Perundungan, Dosa Pendidikan yang Terabaikan
Bintang Balqis Maulana meninggal setelah mengalami penganiayaan di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah Kediri, Jawa Timur. Anak 14 tahun itu menjadi korban kebrutalan para seniornya sesama santri.
Empat kakak kelas korban ditetapkan sebagai anak berhadapan dengan hukum atau tersangka. Mereka adalah AF berusia 16 tahun, AK (17), MA (18), dan MN (18). Salah satu tersangka merupakan sepupu korban.
Dalam rekonstruksi kasus yang digelar tertutup di Markas Kepolisian Resor Kediri Kota pada Kamis (29/2), tersangka memeragakan 55 adegan. Seluruhnya terjadi di tiga lokasi berbeda di lingkungan pondok tempat Bintang menimba ilmu.
"Dari keempat tersangka, semua punya peran dalam hal penganiayaan atau pengeroyokan sehingga menyebabkan kematian korban," kata Kapolres Kediri Kota AKBP Bramastyo Priaji usai rekonstruksi.
Dari reka ulang itu diketahui bahwa Bintang dikeroyok secara berulang-ulang selama tiga hari sebelum menghembuskan napas terakhir pada Jumat (23/2) dini hari.
Tiga hari itu dimulai dari Minggu (18/2). Menurut polisi, para tersangka hanya menggunakan tangan kosong saat mengeroyok korban. Pukulan dan kekerasan kebanyakan didaratkan ke anggota tubuh bagian atas.
Bintang ketakutan. Ia sempat mengirim pesan kepada ibunya, Suyanti, melalui aplikasi WhatsApp pada Senin (19/2) petang. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu meminta segera dijemput pulang ke Banyuwangi, Jawa Timur.
"Cpet sini. Aku takut maaa. Maaaa tolonggh. Sini cpettt jemput," tulis Bintang dalam pesan WhatsApp yang dikirim ke ibunya.
Suyanti menanyakan alasan Bintang minta dijemput, tapi tak dijawab. Saat itu sang ibu tidak menaruh curiga.
Hari berikutnya Bintang menghubungi ibunya menggunakan nomor telepon pihak pesantren. Sikapnya berubah. Melalui sambungan telepon, dia meminta tak usah dijemput karena sebentar lagi akan libur Ramadan dan akan pulang.
"'Tanggal 17 (Maret) saya sudah libur, jadi saya masih mau belajar dulu. Ya sudah, Mama, Assalamu'alaikum.' Itu percakapan terakhir sama saya," kata Suyanti bercerita kepada CNNIndonesia.com, Jumat (1/3).
Ibu 38 tahun itu sempat mengirim pesan, tapi tak pernah dibalas lagi oleh anaknya. Padahal pesan di WhatsApp itu telah terbaca.
Pihak keluarga tidak pernah tahu apa yang terjadi pada anaknya di pondok pesantren. Suyanti mengatakan keluarga selalu berusaha menanyakan kabar Bintang ke pihak pondok, namun diblokir.
"Anak saya tidak pernah bercerita (dianiaya), kalau dia memang bercerita kepada saya, ngapain saya nunggu-nunggu mengulur waktu," kata Suyanti.
Penganiayaan kembali terjadi pada Rabu (21/2) dan Kamis (22/2). Pengacara empat tersangka, Rini Puspitasari, mengungkapkan Bintang dihajar seniornya karena dianggap susah dinasihati, termasuk soal salat berjemaah.
Para seniornya tak puas dengan jawaban Bintang. Mereka pun emosi dan memukulinya. Pelaku dan korban tinggal satu kamar di pondok itu.
Setelah dihajar habis-habisan, kondisi korban makin melemah. Jumat pukul tiga dini hari, sepupu korban yang ikut menganiaya berusaha membangunkan Bintang. Saat itu wajah korban terlihat pucat.
Para penganiaya mulai panik ketika korban tak sadarkan diri. Mereka diam-diam membawa Bintang pergi ke Rumah Sakit Arga Husada Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Dokter yang memeriksa menyatakan korban telah meninggal. Di tubuhnya ditemukan banyak luka.
Bintang kemudian dibawa ke pondok, lalu dimandikan dan dikafani. Pengasuh pondok pesantren, Fatihunnada atau Gus Fatih, mengaku tak melihat lagi kondisi korban yang sudah terbungkus kain kafan.
Dia hanya menerima laporan bahwa Bintang meninggal karena terpeleset di kamar mandi. Kabar itu dia dapatkan dari santrinya yang juga sepupu korban.
"Saya percaya karena yang menyampaikan kakaknya (sepupu). Masa kakaknya mau menipu, kan kecil kemungkinan," kata Fatih, Senin (26/2).
Di Banyuwangi, ibu korban menunggu telepon dari anaknya sejak pagi. Bagai petir di siang bolong, Suyanti menerima kabar Bintang telah meninggal dunia karena jatuh di kamar mandi.
"Saya tunggu hari Jumat biasanya ada telepon, mulai itu enggak ada kabar lagi, sampai siangnya saya mendengar kabar kematian putra saya," kata Suyanti.
Setelah disalati usai salat Jumat, jenazah kemudian diantar ke rumah duka di Afdeling Kampunganyar, Dusun Kendenglembu, Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi.
Geger di rumah duka
Bintang pulang tanpa nyawa. Jenazahnya tiba di rumah duka dalam kondisi sudah dikafani.
Kakak korban, Mia Nur Khasanah, merasa curiga melihat darah merembes keluar dari keranda. Dia pun meminta agar kain kafan almarhum dibuka untuk melihat kondisi sebenarnya.
Permintaan itu sempat dihalangi. Tapi Mia dan warga yang melayat bersikeras membuka kain kafan Bintang.
Begitu dibuka, betapa terkejutnya mereka terkejut mengetahui banyak luka lebam di sekujur badan, hidung tampak patah, luka kaki seperti tersundut rokok.
Sepupu korban yang ikut mengantar jenazah ditanya oleh Suyanti. Dia akhirnya berbicara apa adanya dan mengakui ikut memukuli Bintang.
"Salah satu (tersangka) langsung mengakui di sini, di samping jenazah korban," kata Suyanti.
Gus Fatih ikutan kaget melihat kondisi jenazah penuh luka hingga mengucur darah. Dia mengaku tak tahu penyebab kematian santrinya itu. Semua itu di luar perkiraannya.
Dia pun menyerahkan kasus kematian Bintang kepada pihak kepolisian. Fatih sendiri sudah dimintai keterangan oleh polisi di Banyuwangi hingga Polres Kediri Kota.
Rini yang mendampingi para tersangka mengatakan mereka menyesal dan terpukul karena tindakannya berujung fatal. "Salah satunya itu malah sulit untuk berkata-kata, karena dia yang memulai," ujar Rini, Rabu (28/2).
Pihak keluarga berencana datang ke Kediri pada Senin (4/3). Mereka meminta polisi menggelar rekonstruksi ulang. Suyanti meragukan hasil rekonstruksi yang menyebut para tersangka hanya berbekal tangan kosong saat menganiaya anaknya.
"Sangat-sangat bohong sekali, soalnya yang saya tahu, saya lihat di kaki anak saya ada sundutan rokok," ujar dia.
Terkait proses hukum, polisi menjerat keempat tersangka dengan Pasal 80 Ayat 3 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak, Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penggunaan kekerasan terhadap orang atau barang.
Mereka juga dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang tindak pidana yang dilakukan secara berulang hingga mengakibatkan kematian.
Hasil tes kejiwaan para tersangka menunjukkan mereka kurang mendapat perhatian serta kasih sayang dari orang tuanya. Para pelaku adalah korban kekerasan fisik maupun verbal dari orang tuanya sejak kecil.
"Perilaku agresi tersangka disebabkan oleh riwayat masa kecil dan pola asuh kedua orang tua tersangka yang cenderung mendapat kekerasan secara fisik dan verbal," kata AKBP Bramastyo membeberkan hasil tes kejiwaan tersangka.
Belakangan diketahui PPTQ Al Hanifiyyah tak memiliki izin operasional pesantren. Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jawa Timur Mohammad As'adul Anam mengatakan pihaknya tidak bisa memberikan hukuman atau sanksi terhadap pesantren yang sudah memulai aktivitasnya sejak 2014 itu.
Keluarga korban berusaha mengikhlaskan kepergian Bintang. Namun Suyanti berharap kasus ini tetap diusut tuntas, dan semua yang terlibat dihukum berat agar kekerasan tak terulang kembali.
"Pihak keluarga memaafkan, semua memaafkan, karena memang kita mengikuti proses hukum, jadi kita tetap meminta pertanggungjawaban dari pondok," kata Suyanti.
Lihat Juga : |
Kasus perundungan atau bullying kerap terjadi di dunia pendidikan. Pada bulan yang sama, perundungan juga dialami siswa Binus School Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Korban dianiaya seniornya sebagai syarat masuk geng.
Aksi bullying itu dilakukan oleh 12 orang di warung belakang sekolah, Jumat (2/2). Perundungan dilakukan dengan cara menjambak, melepaskan celana, mencubit dada, memukul kepala dan perut dengan tangan terkepal, menarik kerah baju, mengelitik perut, menendang kaki. Akibat kekerasan itu, korban dilarikan ke rumah sakit.
"Para pelaku secara bergantian melakukan kekerasan terhadap anak korban dengan dalih 'tradisi' tidak tertulis sebagai tahapan untuk bergabung dalam kelompok atau komunitas," kata Kasat Reskrim Polres Tangerang Selatan AKP Alvino Cahyadi kepada wartawan, Jumat (1/3).
Polisi kemudian menetapkan tersangka. Sementara pihak sekolah menyatakan seluruh siswa yang terbukti melakukan kekerasan sudah tidak menjadi bagian dari komunitas Binus School.
Perilaku Purba
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono mengatakan perilaku perundungan bisa jadi telah ada sejak zaman purba, dan berlanjut hingga saat ini.
Istilah bullying sendiri baru diperkenalkan oleh Dan Olweus dari University Bergen, Norwegia pada 1970-an. Bullying dijelaskan sebagai suatu bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja untuk membuat individu merasa kesusahan.
Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP), perundungan merupakan kekerasan fisik dan/atau kekerasan psikis yang dilakukan secara berulang karena ketimpangan relasi kuasa.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji mengatakan perundungan di lembaga pendidikan masih terus terjadi, bahkan trennya mengalami kenaikan.
"Fenomena kekerasan di sekolah ini bak penyakit akut yang susah diobati, menjalar ke mana-mana dan susah diurai," ujar Ubaid kepada CNNIndonesia.com, Rabu (28/2).
Dia mengatakan kekerasan di sekolah juga didukung oleh sebuah sistem yang lemah, kehendak politik atau political will yang minim, dan juga pemikiran sesat para aktor yang terlibat.
Menurutnya, sosialisasi tak lagi mempan untuk penanganan bully. Ia mengatakan mesti ada perubahan mindset, perbaikan sistem, dan penguatan ekosistem ramah anak. Menurutnya, hal ini yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Bahkan, evaluasi juga tidak dilakukan dengan baik.
Ubaid turut menyinggung Kurikulum Merdeka yang digadang dapat menciptakan ekosistem ramah anak dan juga pengembangan karakter. Pada kenyataannya, kata Ubaid, kurikulum ini masih terseok-seok di level sekolah dan belum terlihat dampaknya atas perubahan mindset dan perilaku soal kekerasan di sekolah.
"Pemerintah harus bertanggung jawab penuh, karena pemerintah sebagai pihak yang diberikan amanah konstitusi selaku penyedia dan penanggung jawab penuh atas layanan pendidikan bagi warga negara," jelas dia.
Lebih lanjut, Ubaid juga menilai sampai saat ini, Permendikbudristek 46/2023 masih menjadi kertas kebijakan yang belum berjalan di lapangan.
Dia mengatakan meski kebijakan pendidikan adalah desentralisasi, mestinya pemerintah pusat tidak cuci tangan atas kasus-kasus yang terjadi di sekolah. Pemerintah harus memastikan kebijakan harus terlaksana dengan baik di lapangan.
Bersambung ke halaman berikutnya: Biang Kerok di Balik Marak Kasus Perundungan