Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para siswa, di mana guru menjadi ujung tombak di dalamnya.
Jokowi pun mengingatkan agar pihak sekolah tidak menutupi kasus perundungan yang terjadi di lingkungannya. Biasanya, kata Jokowi, kasus bullying ditutup-tutupi untuk melindungi nama baik sekolah.
"Jangan sampai kasus bullying ditutup-tutupi, tapi diselesaikan," ujar Jokowi saat memberi sambutan di acara Peresmian Pembukaan Kongres XXIII PGRI Tahun 2024 di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, Sabtu (2/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi pernyataan Jokowi, Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi mengatakan semestinya hal itu ditujukan kepada kementerian terkait.
"Ya ini sebaiknya ngomongnya sama kementerian lah. Kalau kita kan bisanya menghimbau secara moral. Betul, kan ya? Jadi kepada direktorat terkait, bagaimana ada mekanisme supaya lebih terbuka," kata Unifah.
"Kami semua sejak dulu, pernyataan saya itu jelas bahwa kita harus bebas dari perundungan. Perundungan kepada siswa, juga kepada guru," ujarnya menambahkan.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar menyebut beberapa faktor penyebab perundungan. Di antaranya faktor internal seperti ketidakstabilan emosi, keinginan untuk diakui, dan merasa tinggi diri.
Adapun faktor eksternal antara lain adanya ketidakseimbangan atau relasi kuasa antara pelaku dengan korban. Hal ini dapat berupa senioritas, fisik, gender hingga status sosial.
Nahar mengatakan penyebab lain yang menyertai biasanya terkait lingkungan pergaulan, pengaruh teman sebaya, pemrosesan informasi yang salah, hingga kurangnya pengawasan sekolah maupun orang tua.
Ia menyebut sosialisasi anti-bully harus terus dilakukan secara masif, baik oleh pemerintah, maupun seluruh satuan pendidikan secara merata dan holistik.
Kendati demikian, Nahar menilai juga perlu dilakukan pendekatan individu atau kelompok yang dapat menjangkau tenaga pendidik, peserta didik, orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat. Upaya itu dilakukan guna meningkatkan efektivitas dampak sosialisasi.
Selain itu, Nahar mengatakan sekolah mesti memiliki program pencegahan dan penanganan atau intervensi yang efektif.
Sinergi dan komunikasi yang aktif antara sekolah dan orang tua penting dilakukan. Menurut Nahar, orang tua perlu mengetahui detail informasi mengenai perkembangan sekolah dan anak mereka.
Dia juga menyoroti pola asuh dan komunikasi antara orang tua dan anak di rumah. Menurutnya, orang tua harus dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk mengutarakan apa yang ada di pikirannya dan apa yang dirasakan.
"Sering ditemui, ada beberapa kasus di mana orang tua menganggap enteng cerita anaknya apabila anak tersebut mengalami perundungan, sehingga membuat anak menjadi korban, kehilangan kepercayaan diri dan menganggap ortunya sendiri tidak mempercayainya," jelas Nahar kepada CNNIndonesia.com.
![]() |
Ia menyebut solusi lain dari sisi pengawasan yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui monitoring dan evaluasi atau monev sekolah ramah anak (SRA).
Hal itu dilakukan untuk memastikan apakah di sekolah tersebut memiliki kebijakan terkait SRA dan apakah di sekolah tersebut telah dibentuk tim dan mekanisme pengaduan apabila ada kasus kekerasan, termasuk dengan siapa berjejaring.
Nahar menilai sarana dan prasarana di sekolah perlu dipastikan tidak 'mendorong' memunculkan niat memungkinkan terjadinya kekerasan. Contohnya ada area-area pojok yang tidak terjangkau kamera pengawas atau CCTV, serta bagaimana peran orang tua di dalam sekolah, termasuk masyarakat di sekitar sekolah.
Lebih lanjut, Nahar mengatakan apabila sekolah tersebut telah memenuhi standar SRA namun masih belum tanggap dan cepat dalam penanganan kasus kekerasan di satuan pendidikan, maka status SRA-nya dapat dievaluasi bahkan dicabut. Sementara bagi sekolah yang masih tahap inisiasi SRA agar dapat terus dilakukan pembinaan.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Warsito mengatakan Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 disahkan sebagai dasar hukum bagi satuan pendidikan agar dapat melakukan pencegahan dan penindakan tegas terhadap tindak kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi.
Berdasarkan survei Asesmen Nasional 2022, sebanyak 34,51 persen siswa berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9 persen berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen berpotensi mengalami perundungan.
"Beberapa minggu lalu, kami telah melakukan koordinasi dengan Irjen Kemendikbudristek terkait adanya peraturan yang mengikat semua lembaga terkait untuk memastikan adanya regulasi yang melekat untuk meminimalisir kasus kekerasan yang ada di lembaga pendidikan," ujar Warsito kepada CNNIndonesia.com.
Pada koordinasi itu, jelas Warsito, pemerintah tidak membuat aturan baru. Dia mengungkap koordinasi tersebut membahas fenomena bullying secara umum, termasuk soal implementasi Permendikbudristek 46/2023 yang telah dikeluarkan pemerintah.
Warsito menerangkan Satuan Pendidikan sebagai lembaga pendidikan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tim itu dibentuk oleh satuan pendidikan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sekolah.
"Saat ini sedang dan masih berproses di tiap daerah. Progres masih kuantitatif untuk pembentukkan TPPK dan Satgas PPKSP," jelas Warsito.
Dia mengatakan hingga 25 Januari 2024, TPPK yang sudah terbentuk paling banyak pada jenjang SMA dengan persentase 74,50 persen, hal ini mengingat korban kekerasan juga banyak terjadi pada jenjang ini.
![]() |
Rincian jumlah TPPK tiap jenjang pendidikan, sebagai berikut:
- PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)
Jumlah sekolah: 203.563 sekolah
Jumlah TPPK: 96.931
Persentase TPPK: 47.61 persen
- SD (Sekolah Dasar)
Jumlah sekolah: 149.043 sekolah
Jumlah TPPK: 101.547
Persentase TPPK 68.13 persen
- SMP (Sekolah Menengah Pertama)
Jumlah sekolah: 42.837 sekolah
Jumlah TPPK: 29.175
Persentase TPPK: 68.10 persen
- SMA (Sekolah Menengah Atas)
Jumlah sekolah: 14.483 sekolah
Jumlah TPPK: 10.790
Persentase TPPK: 74.50 persen
- SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)
Jumlah sekolah: 14.442 sekolah
Jumlah TPPK: 9.825
Persentase TPPK: 68.03 persen
- SLB (Sekolah Luar Biasa)
Jumlah sekolah: 2.335 sekolah
Jumlah TPPK: 1.462
Persentase TPPK: 62.61 persen
- SKB atau PKBM (Sanggar Kegiatan Belajar atau Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat)
Jumlah sekolah: 10.628 sekolah
Jumlah TPPK: 3.986
Persentase TPPK: 29.03 persen
Warsito menjelaskan sekolah atau pesantren dapat dievaluasi berdasarkan sejauh mana kebijakan anti-bullying telah diimplementasikan dan dipatuhi oleh seluruh anggota komunitas pendidikan, termasuk guru, siswa, dan staf administrasi.
Selain itu, juga diiukur sejauh mana lembaga tersebut memenuhi standar tertentu yang menjamin lingkungan yang aman, inklusif, dan mendukung perkembangan anak-anak.
"Ini bisa meliputi evaluasi terhadap kebijakan dan praktik sekolah, perlindungan terhadap hak-hak anak, ketersediaan fasilitas dan sumber daya yang mendukung, serta tingkat kepuasan dan kesejahteraan siswa," kata dia.
Dapat pula dilakukan survei kepuasan dan persepsi siswa terhadap lingkungan sekolah atau pesantren. Hal ini terkait apakah siswa merasa aman dan nyaman di lingkungan sekolah atau pesantren, hingga apakah mereka merasa bahwa masalah perundungan atau bullying ditangani dengan baik.
Lalu, evaluasi dengan cara pengamatan langsung terhadap interaksi antarsiswa di lingkungan sekolah atau pesantren untuk memantau potensi terjadinya perilaku bully.
Selain itu, konsultasi dengan orang tua dan masyarakat. Mendengarkan masukan dan evaluasi dari orang tua siswa serta masyarakat sekitar dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang keadaan sekolah atau pesantren tersebut dari sudut pandang yang berbeda.
Warsito memaparkan sejumlah langkah konkret yang dapat diambil untuk melawan perundungan di lembaga pendidikan.
1. Pendidikan dan sosialisasi
Melakukan sosialisasi secara teratur tentang pentingnya menghormati perbedaan, menjaga keselamatan, dan menolak tindakan perundungan kepada seluruh anggota komunitas pendidikan.
2. Pelatihan untuk guru dan staf
Memberikan pelatihan kepada guru dan staf sekolah tentang cara mengidentifikasi, mencegah, dan menangani kasus perundungan, serta tentang cara menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif.
3. Pemberdayaan siswa
Mendorong siswa untuk menjadi agen perubahan dengan memberikan pendidikan tentang hak-hak mereka, memberi mereka keterampilan sosial dan emosional yang diperlukan untuk menghadapi situasi sulit, serta memberikan dukungan kepada korban perundungan.
4. Pengawasan dan penindakan
Menerapkan pengawasan yang ketat di lingkungan sekolah atau pesantren dan menindak tegas terhadap pelaku perundungan sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan.
5. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, masyarakat, dan orang tua
Melawan bully memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, swasta, masyarakat, dan orang tua, dalam mendukung upaya pencegahan dan penanganan kasus perundungan di lembaga pendidikan.
Semua orang yang menjadi korban atau mengetahui aksi perundungan diharapkan agar tidak ragu menghubungi guru atau Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang ada di sekolah.
Selain itu, kumpulkan bukti-bukti kasus perundungan agar pihak sekolah atau instansi terkait dapat merespons baik.
Berkomunikasi terbuka dengan orang tua atau kerabat dekat juga memungkinkan adanya dukungan tambahan bagi korban, baik dalam penyelesaian masalah maupun dalam aspek dukungan emosional.
Berikut ini beberapa Layanan Pelaporan yang dapat dihubungi untuk melaporkan kasus perundungan:
Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, layanan yang difasilitasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini bisa diakses melalui: hotline 021-129 atau WhatsApp 08111-129-129.
Tidak hanya untuk korban, masyarakat yang mengetahui kasus kekerasan juga dapat melapor melalui layanan tersebut.
Pengaduan kasus bullying dapat melalui layanan Kemendikbudristek secara online melalui situs https://lapor.go.id.
Layanan pengaduan online KPAI dapat dihubungi lewat WhatsApp: 081-1177-2273 atau telepon: (021) 3190 1556 maupun email: [email protected]
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Republik Indonesia (FSGI) Heru Purnomo menilai kasus perundungan di lembaga pendidikan pada dasarnya tidak bisa dihentikan, tapi hal itu perlu dicegah.
Dia menyebut empat tahap pencegahan bullying. Pertama, memberikan pemahanan anti-kekerasan kepada semua pihak. Kedua, sama-sama melakukan pengawasan untuk tindak pencegahan. Ketiga, perlunya evaluasi. Keempat, perlunya penanggulangan ketika ada tindak kekerasan.
"Ketika itu berjalan dengan baik, maka untuk berikutnya (perundungan) akan bisa diminimalisir," ujarnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pernah menyebut perundungan sebagai salah satu dosa pendidikan di Indonesia, selain intoleransi dan kekerasan seksual. Hingga di tahun terakhir masa jabatannya, dosa itu belum juga bisa ditebus oleh negara.
Lihat Juga : |