatasi miskonsepsi pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), antara lain terkait keharusan pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung.
Hal itu diungkapkan dalam Forum Pleno Dialog Kebijakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di ASEAN, atau Southeast Asia Policy Dialogue on Early Childhood Care and Education (SEA PD on ECCE) di Jakarta, Selasa (25/7). Sesi pertama yang bertema 'Universal Child Care and Transition to Primary Education' sekaligus menjadi upaya akselerasi transformasi PAUD di Asia Tenggara.
Plt. Direktur PAUD Kemendikbudristek, Komalasari menyebut, komitmen diwujudkan dengan peluncuran Merdeka Belajar episode 24, yakni Transisi PAUD ke SD yang Menyenangkan, di mana Kemendikbud mendorong transisi PAUD ke SD berjalan mulus, dengan proses belajar mengajar di PAUD dan SD kelas awal yang selaras dan berkesinambungan.
"Setiap anak memiliki hak untuk dibina agar mendapatkan kemampuan pondasi yang holistik. Bukan hanya kognitif melainkan juga kematangan emosi, kemandirian, kemampuan berinteraksi, dan lainnya," ujar Komalasari.
Assistant Secretary for Curriculum and Instruction, Departemen Pendidikan Filipina, Alma Ruby C. Torio, mengatakan bahwa anak merupakan salah satu aset terpenting bangsa, begitu pula di Filipina.
Untuk itu, Departemen Pendidikan Filipina memiliki program Agenda MATATAG yang berpusat pada peserta didik, dan serta diterapkan dalam transisi PAUD ke SD.
"Kami berupaya agar setiap murid, terlepas dari latar belakang mereka, dapat mengakses pendidikan yang berkualitas dari masa PAUD sehingga pada 2030 tidak ada murid Filipina yang tertinggal," ucap Alma Ruby.
Selanjutnya pada forum pleno sesi kedua bertema 'Early Childhood Care Education Teachers' Workforce', Marek Tesar selaku perwakilan University of Auckland menjelaskan bahwa apresiasi yang kurang terhadap guru dapat menyebabkan kekacauan.
Adapun isu-isu kontemporer terkait pendidikan anak usia dini meliputi upah rendah, kurang kesempatan meningkatkan kemampuan secara profesional, aspek kelelahan dan stres, ketidak setaraan gender dalam peran kepemimpinan, serta kesenjangan ras dan etnis.
Marek mengatakan, ada sejumlah rekomendasi inisiatif untuk mengatasi isu tersebut, antara lain advokasi untuk keadilan serta alokasi pendanaan yang cukup bagi guru, melakukan intervensi yang berfokus pada pendidikan awal, melakukan inovasi pedagogi, serta berkolaborasi dengan orang tua dan komunitas.
"Kami bekerja sama dengan serikat guru dan SEAMEO CECCEP dalam pemenuhan hak-hak anak atas lingkungan belajar yang baik agar anak-anak dapat menjadi pelajar sepanjang hayat," jelas Marek.
![]() |
Sementara, Direktur SEAMEO CECCEP, Vina Adriany mengungkapkan bahwa pelatihan guru seringkali didasarkan pada kekurangan guru, dengan model pembelajaran yang kurang mempertimbangkan aspek-aspek sosial dan budaya.
Menurut Vina, perlu dikembangkan model pembelajaran yang sesuai dan tidak hanya berfokus pada satu pakem yang dominan. Melalui pelatihan, guru juga dapat memiliki ruang solidaritas, bertemu dengan guru lain dan saling bertukar pandangan, serta mengevaluasi praktik baik mengajar mereka satu sama lain.
"Saya bersama dengan SEAMEO CECCEP selalu melihat dan mempertimbangkan suara-suara guru dengan berusaha memberikan pelatihan yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan penyegaran dan memutakhirkan kemampuan mereka," katanya.
Terakhir, pada forum pleno sesi ketiga bertema "Advancing the ECCE Agenda in SEA: The Rule of Different Actors", Assistant Director Education, Youth, and Sport Division, Sekretariat ASEAN, Roger Yap Chao Jr., menyampaikan bahwa pendidikan anak usia dini dengan akses yang berkeadilan menuju pendidikan berkualitas merupakan salah satu poin utama dalam rencana kerja ASEAN di bidang pendidikan tahun 2021-2025.
Salah satu upaya yang dilakukan terkait rencana kerja tersebut adalah dengan memprioritaskan pendidikan dini yang terintegrasi dan holistik bagi anak.
Roger menambahkan, peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini sebaiknya tidak hanya dilakukan sendiri-sendiri oleh setiap negara. Diperlukan kerja sama yang inklusif dengan berbagai pihak.
Selain itu, juga perlu keseriusan dalam bentuk ketersediaan anggaran untuk melaksanakan program berkualitas bagi pendidikan anak usia dini.
"Tidak kalah penting, diperlukan juga peningkatan kapasitas bagi orang tua untuk dapat terus terkoneksi dengan anak. Karena dengan membangun pendidikan anak usia dini, kita membangun fondasi yang kuat bagi generasi muda untuk dapat hidup di tengah di masyarakat global," ujar Roger.
Head of ECED Tanoto Foundation, Eddy Henry menyampaikan bahwa Indonesia perlu melakukan analisis lebih lanjut untuk mengungkap isu-isu spesifik yang berkenaan dengan kesenjangan pengembangan pendidikan anak usia dini, seperti pemenuhan gizi dan nutrisi untuk anak, praktik pola pengasuhan, serta akses terhadap pendidikan berkualitas.
Menurut Eddy, mengembangkan ekosistem yang efektif bagi pendidikan anak usia dini akan terwujud dengan kolaborasi oleh berbagai pihak. Selain pemerintah, ada organisasi-organisasi yang berperan penting agar masyarakat dapat menerima kebijakan secara utuh, misalnya organisasi finansial, organisasi pengimplementasi, dan organisasi pendukung.
"Kolaborasi ini perlu dijalankan. Misalnya jika ingin menjangkau masyarakat di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan, perlu media yang membantu penyebarluasan informasi," tutur Eddy.
SEA PD on ECCE dihadiri oleh para menteri pendidikan dari negara-negara anggota ASEAN, perwakilan UNESCO, perwakilan Sekretariat ASEAN, The Southeast Asian Ministers of Education Organization Centre for Early Childhood Care Education and Parenting (SEAMEO CECCEP).
Forum Pleno SEA PD on ECCE juga mengundang tenaga ahli, mitra pembangunan, organisasi internasional dan organisasi non-pemerintahan di bidang PAUD, seperti Asia-Pacific Regional Network for Early Childhood (ARNEC) dan Tanoto Foundation.
(adv/adv)