UU Ciptaker, Jejak Aswanto, dan Independensi Hakim MK Jelang 2024
Kinerja Mahkamah Konstitusi (MK) menuai sorotan usai menjatuhkan putusan menolak permohonan gugatan uji formil dan materi UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-undang (UU Ciptaker).
Artinya, UU yang sempat dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada 2021 lalu diganti Perppu 2/2022 dan jadi UU 6/2023 itu dinyatakan tetap berlaku saat ini.
Pada putusan lima permohonan gugatan UU Ciptaker yang dibacakan Senin (2/10), diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi.
Empat dari total sembilan hakim konstitusi yang berpendapat berbeda yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo. Empat hakim MK ini sebelumnya mengabulkan permohonan uji formil dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menyatakan UU tersebut inkonstitusional bersyarat.
Sementara lima hakim lain yang unggul suara untuk memutuskan MK menolak gugatan adalah Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic, Manahan MP Sitompul ditambah dengan Guntur Hamzah. Khusus Guntur Hamzah merupakan nama hakim yang diangkat menggantikan hakim MK sebelumnya Aswanto yang 'direcall' oleh DPR. Kelima hakim ini unggul suara melawan empat hakim yang berbeda pendapat.
Pada putusan sebelumnya yang dibacakan pada November 2021 silam, MK menyatakan UU 11/2020 tentang Ciptaker inkonstitusional bersyarat dan harus direvisi dua tahun atau jadi inskonstitusional permanen.
Komposisi hakim MK saat itu adalah lima orang setuju menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, empat lainnya berpendapat berbeda. Saat itu, Aswanto bersama empat hakim MK saat ini unggul atas Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel, dan Manahan Sitompul. Kala itu Anwar, Arief Hidayat cs justru yang mengeluarkan pendapat berbeda.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai putusan MK yang mempertahankan UU Cipta Kerja sebagai bukti independensi MK sebagai penjaga marwah konstitusi telah roboh.
"Ini adalah bukti nyata robohnya independensi Mahkamah Konstitusi dan bentuk kongkret pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi dan konstitusi UUD 1945," kata Isnur, Selasa (3/10).
Isnur heran lantaran MK mengingkari dan tak konsisten terhadap putusan sebelumnya yang mengatakan UU Cipta Kerja sebagai inkonstitusional bersyarat. Ia menilai ada pengkhianatan para hakim MK terhadap Demokrasi dan Konstitusi dari putusan UU Cipta Kerja tersebut.
Karena itu, ia tak heran jika putusan UU Cipta Kerja adalah hasil campur tangan rezim pemerintahan Jokowi terhadap independensi lembaga yudikatif.
"Caranya melalui upaya pelemahan independensi MK yang dilakukan dengan revisi UU MK, pemberian bintang jasa kepada para hakim MK aktif dan pemberhentian paksa Hakim Aswanto termasuk konflik kepentingan Ketua MK (Anwar Usman) yang kini menjadi ipar Presiden (Joko Widodo/Jokowi)," kata dia.
Lebih lanjut, Isnur menganggap MK sama saja telah melegitimasi alasan janggal 'kegentingan yang memaksa' dalam pembentukan Perppu yang akhirnya menjadi UU Cipta Kerja.
Kegentingan yang dianggap pemerintah itu karena pertimbangan terdapat krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi perang Rusia-Ukrania dan krisis ekonomi akibat adanya Covid-19.
Padahal, ia menganggap UU Cipta Kerja belakangan ini telah merugikan rakyat kecil. Salah satunya dengan menciptakan aturan mengenai pasar tenaga kerja fleksibel dan dihilangkannya hak-hak dasar buruh.
UU Cipta Kerja, lanjutnya, juga telah memperparah krisis agraria, ketimpangan penguasaan lahan serta instrumen hukum untuk melegitimasi praktik-praktik bisnis yang merusak lingkungan.
"Putusan UU Cipta Kerja tersebut menunjukkan kegagalan MK menjadi benteng terakhir penjaga demokrasi dan konstitusi. MK kini justru bertransformasi menjadi penjaga kepentingan kekuasaan," kata Isnur.
Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman Harry Setya Nugraha berpendapat MK telah mengenyampingkan fakta bahwa persetujuan Perpu menjadi UU yang dilakukan DPR setelah berakhirnya batas waktu yang ditentukan oleh Pasal 22 ayat (2) UUD Tahun 1945.
Mengacu pada kondisi itu, ia melihat seyogyanya membuat UU Cipta Kerja kehilangan landasan konstitusionalnya. Pasalnya, kata dia, dijelaskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 makna 'persidangan yang berikut adalah masa sidang pertama DPR setelah Perpu ditetapkan'.
Makna frasa "persidangan yang berikut", kata dia, sesungguhnya mengandung prinsip pembatasan waktu, yaitu hanya pada masa persidangan pertama setelah ditetapkan Perpu oleh Presiden.
"Hal ini menjadi penting dikarenakan adanya sifat kegentingan yang memaksa dari Perppu itu sendiri. Dengan kata lain, pembahasan persetujuan terhadap perpu tidak dapat ditunda dan dilakukan pada masa-masa sidang setelah sidang pertama berikutnya," kata Harry.
Pada Selasa lalu, menjawab pertanyaan wartawan, Ketua MK Anwar Usman menegaskan putusan hakim dalam menangani suatu gugatan pasti menimbulkan pro dan kontra
Ia lantas mempersilakan Presiden Partai Buruh Said Iqbal melaporkan lima hakim konstitusi terkait putusan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
"Begini, putusan hakim ya, itu jelas, bukan hanya yang mengenai Ciptaker. Semua putusan itu hampir menimbulkan pro dan kontra. Ada yang merasa puas, ada yang tidak merasa puas," kata Anwar di Gedung MK, Jakarta.