Merespons Said Iqbal, Ketua MK Anwar Usman mempersilakannya melaporkan lima hakim konstitusi terkait putusan uji formil UU Ciptaker.
"Begini, putusan hakim ya, itu jelas, bukan hanya yang mengenai Ciptaker. Semua putusan itu hampir menimbulkan pro dan kontra. Ada yang merasa puas, ada yang tidak merasa puas," jelas Anwar di Gedung MK, Jakarta, Selasa (3/10).
Anwar mengatakan rencana pelaporan tersebut merupakan hak semua warga negara. Ia memastikan putusan yang diketok hakim MK sudah sesuai prosedur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Terkait akan dilaporkan) Itu kan hak semua warga negara, mau lapor mau apa, yang penting ya sesuai dengan prosedur," ujar Anwar.
Lebih lanjut, Anwar tidak banyak berkomentar terkait tudingan politis dalam putusan UU Ciptaker.
Dia hanya menegaskan Aswanto merupakan hakim yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Itu saya enggak bisa masuk ke wilayah itu. Itu DPR. Pak Aswanto kan dari DPR," kata dia.
Terpisah, Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan (Kabiro HAK) MK Fajar Laksono enggan berkomentar mengenai tudingan politis dalam putusan UU Ciptaker terkait pergantian Aswanto.
"Itu pendapat dan penilaian masing-masing, tentu dengan argumen masing-masing. Silahkan aja," kata Fajar kepada CNNIndonesia.com, Selasa (3/10).
Lihat Juga : |
Selain perkara formasi hakim, terdapat pertimbangan Mahkamah atas gugatan UU Ciptaker pada 2021 dan 2023 juga menjadi sorotan.
Pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan pada November 2021, majelis hakim MK menyatakan UU 11/2020 cacat formil dengan berbagai pertimbangan, salah satunya karena bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil," bunyi salah satu pertimbangan majelis hakim pada Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Sementara, pada Oktober 2023 ini, pada Putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023, salah satu dalil pemohon yang disampaikan majelis hakim adalah terkait Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU Nomor 6 Tahun 2023 telah ditetapkan presiden dengan melanggar prinsip ihwal kegentingan memaksa dan Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait partisipasi bermakna (meaningful participation).
Majelis hakim menjelaskan Perppu yang merupakan hak prerogatif presiden sebagai bentuk extraordinary rules dalam menanggulangi keadaan kegentingan yang memaksa adalah bersifat sementara. Oleh karena itu, diperlukan proses review yang berujung pada persetujuan DPR untuk dapat berlaku definitif menjadi undang-undang atau ditolak.
Majelis juga menegaskan adanya Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 telah memberikan parameter terhadap kegentingan yang memaksa adalah dalam rangka memberikan tafsir konstitusional sebagai pedoman bagi Presiden dalam membuat perppu dan sekaligus juga sebagai pedoman DPR dalam mengawasi, menilai, dan memberikan persetujuan terhadap perppu sebelum disetujui menjadi undang-undang.
Artinya, kata Majelis hakim, ketika sebuah Perppu telah mendapat persetujuan DPR menjadi undang-undang, maka sejatinya perppu tersebut secara substantif dan definitif telah menjadi undang-undang.
"Andaipun Mahkamah hendak menilai, quad non, proses terbitnya perppu a quo telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa karena UU 11/2020 telah diperbaiki dan diganti dengan Perppu 2/2022, hal tersebut sejalan dengan asas lex posterior derogat legi priori. Terlebih, membuat/revisi UU 11/2020 secara prosedur biasa memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan," demikian salah satu pertimbangan majelis hakim pada Putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023.
Terdapat pula pertimbangan hakim mengenai meaningful participation.
Mahkamah di dalam putusannya mengatakan dalam proses pembentukan sebuah undang-undang (biasa), meaningful participation wajib dilakukan pada seluruh tahapan dari mulai pada tahapan pengajuan, pembahasan, dan persetujuan.
"Namun demikian, berbeda halnya dalam proses persetujuan RUU yang berasal dari perppu, pelaksanaan meaningful participation tidak relevan lagi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, dalil para Pemohon yang menyatakan Perppu 2/2022 sebagai cikal bakal lahirnya UU 6/2023 telah ditetapkan oleh presiden dengan melanggar Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait meaningful participation adalah tidak beralasan menurut hukum," bunyi pertimbangan majelis hakim pada Putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023.