Selain itu, Doni menyoroti pemenuhan beban belajar yang tertuang dalam Pasal 16 angka 1 Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023.
Pasal itu menyebut pemenuhan beban belajar dilakukan dalam bentuk kuliah, responsi, tutorial, seminar, praktikum, praktik, studio, penelitian, perancangan, pengembangan, tugas akhir, pelatihan bela negara, pertukaran pelajar, magang, wirausaha, pengabdian kepada masyarakat, dan/atau bentuk pembelajaran lain.
Menurut Doni, pasal tersebut yang membuat kontrol kualitas tidak jelas karena pengalaman belajar bentuknya bisa macam-macam dan diakui sebagai satuan kredit semester (SKS).
"Pasal 16 angka 1 menjadi legitimasi program-program Kampus Merdeka yang bila tidak ditata secara baik akan menurunkan kualitas lulusan," kata dia.
Dia menilai kebijakan ini baik sebagai tawaran alternatif ujian akhir. Di lain sisi, Doni berpendapat kebijakan ini belum tentu baik apabila dilihat secara sistemisasi.
Bertalian dengan itu, pengamat pendidikan tinggi Ubaid Matraji menyoroti penjaminan mutu dalam kelulusan tingkat S1 dan sederajat. Ubaid menilai skripsi memang tidak menjamin mutu lulusan.
Ia mengamini ada sebagian mahasiswa yang dibantu joki atau kini mengandalkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam membuat skripsi. Ia berharap adanya opsi selain skripsi mampu meningkatkan mutu mahasiswa yang lulus.
"Apakah opsi itu mampu meningkatkan mutu? Dengan banyaknya opsi atau alternatif itu, saya setuju, asal mampu meningkatkan mutu, seperti peningkatan keterampilan analitik dan juga critical thinking," kata Ubaid.
Selain itu, dia juga mengingatkan agar kebijakan ini turut didukung dengan sumber daya manusia (SDM), yaitu para dosen sebagai tenaga pengajar.
Sementara pengamat pendidikan tinggi Indra Charismiadji mempertanyakan kajian yang menjadi dasar penerbitan Permendikbudristek ini. Indra meminta Nadiem memaparkan kajiannya.
"Kalau ada kajian, ya tunjukkan saja naskah akademiknya. Nah, di situ kita bisa berdebat setelah itu kan, setelah ada naskah akademiknya kita bisa berdebat di situ," kata Indra saat diwawancara, Kamis (31/8).
Indra pun mengaku sudah mengajak Nadiem berdialog sejak lebih empat tahun lalu atau sejak Nadiem menjabat sebagai Mendikbudristek. Tetapi rencana itu belum pernah terwujud.
Menurut Indra, adanya opsi selain skripsi kepada mahasiswa merupakan hal yang tidak tepat. Dia menilai karya akademis berupa tulisan dapat membantu para mahasiswa membangun cara berpikir dan berargumentasi.
"(Narasi) Mungkin bentuknya enggak harus bentuknya skripsi. Tetapi yang penting ada academic paper-nya, ada tulisan pendukung karya tersebut, istilah saya tadi narasi. Maksudnya enggak harus setebal skripsi. Tapi tetap ada academic paper-nya, karena itu akan membantu juga bagaimana berpikir yang runut, yang sistematis. Kuat dalam argumentasi kalau ada naskah akademiknya," ucapnya.
(pop/tsa)