Jalan Pengamen Naik Kelas, Merebut Ruang atau Berkarya

Hisyam Naufal | CNN Indonesia
Rabu, 31 Jan 2024 10:10 WIB
Sejumlah pengamen dari Institut Musik Jalanan mendapat lisensi untuk bisa tampil di ruang publik. Musisi lain menganggap karya lebih utama.
Grup musik tuna netra Coste Band tampil di Ruang Musik MARTI, Stasiun MRT Bundaran HI. Jakarta, Sabtu, 1 Februari 2020. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Salah satu pendiri Institut Musik Jalanan, Iksan Skuter mengkritik medan juang yang diambil oleh komunitas yang didirikannya itu. Dia kemudian keluar dari IMJ karena merasa telah berbeda arah perjuangan.

Iksan menjelaskan, pada awalnya IMJ didirikan sebagai komunitas yang dapat menjadi alternatif bagi industri musik yang ada. Ia ingin mendorong para musisi jalanan untuk dapat hidup dari karyanya sendiri.

Waktu berlalu, IMJ mulai bergerak dalam payung tujuan seperti yang diinginkan oleh Iksan, yakni mendorong para musisi jalanan untuk berkarya. Alhasil, IMJ dapat menghasilkan album kompilasi pertama saat IMJ diresmikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah itu, Iksan perlahan mundur dari komunitas tersebut. Ia merasa tak lagi satu visi dengan Andi Malewa. Namun Iksan tetap menghargai rekannya itu.

"IMJ di bayangan saya, mimpi saya, IMJ itu dibangun untuk menjadi opsi dalam sistem industri musik," kata Iksan kepada CNNIndonesia.com.

Seniman berbasis karya

Ia menganggap bahwa urgensi utama yang perlu diperhatikan oleh IMJ adalah melahirkan seniman berbasis karya. Menurutnya, ada kekosongan dalam komunitas seniman IMJ lantaran mereka hanya memainkan karya orang lain ketika tampil di ruang publik.

"Bahwa seniman jalanan butuh ruang publik yang bisa mereka akses tanpa ketar-ketir, tanpa khawatir digerebek oleh Satpol PP, itu hal yang penting juga. Tapi bagi saya itu second layer. Layer pertama bagi saya seniman melahirkan karya seni," ujar Iksan.

Ia lebih jauh menyebutkan bahwa muara yang seharusnya dituju oleh para musisi jalanan bukanlah tampil di ruang publik saja, melainkan berkembang dengan karyanya sendiri.

"Kalau hanya di titik itu, ya mereka muaranya hanya di sana aja, gitu. Mereka ending-nya di sana aja. Pertanyaannya, kalau sudah di sana harus ngapain? Apakah itu puncak karier? Bukan. Seniman, puncak karirnya adalah ketika karyanya sudah diakui. Dengan cara apa? Berproses," kata Iksan.

Dia tidak sepakat dengan apa yang diperjuangkan oleh IMJ bersama pemerintah melalui lisensi pengamen. Menurutnya, lisensi itu pada akhirnya hanya menjadi alat untuk mengotak-kotakkan seniman serta monopoli sebuah izin.

"Kalau ditanya lisensi, saya enggak punya lisensi. Tapi ketika saya punya karya dan saya bisa main ke tiap kota, karena apa? Karena karya saya," ujar Iksan.

Grup musik tuna netra Coste Band tampil di Ruang Musik MARTI, Stasiun MRT Bundaran HI. Jakarta, Sabtu, 1 Februari 2020. MRT Jakarta bersama dengan Institut Musik Jalanan memberikan kesempatan bagi Musisi Jalanan untuk menunjukan kemampuannya di Ruang Musik MARTI, dengan tujuan pengamen jalanan naik kelas.MRT Jakarta bersama dengan Institut Musik Jalanan memberikan kesempatan bagi musisi jalanan untuk menunjukkan kemampuannya di Ruang Musik MARTI, dengan tujuan pengamen jalanan naik kelas. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Uyung dari padepokan musik Mahagenta, juga memiliki pandangan yang serupa dengan Iksan Skuter. Dia menilai lisensi bagi para pengamen justru mendiskriminasi musisi lain.

"Saya kira agak (diskriminatif) karena ada teman-teman yang tidak punya lisensi kemudian mereka layak tampil dan bisa bekerja sebagai musisi," kata Uyung saat ditemui di Warung Apresiasi (Wapress) Bulungan, Jakarta Selatan, Jumat (19/1).

Lebih jauh, Uyung berpendapat lisensi yang sebenarnya adalah kemampuan para musisi untuk bisa mengeksplorasi dan menginterpretasikan musik sebagai produk entertain ataupun sebuah ilmu pengetahuan.

Ia menanggapi lisensi yang dikerjakan IMJ bekerja sama dengan Kemendikbud. Seharusnya, kata Uyung, pemerintah bisa duduk bersama dengan para seniman terlebih dahulu sebelum membuat kebijakan.

"Duduk bareng sih harusnya. Jadi bukan produk-produk pemerintah yang kemudian kita laksanakan. Harusnya pemerintah itu mengajak duduk kita untuk membuat sebuah kebijakan yang mana kiranya dibutuhkan," kata Uyung.

Respons Ditjen Kebudayaan

Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Ditjen Kebudayaan, Restu Gunawan mengungkapkan, apa yang dilakukan oleh IMJ selaras dengan misi Ditjen Kebudayaan Kemendikbud, yakni Kebudayaan inklusif yang berarti bahwa semua orang punya hak untuk mendapatkan layanan di bidang kebudayaan.

Menurutnya, pemerintah memilih bekerja sama dengan IMJ bukan tanpa alasan. Lembaga itu, kata Restu, termasuk yang pertama diketahui melakukan pembinaan terhadap pengamen jalanan.

"IMJ termasuk yang pertama, termasuk yang awal melakukan pembinaan lah," ujar Restu.

Ditjen Kebudayaan bergerak sebagai fasilitator bagi musisi-musisi yang telah dipilih dan dikurasi oleh IMJ untuk kemudian diberikan akses mengisi ruang publik.

Restu mendorong pihak lain di berbagai level pemerintahan untuk ikut serta mendukung program pengembangan kebudayaan.

Dia juga menyerukan kepada komunitas-komunitas kebudayaan lainnya untuk dapat turut serta melakukan langkah pengembangan kebudayaan seperti yang dilakukan oleh IMJ.

"Kalau misalnya ada komunitas lainnya bagus-bagus saja menurut saya. Kami tidak ada masalah kalau ada kompetisi. Bagi kami seluruh komunitas itu adalah bagian ekosistem dari pemajuan kebudayaan," kata Restu.

Infografis sejarah perkembangan musik indonesiaInfografis sejarah perkembangan musik Indonesia. (CNN Indonesia/fajrian)
(pmg/pmg)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER