Dalam dissenting opinion-nya, Arief mengatakan komposisi hakim pada Putusan 90 tidak pernah terjadi sebelumnya di MK.
"Putusan diambil dengan komposisi yang selama ini sepengetahuan saya belum pernah terjadi. Adapun komposisi tersebut adalah sebanyak tiga hakim mengabulkan sebagian dengan memaknai syarat usia tetap 40 tahun sepanjang dimaknai berpengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih (elected official), misal, berpengalaman sebagai Gubernur/Bupati/Walikota," kata Arief.
Lalu, Arief mengatakan ada dua hakim mengabulkan untuk sebagian dengan alasan yang berbeda terkait pertimbangannya, yakni hanya terbatas berpengalaman sebagai Gubernur yang kriterianya diserahkan kepada pembentuk undang-undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada pula satu hakim dissenting opinion dengan menyatakan bahwa pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Selain itu, dua hakim berpendapat bahwa perkara ini bukan merupakan permasalahan inkonstitusionalitas norma, tetapi merupakan opened legal policy. Kemudian, ada satu hakim dissenting opinion dengan menyatakan permohonan pemohon dinyatakan gugur.
Lihat Juga : |
Arief turut menyinggung Perkara 90 dan 91 yang sempat dicabut pada 29 September 2023, namun kemudian dibatalkan penarikannya pada 30 September 2023.
MK pun menggelar sidang panel dengan agenda konfirmasi pencabutan dan pembatalan pencabutan pada Senin, 3 Oktober 2023. Arief menilai perbuatan kuasa hukum pemohon yang mencabut permohonan tanpa berkoordinasi dengan pemohon tidak dapat diterima rasionalitasnya.
Menurut Arief, peristiwa pencabutan dan pembatalan pencabutan ini aneh dan tak bisa diterima rasionalitasnya. Ia bahkan menilai peristiwa itu turut menguji pula sisi integritas dan kenegarawanan seorang hakim konstitusi.
"Menurut saya, pemohon telah mempermainkan marwah lembaga peradilan dan tidak serius dalam mengajukan permohonan. Bahkan tindakan kuasa hukum pemohon mencerminkan ketidakprofesionalan (unprofessional conduct) sebagai kuasa hukum karena tanpa melakukan koordinasi dengan Pemohon Principal, kuasa hukum pemohon melakukan penarikan atau pencabutan permohanannya," kata pria yang sebelumnya dikenal pula sebagian Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro itu.
Arief menerangkan berdasarkan Pasal 75 ayat (1) huruf b, ayat (3) huruf c Peraturan MK Nomor 2/2021, permohonan yang sudah ditarik tidak dapat diajukan kembali, meskipun belum ada putusan ketetapan oleh mahkamah.
Ia menilai sudah cukup alasan bagi mahkamah untuk menolak surat pembatalan pencabutan perkara dan mengabulkan pencabutan perkara pemohon karena pemohon telah ternyata tidak serius dan bersungguh-sungguh dalam mengajukan permohonan.
"Terlebih isu hukum yang diajukan pengujian konstitusionalitasnya merupakan isu besar yang sensitif karena sarat kepentingan politik dan menarik perhatian publik meskipun isu hukum dimaksud bukanlah satu-satunya permohonan yang diajukan," tutur Arief.
"Oleh karena itu, seharusnya Mahkamah mengeluarkan ketetapan yang mengabulkan penarikan permohonan a quo dengan alasan Pemohon tidak sungguh-sungguh dan profesional dalam mengajukan permohonan dan dapat diduga malah mempermainkan kewibawaan dan marwah mahkamah," tegasnya.
Menurutnya, hal ini menjadi kewajiban hakim konstitusi untuk memberikan edukasi kepada masyarakat pencari keadilan agar bersikap teliti, cermat dan bersungguh-sungguh serta tidak menganggap sepele persoalan ini. Upaya itu dilakukan agar perkara serupa tidak terjadi lagi di masa yang akan datang.
Putusan MK yang dibacakan dalam sidang pada Senin lalu diambil dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) sembilan Hakim Konstitusi pada 21 September 2023, 5 Oktober 2023, dan 9 Oktober 2023.
"Putusan yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Senin, tanggal 16 bulan Oktober, tahun 2023, selesai diucapkan pukul 17.40 WIB, " ujar Ketua MK Anwar Usman yang memimpin sidang pembacaan sidang itu, Senin lalu.
(pop/kid)