Trauma Siswi SMPN 1 Sukodadi Usai Digunduli Guru: Malu Sama Tetangga
Winarti, salah satu wali murid SMPN 1 Sukodadi, Lamongan, mengaku anaknya masih merasa malu usai digunduli salah satu guru karena tak pakai dalaman jilbab atau ciput.
Hal itu, kata Winarti, terjadi saat bertemu dengan tetangga sekitar rumah. Anaknya malu, dan harus selalu memakai penutup kepala.
Padahal biasanya, sang anak bisa berpakaian dengan santai saat berada di rumah sendiri dan lingkungan sekitarnya.
"Keluar rumah masih sedikit malu sama tetangga," kata Winarti, saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Kamis (31/8).
Anaknya itu juga harus selalu memakai penutup kepala ketika berkegiatan di luar rumah. Hal tersebut semata agar rambutnya yang botak tak terlihat.
"Untuk kegiatan di luar rumah bisa pakai jilbab untuk menutupi rambutnya yang botak," ucapnya.
Kendati demikian, kondisi anaknya kini sudah berangsur membaik. Dia sudah bisa bersekolah seperti biasa.
"Alhamdulillah kondisi anak saya sudah baik, sudah sekolah seperti biasa," katanya.
Hari ini, Winarti dan para wali murid juga dikumpulkan di sekolah. Mereka mendapatkan arahan Psikolog Dinas Pengendalian Penduduk Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP5A) Lamongan.
"Tadi pagi ada pertemuan wali murid dengan didatangkan langsung psikolog guna untuk memberi motivasi terhadap anak," pungkasnya.
Sebelumnya, EN, guru di SMPN 1 Sukodadi, Lamongan diduga menggunduli belasan siswi, akibat tak menggunakan dalaman jilbab atau ciput.
Peristiwa itu terjadi saat sorang EN, mengajar siswi kelas IX, Rabu (23/8).Di kelas itu, dia mendapati 14 siswi yang mengenakan jilbab, namun tanpa menggunakan ciput di dalamnya.
Mengetahui hal itu, EN lantas menghukum belasan siswi itu dengan memotong rambut mereka menggunakan mesin cukur. Walhasil kepala para siswi itu jadi botak sebagian.
Aksi yang dilakukan EN pun jadi polemik. Pasalnya, sejumlah wali murid tak terima dan protes anaknya digunduli.
Mediasi pun digelar keesokan harinya, Kamis (24/8), dengan dihadiri Kepala Sekolah Harto, guru berinisial EN dan 10 wali murid yang anaknya jadi korban pembotakan. Mereka sepakat berdamai.
(frd/gil)