Jakarta, CNN Indonesia --
Bintang Balqis Maulana meninggal setelah mengalami penganiayaan di Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah Kediri, Jawa Timur. Anak 14 tahun itu menjadi korban kebrutalan para seniornya sesama santri.
Empat kakak kelas korban ditetapkan sebagai anak berhadapan dengan hukum atau tersangka. Mereka adalah AF berusia 16 tahun, AK (17), MA (18), dan MN (18). Salah satu tersangka merupakan sepupu korban.
Dalam rekonstruksi kasus yang digelar tertutup di Markas Kepolisian Resor Kediri Kota pada Kamis (29/2), tersangka memeragakan 55 adegan. Seluruhnya terjadi di tiga lokasi berbeda di lingkungan pondok tempat Bintang menimba ilmu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dari keempat tersangka, semua punya peran dalam hal penganiayaan atau pengeroyokan sehingga menyebabkan kematian korban," kata Kapolres Kediri Kota AKBP Bramastyo Priaji usai rekonstruksi.
Dari reka ulang itu diketahui bahwa Bintang dikeroyok secara berulang-ulang selama tiga hari sebelum menghembuskan napas terakhir pada Jumat (23/2) dini hari.
Tiga hari itu dimulai dari Minggu (18/2). Menurut polisi, para tersangka hanya menggunakan tangan kosong saat mengeroyok korban. Pukulan dan kekerasan kebanyakan didaratkan ke anggota tubuh bagian atas.
Bintang ketakutan. Ia sempat mengirim pesan kepada ibunya, Suyanti, melalui aplikasi WhatsApp pada Senin (19/2) petang. Anak bungsu dari tiga bersaudara itu meminta segera dijemput pulang ke Banyuwangi, Jawa Timur.
"Cpet sini. Aku takut maaa. Maaaa tolonggh. Sini cpettt jemput," tulis Bintang dalam pesan WhatsApp yang dikirim ke ibunya.
Suyanti menanyakan alasan Bintang minta dijemput, tapi tak dijawab. Saat itu sang ibu tidak menaruh curiga.
Hari berikutnya Bintang menghubungi ibunya menggunakan nomor telepon pihak pesantren. Sikapnya berubah. Melalui sambungan telepon, dia meminta tak usah dijemput karena sebentar lagi akan libur Ramadan dan akan pulang.
"'Tanggal 17 (Maret) saya sudah libur, jadi saya masih mau belajar dulu. Ya sudah, Mama, Assalamu'alaikum.' Itu percakapan terakhir sama saya," kata Suyanti bercerita kepada CNNIndonesia.com, Jumat (1/3).
Ibu 38 tahun itu sempat mengirim pesan, tapi tak pernah dibalas lagi oleh anaknya. Padahal pesan di WhatsApp itu telah terbaca.
Pihak keluarga tidak pernah tahu apa yang terjadi pada anaknya di pondok pesantren. Suyanti mengatakan keluarga selalu berusaha menanyakan kabar Bintang ke pihak pondok, namun diblokir.
"Anak saya tidak pernah bercerita (dianiaya), kalau dia memang bercerita kepada saya, ngapain saya nunggu-nunggu mengulur waktu," kata Suyanti.
Penganiayaan kembali terjadi pada Rabu (21/2) dan Kamis (22/2). Pengacara empat tersangka, Rini Puspitasari, mengungkapkan Bintang dihajar seniornya karena dianggap susah dinasihati, termasuk soal salat berjemaah.
Para seniornya tak puas dengan jawaban Bintang. Mereka pun emosi dan memukulinya. Pelaku dan korban tinggal satu kamar di pondok itu.
 Infografis Kenali Ciri-ciri Pelaku Bullying. (CNN Indonesia/Laudy Gracivia) |
Setelah dihajar habis-habisan, kondisi korban makin melemah. Jumat pukul tiga dini hari, sepupu korban yang ikut menganiaya berusaha membangunkan Bintang. Saat itu wajah korban terlihat pucat.
Para penganiaya mulai panik ketika korban tak sadarkan diri. Mereka diam-diam membawa Bintang pergi ke Rumah Sakit Arga Husada Ngadiluwih, Kabupaten Kediri. Dokter yang memeriksa menyatakan korban telah meninggal. Di tubuhnya ditemukan banyak luka.
Bintang kemudian dibawa ke pondok, lalu dimandikan dan dikafani. Pengasuh pondok pesantren, Fatihunnada atau Gus Fatih, mengaku tak melihat lagi kondisi korban yang sudah terbungkus kain kafan.
Dia hanya menerima laporan bahwa Bintang meninggal karena terpeleset di kamar mandi. Kabar itu dia dapatkan dari santrinya yang juga sepupu korban.
"Saya percaya karena yang menyampaikan kakaknya (sepupu). Masa kakaknya mau menipu, kan kecil kemungkinan," kata Fatih, Senin (26/2).
Di Banyuwangi, ibu korban menunggu telepon dari anaknya sejak pagi. Bagai petir di siang bolong, Suyanti menerima kabar Bintang telah meninggal dunia karena jatuh di kamar mandi.
"Saya tunggu hari Jumat biasanya ada telepon, mulai itu enggak ada kabar lagi, sampai siangnya saya mendengar kabar kematian putra saya," kata Suyanti.
Setelah disalati usai salat Jumat, jenazah kemudian diantar ke rumah duka di Afdeling Kampunganyar, Dusun Kendenglembu, Desa Karangharjo, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi.
Geger di rumah duka
Bintang pulang tanpa nyawa. Jenazahnya tiba di rumah duka dalam kondisi sudah dikafani.
Kakak korban, Mia Nur Khasanah, merasa curiga melihat darah merembes keluar dari keranda. Dia pun meminta agar kain kafan almarhum dibuka untuk melihat kondisi sebenarnya.
Permintaan itu sempat dihalangi. Tapi Mia dan warga yang melayat bersikeras membuka kain kafan Bintang.
Begitu dibuka, betapa terkejutnya mereka terkejut mengetahui banyak luka lebam di sekujur badan, hidung tampak patah, luka kaki seperti tersundut rokok.
Sepupu korban yang ikut mengantar jenazah ditanya oleh Suyanti. Dia akhirnya berbicara apa adanya dan mengakui ikut memukuli Bintang.
"Salah satu (tersangka) langsung mengakui di sini, di samping jenazah korban," kata Suyanti.
Gus Fatih ikutan kaget melihat kondisi jenazah penuh luka hingga mengucur darah. Dia mengaku tak tahu penyebab kematian santrinya itu. Semua itu di luar perkiraannya.
Dia pun menyerahkan kasus kematian Bintang kepada pihak kepolisian. Fatih sendiri sudah dimintai keterangan oleh polisi di Banyuwangi hingga Polres Kediri Kota.
Rini yang mendampingi para tersangka mengatakan mereka menyesal dan terpukul karena tindakannya berujung fatal. "Salah satunya itu malah sulit untuk berkata-kata, karena dia yang memulai," ujar Rini, Rabu (28/2).
Pihak keluarga berencana datang ke Kediri pada Senin (4/3). Mereka meminta polisi menggelar rekonstruksi ulang. Suyanti meragukan hasil rekonstruksi yang menyebut para tersangka hanya berbekal tangan kosong saat menganiaya anaknya.
"Sangat-sangat bohong sekali, soalnya yang saya tahu, saya lihat di kaki anak saya ada sundutan rokok," ujar dia.
[Gambas:Video CNN]
Terkait proses hukum, polisi menjerat keempat tersangka dengan Pasal 80 Ayat 3 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perlindungan Anak, Pasal 170 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penggunaan kekerasan terhadap orang atau barang.
Mereka juga dijerat dengan Pasal 351 KUHP tentang tindak pidana yang dilakukan secara berulang hingga mengakibatkan kematian.
Hasil tes kejiwaan para tersangka menunjukkan mereka kurang mendapat perhatian serta kasih sayang dari orang tuanya. Para pelaku adalah korban kekerasan fisik maupun verbal dari orang tuanya sejak kecil.
"Perilaku agresi tersangka disebabkan oleh riwayat masa kecil dan pola asuh kedua orang tua tersangka yang cenderung mendapat kekerasan secara fisik dan verbal," kata AKBP Bramastyo membeberkan hasil tes kejiwaan tersangka.
Belakangan diketahui PPTQ Al Hanifiyyah tak memiliki izin operasional pesantren. Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jawa Timur Mohammad As'adul Anam mengatakan pihaknya tidak bisa memberikan hukuman atau sanksi terhadap pesantren yang sudah memulai aktivitasnya sejak 2014 itu.
Keluarga korban berusaha mengikhlaskan kepergian Bintang. Namun Suyanti berharap kasus ini tetap diusut tuntas, dan semua yang terlibat dihukum berat agar kekerasan tak terulang kembali.
"Pihak keluarga memaafkan, semua memaafkan, karena memang kita mengikuti proses hukum, jadi kita tetap meminta pertanggungjawaban dari pondok," kata Suyanti.
Kasus perundungan atau bullying kerap terjadi di dunia pendidikan. Pada bulan yang sama, perundungan juga dialami siswa Binus School Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Korban dianiaya seniornya sebagai syarat masuk geng.
Aksi bullying itu dilakukan oleh 12 orang di warung belakang sekolah, Jumat (2/2). Perundungan dilakukan dengan cara menjambak, melepaskan celana, mencubit dada, memukul kepala dan perut dengan tangan terkepal, menarik kerah baju, mengelitik perut, menendang kaki. Akibat kekerasan itu, korban dilarikan ke rumah sakit.
"Para pelaku secara bergantian melakukan kekerasan terhadap anak korban dengan dalih 'tradisi' tidak tertulis sebagai tahapan untuk bergabung dalam kelompok atau komunitas," kata Kasat Reskrim Polres Tangerang Selatan AKP Alvino Cahyadi kepada wartawan, Jumat (1/3).
Polisi kemudian menetapkan tersangka. Sementara pihak sekolah menyatakan seluruh siswa yang terbukti melakukan kekerasan sudah tidak menjadi bagian dari komunitas Binus School.
 Infografis Hantu Bullying di Sekolah Sepanjang 2023. (CNN Indonesia/Basith Subastian) |
Perilaku Purba
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Aris Adi Leksono mengatakan perilaku perundungan bisa jadi telah ada sejak zaman purba, dan berlanjut hingga saat ini.
Istilah bullying sendiri baru diperkenalkan oleh Dan Olweus dari University Bergen, Norwegia pada 1970-an. Bullying dijelaskan sebagai suatu bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja untuk membuat individu merasa kesusahan.
Berdasarkan Pasal 9 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP), perundungan merupakan kekerasan fisik dan/atau kekerasan psikis yang dilakukan secara berulang karena ketimpangan relasi kuasa.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji mengatakan perundungan di lembaga pendidikan masih terus terjadi, bahkan trennya mengalami kenaikan.
"Fenomena kekerasan di sekolah ini bak penyakit akut yang susah diobati, menjalar ke mana-mana dan susah diurai," ujar Ubaid kepada CNNIndonesia.com, Rabu (28/2).
Dia mengatakan kekerasan di sekolah juga didukung oleh sebuah sistem yang lemah, kehendak politik atau political will yang minim, dan juga pemikiran sesat para aktor yang terlibat.
Menurutnya, sosialisasi tak lagi mempan untuk penanganan bully. Ia mengatakan mesti ada perubahan mindset, perbaikan sistem, dan penguatan ekosistem ramah anak. Menurutnya, hal ini yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Bahkan, evaluasi juga tidak dilakukan dengan baik.
Ubaid turut menyinggung Kurikulum Merdeka yang digadang dapat menciptakan ekosistem ramah anak dan juga pengembangan karakter. Pada kenyataannya, kata Ubaid, kurikulum ini masih terseok-seok di level sekolah dan belum terlihat dampaknya atas perubahan mindset dan perilaku soal kekerasan di sekolah.
"Pemerintah harus bertanggung jawab penuh, karena pemerintah sebagai pihak yang diberikan amanah konstitusi selaku penyedia dan penanggung jawab penuh atas layanan pendidikan bagi warga negara," jelas dia.
Lebih lanjut, Ubaid juga menilai sampai saat ini, Permendikbudristek 46/2023 masih menjadi kertas kebijakan yang belum berjalan di lapangan.
Dia mengatakan meski kebijakan pendidikan adalah desentralisasi, mestinya pemerintah pusat tidak cuci tangan atas kasus-kasus yang terjadi di sekolah. Pemerintah harus memastikan kebijakan harus terlaksana dengan baik di lapangan.
Bersambung ke halaman berikutnya: Biang Kerok di Balik Marak Kasus Perundungan
Berdasarkan hasil pengawasan KPAI, terdapat lima faktor yang menjadi biang kerok di balik maraknya kasus perundungan. Di antaranya adalah kondisi pengawasan, pembinaan, dan edukasi tentang perundungan kurang optimal di satuan pendidikan.
Aris mengatakan satuan pendidikan tidak melakukan deteksi dini terhadap potensi penyimpangan perilaku pada peserta didik, bagaimana mengenali "circle" peserta didik, bagaimana interaksi anak dengan keluarga dan lingkungan, bagaimana mengawasi media sosialnya, dan lainnya.
Faktor lain adalah sebagian warga satuan pendidikan masih menganggap bahwa bullying dan perundungan adalah masalah biasa seperti kenakalan anak.
Aris menyebut mereka baru menyadari bahaya perundungan setelah terjadi kasus dan menemukan dampak fisik serta psikis yang mengancam tumbuh kembang anak. Tak jarang pula kasus perundungan berakhir pada meninggalnya korban.
Selain itu, sistem pendidikan, kurikulum, dan praktik pembelajaran belum optimal dalam merespons perubahan perilaku peserta didik, baik karena pengaruh lingkungan ataupun media sosial.
Ia menilai beban transfer pengetahuan masih sangat berat, sehingga mengabaikan penguatan sikap, karakter, mental, dan adab atau akhlak mulia.
Akibatnya, anak menjadi terlambat membentuk konsep diri yang baik. Aris menyebut dengan konsep diri, anak dapat bertumbuh kembang dengan kesadaran dan tanggung jawab akan perbuatannya serta dapat membedakan perilaku yang baik dan buruk.
Lalu, implementasi regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan di tingkat pemerintah daerah dan satuan pendidikan yang belum optimal.
Aris mengatakan hal itu terbukti dengan masih terjadinya miskonsepsi terkait pola koordinasi lintas organisasi pemerintah daerah (OPD), aparat penegak hukum, satuan pendidikan dan lembaga masyarakat terkait teknis pembentukan Satgas Daerah, Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) pada satuan pendidikan, teknis penanganan kasus, dan lainnya.
Selain itu, pencegahan dan penanganan masih bertumpu hanya pada satuan pendidikan dan dinas pendidikan atau Kementerian Agama tingkat Kota/Kabupaten maupun Provinsi.
Ia juga menilai edukasi dan perhatian keluarga kepada anak berkurang karena faktor ekonomi, kesibukan, dan broken home. Hal ini mendorong perilaku anak melakukan perundungan, atau bahkan membiarkannya di depan mata.
"Anak menjadikan media sosial sebagai rumah kedua untuk mencari perhatian dari sumber yang salah, sehingga anak mudah terpengaruh oleh tayangan kekerasan yang ditonton," jelas Aris.
Moralitas dalam keluarga
Praktisi Psikologi Anak, Aninda menjelaskan faktor utama di balik anak yang menjadi pembully adalah penanaman moralitas dalam keluarga. Moralitas tersebut meliputi empati, suara hati, self-control atau kontrol diri, respek, kindness atau kebaikan, toleransi, dan keadilan. Aninda menilai tujuh nilai moralitas ini dapat ditanam pada anak sejak usia dini.
Orang tua dan pihak sekolah dinilai bertanggung jawab atas perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan. Aninda menyebut anak yang memasuki usia remaja sudah mampu membedakan hal yang benar dan salah.
"Perundungan yang terjadi berulang kali ini bisa terjadi pasti karena adanya kesempatan untuk mengulang lagi (perundungan) tersebut," kata Aninda kepada CNNIndonesia.com.
Dia menjelaskan, kesempatan mengulang lagi itu bisa terjadi karena ada kelonggaran pengawasan. Misalnya, keamanan di sekolah tidak ketat. Faktor lingkungan ini jadi suatu hal yang krusial.
[Gambas:Infografis CNN]
Sejalan dengan itu, Ubaid mengatakan pencegahan kekerasan di lembaga pendidikan butuh sistem yang kokoh dan keterlibatan seluruh ekosistem sekolah.
Dalam upaya menciptakan ekosistem ramah anak, semua pihak mesti dilibatkan secara partisipatif dalam seluruh proses pencegahan kekerasan, mulai dari perencanaan hingga monitoring evaluasi.
Proses ini harus melibatkan peserta didik, orang tua, dan masyarakat di luar sekolah. Adapun antar-pihak harus saling membangun dan menguatkan relasi yang setara dan terbuka. Ubaid mengatakan jangan sampai ada hegemoni satu pihak, sehingga menyebabkan relasi kuasa yang timpang.
"Tanpa keterlibatan semua pihak, maka omong kosong itu agenda pencegahan kekerasan di sekolah," kata Ubaid.
Ubaid juga menilai sanksi dikeluarkan dari sekolah bagi anak yang terlibat kekerasan juga tidak tepat. Sebab, hal itu akan mengeksklusi anak tersebut dan justru terjadi pelanggaran terhadap hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan.
Seharunya, kata Ubaid, anak tersebut harus tetap dibimbing dan mendapatkan pendampingan secara intensif.
Pemadam kekerasan di pesantren
Pengamat Pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah menyoroti minimnya fungsi pengawasan dan pembinaan dari Kemenag terhadap seluruh pondok pesantren di Indonesia.
Hal itu dinilai penting karena UU Nomor 18 tahun 2019 telah mewajibkan agar pondok atau asrama pesantren harus memperhatikan aspek keamanan bagi santri.
"Pemerintah harus melakukan monitoring dan evaluasi pesantren secara berkala. Lalu menjadikan pesantren ramah anak sebagai program prioritas," jelas Jejen.
Sementara itu, Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang Edi Subkhan turut mendorong agar Kementerian Agama (Kemenag) segera menerbitkan regulasi yang secara spesifik mengatur pencegahan kekerasan di lingkungan pesantren. Terutama karena selama ini peraturan menteri yang ada masih berfokus pada kekerasan seksual saja.
Menurut Edi, Kemenag dapat meniru aturan dari Kemendikbudristek yang meminta setiap sekolah membentuk tim untuk mengatasi kasus kekerasan dan sejenisnya.
Kendati demikian, ia menilai hal tersebut harus tetap disesuaikan dengan karakteristik dari model pendidikan pesantren yang berbeda dengan sekolah umum.
Selain itu, Edi menilai diperlukan pula tim lain yang bertugas melakukan pencegahan dan sosialisasi untuk meminimalisir aksi-aksi kekerasan di lingkungan pesantren.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji menilai tantangan terbesar dari pembuatan kebijakan atau peraturan di tingkat pusat adalah menerjemahkannya pada lembaga pendidikan, yakni sekolah hingga pesantren.
Ia lantas menyinggung Satgas PPKSP yang diamanatkan dalam Permendikbudristek 46/2023. Menurutnya, Satgas itu seharusnya dimaksimalkan untuk melakukan pencegahan kekerasan di semua lembaga pendidikan, termasuk pesantren.
Ubaid turut menyenggol kinerja Kemenag terkait pengawasan kasus perundungan di lingkungan pesantren yang dinilai masih minim.
Selama ini, kata Ubaid, model Kemenag dalam menangani kasus perundungan masih seperti pemadam kebakaran. Mereka hanya menangani kasus setelah ada kejadian, bukannya melakukan perbaikan sistem.
Dia berpandangan, Kantor Urusan Agama (KUA) mestinya bisa ikut berkoordinasi pada kasus kekerasan yang terjadi pada lembaga pendidikan di bawah naungan Kemenag. Termasuk, Satgas PPKSP juga harus melibatkan KUA dalam menjalankan tugasnya. Sebab, KUA memiliki perangkat penyuluh agama yang dapat terjun ke masyarakat.
"Jadi saling menguatkan. Tidak kemudian Kemendikbudristek melakuan apa, Kemenag melakukan apa. Itu yang hari ini, menurut pengamatan saya, ego sektoral itu masih terjadi. Mestinya kan Kemendikbud dan Kemenag ini bersinergi melakukan pencegahan-pencegahan dan penanggulangan bersama," kata Ubaid.
Dia mencotohkan apabila kedua kementerian ini berjalan beriringan, maka mungkin tema-tema terkait pencegahan kekerasan masuk dalam muatan materi ceramah di berbagai rumah ibadah.
Bersambung ke halaman berikutnya: Perundungan di Mata Pemerintah
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi para siswa, di mana guru menjadi ujung tombak di dalamnya.
Jokowi pun mengingatkan agar pihak sekolah tidak menutupi kasus perundungan yang terjadi di lingkungannya. Biasanya, kata Jokowi, kasus bullying ditutup-tutupi untuk melindungi nama baik sekolah.
"Jangan sampai kasus bullying ditutup-tutupi, tapi diselesaikan," ujar Jokowi saat memberi sambutan di acara Peresmian Pembukaan Kongres XXIII PGRI Tahun 2024 di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, Sabtu (2/3).
Menanggapi pernyataan Jokowi, Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi mengatakan semestinya hal itu ditujukan kepada kementerian terkait.
"Ya ini sebaiknya ngomongnya sama kementerian lah. Kalau kita kan bisanya menghimbau secara moral. Betul, kan ya? Jadi kepada direktorat terkait, bagaimana ada mekanisme supaya lebih terbuka," kata Unifah.
"Kami semua sejak dulu, pernyataan saya itu jelas bahwa kita harus bebas dari perundungan. Perundungan kepada siswa, juga kepada guru," ujarnya menambahkan.
Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA, Nahar menyebut beberapa faktor penyebab perundungan. Di antaranya faktor internal seperti ketidakstabilan emosi, keinginan untuk diakui, dan merasa tinggi diri.
Adapun faktor eksternal antara lain adanya ketidakseimbangan atau relasi kuasa antara pelaku dengan korban. Hal ini dapat berupa senioritas, fisik, gender hingga status sosial.
Nahar mengatakan penyebab lain yang menyertai biasanya terkait lingkungan pergaulan, pengaruh teman sebaya, pemrosesan informasi yang salah, hingga kurangnya pengawasan sekolah maupun orang tua.
Ia menyebut sosialisasi anti-bully harus terus dilakukan secara masif, baik oleh pemerintah, maupun seluruh satuan pendidikan secara merata dan holistik.
Kendati demikian, Nahar menilai juga perlu dilakukan pendekatan individu atau kelompok yang dapat menjangkau tenaga pendidik, peserta didik, orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat. Upaya itu dilakukan guna meningkatkan efektivitas dampak sosialisasi.
Selain itu, Nahar mengatakan sekolah mesti memiliki program pencegahan dan penanganan atau intervensi yang efektif.
Sinergi dan komunikasi yang aktif antara sekolah dan orang tua penting dilakukan. Menurut Nahar, orang tua perlu mengetahui detail informasi mengenai perkembangan sekolah dan anak mereka.
Dia juga menyoroti pola asuh dan komunikasi antara orang tua dan anak di rumah. Menurutnya, orang tua harus dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk mengutarakan apa yang ada di pikirannya dan apa yang dirasakan.
"Sering ditemui, ada beberapa kasus di mana orang tua menganggap enteng cerita anaknya apabila anak tersebut mengalami perundungan, sehingga membuat anak menjadi korban, kehilangan kepercayaan diri dan menganggap ortunya sendiri tidak mempercayainya," jelas Nahar kepada CNNIndonesia.com.
 Seorang anak memegang poster saat mengikuti Festival Suara Anak di Gereja Katedral, Jakarta Pusat. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Ia menyebut solusi lain dari sisi pengawasan yang dapat dilakukan pemerintah adalah melalui monitoring dan evaluasi atau monev sekolah ramah anak (SRA).
Hal itu dilakukan untuk memastikan apakah di sekolah tersebut memiliki kebijakan terkait SRA dan apakah di sekolah tersebut telah dibentuk tim dan mekanisme pengaduan apabila ada kasus kekerasan, termasuk dengan siapa berjejaring.
Nahar menilai sarana dan prasarana di sekolah perlu dipastikan tidak 'mendorong' memunculkan niat memungkinkan terjadinya kekerasan. Contohnya ada area-area pojok yang tidak terjangkau kamera pengawas atau CCTV, serta bagaimana peran orang tua di dalam sekolah, termasuk masyarakat di sekitar sekolah.
Lebih lanjut, Nahar mengatakan apabila sekolah tersebut telah memenuhi standar SRA namun masih belum tanggap dan cepat dalam penanganan kasus kekerasan di satuan pendidikan, maka status SRA-nya dapat dievaluasi bahkan dicabut. Sementara bagi sekolah yang masih tahap inisiasi SRA agar dapat terus dilakukan pembinaan.
Dasar hukum pencegahan perundungan
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Moderasi Beragama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Warsito mengatakan Permendikbud Nomor 46 Tahun 2023 disahkan sebagai dasar hukum bagi satuan pendidikan agar dapat melakukan pencegahan dan penindakan tegas terhadap tindak kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi.
Berdasarkan survei Asesmen Nasional 2022, sebanyak 34,51 persen siswa berpotensi mengalami kekerasan seksual, 26,9 persen berpotensi mengalami hukuman fisik, dan 36,31 persen berpotensi mengalami perundungan.
"Beberapa minggu lalu, kami telah melakukan koordinasi dengan Irjen Kemendikbudristek terkait adanya peraturan yang mengikat semua lembaga terkait untuk memastikan adanya regulasi yang melekat untuk meminimalisir kasus kekerasan yang ada di lembaga pendidikan," ujar Warsito kepada CNNIndonesia.com.
Pada koordinasi itu, jelas Warsito, pemerintah tidak membuat aturan baru. Dia mengungkap koordinasi tersebut membahas fenomena bullying secara umum, termasuk soal implementasi Permendikbudristek 46/2023 yang telah dikeluarkan pemerintah.
Warsito menerangkan Satuan Pendidikan sebagai lembaga pendidikan membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK). Tim itu dibentuk oleh satuan pendidikan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sekolah.
"Saat ini sedang dan masih berproses di tiap daerah. Progres masih kuantitatif untuk pembentukkan TPPK dan Satgas PPKSP," jelas Warsito.
Dia mengatakan hingga 25 Januari 2024, TPPK yang sudah terbentuk paling banyak pada jenjang SMA dengan persentase 74,50 persen, hal ini mengingat korban kekerasan juga banyak terjadi pada jenjang ini.
 Infografis Menyingkap 1001 Wajah Bully. (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi) |
Rincian jumlah TPPK tiap jenjang pendidikan, sebagai berikut:
- PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)
Jumlah sekolah: 203.563 sekolah
Jumlah TPPK: 96.931
Persentase TPPK: 47.61 persen
- SD (Sekolah Dasar)
Jumlah sekolah: 149.043 sekolah
Jumlah TPPK: 101.547
Persentase TPPK 68.13 persen
- SMP (Sekolah Menengah Pertama)
Jumlah sekolah: 42.837 sekolah
Jumlah TPPK: 29.175
Persentase TPPK: 68.10 persen
- SMA (Sekolah Menengah Atas)
Jumlah sekolah: 14.483 sekolah
Jumlah TPPK: 10.790
Persentase TPPK: 74.50 persen
- SMK (Sekolah Menengah Kejuruan)
Jumlah sekolah: 14.442 sekolah
Jumlah TPPK: 9.825
Persentase TPPK: 68.03 persen
- SLB (Sekolah Luar Biasa)
Jumlah sekolah: 2.335 sekolah
Jumlah TPPK: 1.462
Persentase TPPK: 62.61 persen
- SKB atau PKBM (Sanggar Kegiatan Belajar atau Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat)
Jumlah sekolah: 10.628 sekolah
Jumlah TPPK: 3.986
Persentase TPPK: 29.03 persen
Warsito menjelaskan sekolah atau pesantren dapat dievaluasi berdasarkan sejauh mana kebijakan anti-bullying telah diimplementasikan dan dipatuhi oleh seluruh anggota komunitas pendidikan, termasuk guru, siswa, dan staf administrasi.
Selain itu, juga diiukur sejauh mana lembaga tersebut memenuhi standar tertentu yang menjamin lingkungan yang aman, inklusif, dan mendukung perkembangan anak-anak.
"Ini bisa meliputi evaluasi terhadap kebijakan dan praktik sekolah, perlindungan terhadap hak-hak anak, ketersediaan fasilitas dan sumber daya yang mendukung, serta tingkat kepuasan dan kesejahteraan siswa," kata dia.
Dapat pula dilakukan survei kepuasan dan persepsi siswa terhadap lingkungan sekolah atau pesantren. Hal ini terkait apakah siswa merasa aman dan nyaman di lingkungan sekolah atau pesantren, hingga apakah mereka merasa bahwa masalah perundungan atau bullying ditangani dengan baik.
Lalu, evaluasi dengan cara pengamatan langsung terhadap interaksi antarsiswa di lingkungan sekolah atau pesantren untuk memantau potensi terjadinya perilaku bully.
Selain itu, konsultasi dengan orang tua dan masyarakat. Mendengarkan masukan dan evaluasi dari orang tua siswa serta masyarakat sekitar dapat memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang keadaan sekolah atau pesantren tersebut dari sudut pandang yang berbeda.
Cara melawan Perundungan
Warsito memaparkan sejumlah langkah konkret yang dapat diambil untuk melawan perundungan di lembaga pendidikan.
1. Pendidikan dan sosialisasi
Melakukan sosialisasi secara teratur tentang pentingnya menghormati perbedaan, menjaga keselamatan, dan menolak tindakan perundungan kepada seluruh anggota komunitas pendidikan.
2. Pelatihan untuk guru dan staf
Memberikan pelatihan kepada guru dan staf sekolah tentang cara mengidentifikasi, mencegah, dan menangani kasus perundungan, serta tentang cara menciptakan lingkungan belajar yang aman dan inklusif.
3. Pemberdayaan siswa
Mendorong siswa untuk menjadi agen perubahan dengan memberikan pendidikan tentang hak-hak mereka, memberi mereka keterampilan sosial dan emosional yang diperlukan untuk menghadapi situasi sulit, serta memberikan dukungan kepada korban perundungan.
4. Pengawasan dan penindakan
Menerapkan pengawasan yang ketat di lingkungan sekolah atau pesantren dan menindak tegas terhadap pelaku perundungan sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan.
5. Kolaborasi antara pemerintah, swasta, masyarakat, dan orang tua
Melawan bully memerlukan kerjasama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, swasta, masyarakat, dan orang tua, dalam mendukung upaya pencegahan dan penanganan kasus perundungan di lembaga pendidikan.
[Gambas:Video CNN]
Cara melaporkan perundungan
Semua orang yang menjadi korban atau mengetahui aksi perundungan diharapkan agar tidak ragu menghubungi guru atau Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang ada di sekolah.
Selain itu, kumpulkan bukti-bukti kasus perundungan agar pihak sekolah atau instansi terkait dapat merespons baik.
Berkomunikasi terbuka dengan orang tua atau kerabat dekat juga memungkinkan adanya dukungan tambahan bagi korban, baik dalam penyelesaian masalah maupun dalam aspek dukungan emosional.
Berikut ini beberapa Layanan Pelaporan yang dapat dihubungi untuk melaporkan kasus perundungan:
SAPA 129
Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129, layanan yang difasilitasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini bisa diakses melalui:
hotline 021-129 atau WhatsApp 08111-129-129.
Tidak hanya untuk korban, masyarakat yang mengetahui kasus kekerasan juga dapat melapor melalui layanan tersebut.
Lapor.go.id
Pengaduan kasus bullying dapat melalui layanan Kemendikbudristek secara online melalui situs https://lapor.go.id.
KPAI
Layanan pengaduan online KPAI dapat dihubungi lewat WhatsApp: 081-1177-2273 atau telepon: (021) 3190 1556 maupun email: [email protected]
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Republik Indonesia (FSGI) Heru Purnomo menilai kasus perundungan di lembaga pendidikan pada dasarnya tidak bisa dihentikan, tapi hal itu perlu dicegah.
Dia menyebut empat tahap pencegahan bullying. Pertama, memberikan pemahanan anti-kekerasan kepada semua pihak. Kedua, sama-sama melakukan pengawasan untuk tindak pencegahan. Ketiga, perlunya evaluasi. Keempat, perlunya penanggulangan ketika ada tindak kekerasan.
"Ketika itu berjalan dengan baik, maka untuk berikutnya (perundungan) akan bisa diminimalisir," ujarnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim pernah menyebut perundungan sebagai salah satu dosa pendidikan di Indonesia, selain intoleransi dan kekerasan seksual. Hingga di tahun terakhir masa jabatannya, dosa itu belum juga bisa ditebus oleh negara.