KRONIK

Perundungan, Dosa Pendidikan yang Terabaikan

CNN Indonesia
Senin, 04 Mar 2024 15:58 WIB
Kasus perundungan atau bullying di lembaga pendidikan masih terus berulang, bahkan hingga memakan korban. Siapa bertanggung jawab?
Ilustrasi. (Foto: iStockphoto)

Berdasarkan hasil pengawasan KPAI, terdapat lima faktor yang menjadi biang kerok di balik maraknya kasus perundungan. Di antaranya adalah kondisi pengawasan, pembinaan, dan edukasi tentang perundungan kurang optimal di satuan pendidikan.

Aris mengatakan satuan pendidikan tidak melakukan deteksi dini terhadap potensi penyimpangan perilaku pada peserta didik, bagaimana mengenali "circle" peserta didik, bagaimana interaksi anak dengan keluarga dan lingkungan, bagaimana mengawasi media sosialnya, dan lainnya.

Faktor lain adalah sebagian warga satuan pendidikan masih menganggap bahwa bullying dan perundungan adalah masalah biasa seperti kenakalan anak.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aris menyebut mereka baru menyadari bahaya perundungan setelah terjadi kasus dan menemukan dampak fisik serta psikis yang mengancam tumbuh kembang anak. Tak jarang pula kasus perundungan berakhir pada meninggalnya korban.

Selain itu, sistem pendidikan, kurikulum, dan praktik pembelajaran belum optimal dalam merespons perubahan perilaku peserta didik, baik karena pengaruh lingkungan ataupun media sosial.

Ia menilai beban transfer pengetahuan masih sangat berat, sehingga mengabaikan penguatan sikap, karakter, mental, dan adab atau akhlak mulia.

Akibatnya, anak menjadi terlambat membentuk konsep diri yang baik. Aris menyebut dengan konsep diri, anak dapat bertumbuh kembang dengan kesadaran dan tanggung jawab akan perbuatannya serta dapat membedakan perilaku yang baik dan buruk.

Lalu, implementasi regulasi pencegahan dan penanganan kekerasan pada satuan pendidikan di tingkat pemerintah daerah dan satuan pendidikan yang belum optimal.

Aris mengatakan hal itu terbukti dengan masih terjadinya miskonsepsi terkait pola koordinasi lintas organisasi pemerintah daerah (OPD), aparat penegak hukum, satuan pendidikan dan lembaga masyarakat terkait teknis pembentukan Satgas Daerah, Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) pada satuan pendidikan, teknis penanganan kasus, dan lainnya.

Selain itu, pencegahan dan penanganan masih bertumpu hanya pada satuan pendidikan dan dinas pendidikan atau Kementerian Agama tingkat Kota/Kabupaten maupun Provinsi.

Ia juga menilai edukasi dan perhatian keluarga kepada anak berkurang karena faktor ekonomi, kesibukan, dan broken home. Hal ini mendorong perilaku anak melakukan perundungan, atau bahkan membiarkannya di depan mata.

"Anak menjadikan media sosial sebagai rumah kedua untuk mencari perhatian dari sumber yang salah, sehingga anak mudah terpengaruh oleh tayangan kekerasan yang ditonton," jelas Aris.

Moralitas dalam keluarga

Praktisi Psikologi Anak, Aninda menjelaskan faktor utama di balik anak yang menjadi pembully adalah penanaman moralitas dalam keluarga. Moralitas tersebut meliputi empati, suara hati, self-control atau kontrol diri, respek, kindness atau kebaikan, toleransi, dan keadilan. Aninda menilai tujuh nilai moralitas ini dapat ditanam pada anak sejak usia dini.

Orang tua dan pihak sekolah dinilai bertanggung jawab atas perundungan yang terjadi di lembaga pendidikan. Aninda menyebut anak yang memasuki usia remaja sudah mampu membedakan hal yang benar dan salah.

"Perundungan yang terjadi berulang kali ini bisa terjadi pasti karena adanya kesempatan untuk mengulang lagi (perundungan) tersebut," kata Aninda kepada CNNIndonesia.com.

Dia menjelaskan, kesempatan mengulang lagi itu bisa terjadi karena ada kelonggaran pengawasan. Misalnya, keamanan di sekolah tidak ketat. Faktor lingkungan ini jadi suatu hal yang krusial.



Sejalan dengan itu, Ubaid mengatakan pencegahan kekerasan di lembaga pendidikan butuh sistem yang kokoh dan keterlibatan seluruh ekosistem sekolah.

Dalam upaya menciptakan ekosistem ramah anak, semua pihak mesti dilibatkan secara partisipatif dalam seluruh proses pencegahan kekerasan, mulai dari perencanaan hingga monitoring evaluasi.

Proses ini harus melibatkan peserta didik, orang tua, dan masyarakat di luar sekolah. Adapun antar-pihak harus saling membangun dan menguatkan relasi yang setara dan terbuka. Ubaid mengatakan jangan sampai ada hegemoni satu pihak, sehingga menyebabkan relasi kuasa yang timpang.

"Tanpa keterlibatan semua pihak, maka omong kosong itu agenda pencegahan kekerasan di sekolah," kata Ubaid.

Ubaid juga menilai sanksi dikeluarkan dari sekolah bagi anak yang terlibat kekerasan juga tidak tepat. Sebab, hal itu akan mengeksklusi anak tersebut dan justru terjadi pelanggaran terhadap hak anak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan.

Seharunya, kata Ubaid, anak tersebut harus tetap dibimbing dan mendapatkan pendampingan secara intensif.

Pemadam kekerasan di pesantren

Pengamat Pendidikan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah menyoroti minimnya fungsi pengawasan dan pembinaan dari Kemenag terhadap seluruh pondok pesantren di Indonesia.

Hal itu dinilai penting karena UU Nomor 18 tahun 2019 telah mewajibkan agar pondok atau asrama pesantren harus memperhatikan aspek keamanan bagi santri.

"Pemerintah harus melakukan monitoring dan evaluasi pesantren secara berkala. Lalu menjadikan pesantren ramah anak sebagai program prioritas," jelas Jejen.

Sementara itu, Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Semarang Edi Subkhan turut mendorong agar Kementerian Agama (Kemenag) segera menerbitkan regulasi yang secara spesifik mengatur pencegahan kekerasan di lingkungan pesantren. Terutama karena selama ini peraturan menteri yang ada masih berfokus pada kekerasan seksual saja.

Menurut Edi, Kemenag dapat meniru aturan dari Kemendikbudristek yang meminta setiap sekolah membentuk tim untuk mengatasi kasus kekerasan dan sejenisnya.

Kendati demikian, ia menilai hal tersebut harus tetap disesuaikan dengan karakteristik dari model pendidikan pesantren yang berbeda dengan sekolah umum.

Selain itu, Edi menilai diperlukan pula tim lain yang bertugas melakukan pencegahan dan sosialisasi untuk meminimalisir aksi-aksi kekerasan di lingkungan pesantren.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji menilai tantangan terbesar dari pembuatan kebijakan atau peraturan di tingkat pusat adalah menerjemahkannya pada lembaga pendidikan, yakni sekolah hingga pesantren.

Ia lantas menyinggung Satgas PPKSP yang diamanatkan dalam Permendikbudristek 46/2023. Menurutnya, Satgas itu seharusnya dimaksimalkan untuk melakukan pencegahan kekerasan di semua lembaga pendidikan, termasuk pesantren.

Ubaid turut menyenggol kinerja Kemenag terkait pengawasan kasus perundungan di lingkungan pesantren yang dinilai masih minim.

Selama ini, kata Ubaid, model Kemenag dalam menangani kasus perundungan masih seperti pemadam kebakaran. Mereka hanya menangani kasus setelah ada kejadian, bukannya melakukan perbaikan sistem.

Dia berpandangan, Kantor Urusan Agama (KUA) mestinya bisa ikut berkoordinasi pada kasus kekerasan yang terjadi pada lembaga pendidikan di bawah naungan Kemenag. Termasuk, Satgas PPKSP juga harus melibatkan KUA dalam menjalankan tugasnya. Sebab, KUA memiliki perangkat penyuluh agama yang dapat terjun ke masyarakat.

"Jadi saling menguatkan. Tidak kemudian Kemendikbudristek melakuan apa, Kemenag melakukan apa. Itu yang hari ini, menurut pengamatan saya, ego sektoral itu masih terjadi. Mestinya kan Kemendikbud dan Kemenag ini bersinergi melakukan pencegahan-pencegahan dan penanggulangan bersama," kata Ubaid.

Dia mencotohkan apabila kedua kementerian ini berjalan beriringan, maka mungkin tema-tema terkait pencegahan kekerasan masuk dalam muatan materi ceramah di berbagai rumah ibadah.

Bersambung ke halaman berikutnya: Perundungan di Mata Pemerintah

Perundungan di Mata Pemerintah

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER