Jakarta, CNN Indonesia --
Eks Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menjelaskan tujuh tahapan operasi tangkap tangan (OTT), di tengah riuh kasus Badan SAR Nasional (Basarnas).
CNNIndonesia.com sudah mendapatkan izin mengutip penjelasan Febri di Twitter. Ia menuturkan, sifat OTT masih rahasia pada tahap pertama. Bahkan, seorang jubir pun kerap tidak tahu operasi ini.
"Pimpinan tahu gak (OTT)? Sampai saya pamit dari KPK, selalu ada pimpinan yang mengetahui peristiwa OTT, apalagi jika sudah ada orang yang dibawa ke Gedung KPK atau kantor lain terdekat," tulis Febri, Jumat (28/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, banyak orang gagal paham. Febri menegaskan OTT terjadi di tahap penyelidikan, di mana sudah dikoordinasikan dengan penyidik bahkan jaksa penuntut umum (JPU).
Oleh karena itu, semua orang yang terjaring OTT akan diperiksa dan hasilnya dilaporkan ke pimpinan untuk dievaluasi, apakah indikasi korupsi itu benar atau tidak. Selain itu, dibahas juga apakah terduga tersebut penyelenggara negara atau penegak hukum, sesuai wewenang KPK atau tidak.
"KPK punya batas waktu 24 jam sejak seseorang dibawa dan diperiksa," ujar Febri.
Dalam waktu 24 jam tersebut segala hal bisa terjadi. Ia menuturkan penyelidik harus bekerja cepat dan benar. Pasalnya, jika ternyata salah tangkap harus segera dikoreksi.
Jika benar secara materil dan formil, masuklah OTT ke tahap kedua, yakni mengonfirmasi ke publik ada tim KPK yang sedang bekerja, sekadar informasi awal tanpa menyebutkan nama. Febri menyebut ini penting untuk meminimalisir oknum yang mengaku-ngaku KPK.
Tahap ketiga, yakni gelar perkara. Ia mengatakan tim penyelidik punya kewajiban untuk segera menentukan status pihak yang terjaring OTT tersebut.
"Pihak yang hadir di ekspose itu lengkap. Mulai dari penyelidik, penyidik, JPU, pimpinan, dan tentu ada tim humas atau jubir. Penyelidik akan memaparkan temuan, bukti, analisis, dan rekomendasi kepada pimpinan dan peserta. Kemudian, penyidik dan JPU menanggapi. Bisa saling tanya jawab untuk menguji bukti-bukti," jelas Febri.
Lanjut di halaman berikutnya...
Meski terjadi perbedaan pendapat dan sikap antar peserta ekspose, pimpinan KPK sebagai atasan tertinggi akan memutuskan apakah perkara naik ke penyidikan serta siapa saja tersangkanya. Keputusan inilah menjadi awal tahap keempat.
Ia menegaskan keputusan naik ke tahap penyidikan harus ditentukan pimpinan, bukan deputi, direktur, apalagi penyelidik.
Tahap kelima adalah penerbitan surat perintah penyidikan (sprindik) dan sprinham. Dilakukan juga pemeriksaan tersangka dan saksi-saksi di tahap penyidikan.
Keenam, konferensi pers OTT. Febri menyebut tahap ini dilakukan sebagai pemenuhan hak publik sekaligus kewajiban KPK kepada masyarakat.
Ketujuh, penahanan tersangka dan pengembalian saksi-saksi yang diperiksa sebelumnya. Ia meyakini pimpinan KPK tahu dan wajib mengambil keputusan pada tahap 1-7.
"Cukup sampai di sini, silakan dinilai sendiri siapa yang harus bertanggung jawab terhadap hasil sebuah OTT," kata Febri.
"Saya gak bilang keputusan KPK itu salah atau benar. Karena apapun keputusan tersebut adalah sebuah sikap hukum dari KPK. Ada risiko dan potensi dampak yang mestinya bisa dihitung sejak awal. Yang lebih menimbulkan tanda tanya adalah siapa seharusnya (berani) bertanggung jawab?" tutup eks jubir KPK tersebut.
Di lain sisi, KPK mengaku khilaf dan meminta maaf kepada rombongan petinggi TNI usai OTT dan penetapan tersangka Marsdya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi di kasus suap Basarnas.
KPK yang menerima audiensi rombongan petinggi TNI pada Jumat (28/7) sore mengaku ada kekeliruan dalam koordinasi kasus ini. Pasalnya, dua tersangka tersebut dari unsur militer.
"Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI," ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak usai audiensi dengan petinggi TNI di kantornya, Jakarta Selatan.
"Atas kekhilafan ini, kami mohon dimaafkan," sambungnya.
Sebelumnya, KPK menetapkan Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi sebagai tersangka suap sederet proyek pengadaan barang dan jasa. Ia diduga menerima suap Rp88,3 miliar dari berbagai proyek sepanjang 2021-2023.
Suap itu diduga diterima Henri melalui Letkol Adm Afri Budi Cahyanto yang terjaring OTT KPK bersama 7 orang lainnya pada Selasa (25/7).