Sayyid Abdurrahman Assegaf tak dapat menyembunyikan perasannya tatkala mengunjungi kawasan sisi sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur, yang penuh kekacauan sosial lebih dari seabad lalu.
Wilayah yang kini dikenal sebagai Kecamatan Samarinda Seberang itu kemudian menjadi wadah Abdurrahman menunaikan syiar Islam. Dialah yang kemudian menggagas pendirian rumah ibadah di sana ke Penguasa Kesultanan Kutai Kertanegara kala itu, Sultan Aji Muhammad Sulaiman.
Hampir satu setengah abad kemudian, rumah ibadah itu masih berdiri dan dikenal dengan mana Masjid Shiratal Mustaqiem di tepian sungai Mahakam, Kecamatan Samarinda Seberang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Habib Abdurrahman ini berasal Hadramaut, Yaman kemudian syiar ke Pontianak, Kalimantan Barat lalu hijrah ke Samarinda pada 1880 silam," ujar Sekretaris Pengurus Masjid Shiratal Mustaqiem, Ishak Ismail saat memulai kisahnya kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (2/3).'
Ishak mengatakan sebelum dibangun masjid, selama menjalankan syiar Islam, Habib Abdurrahman mendapati warga di sana gemar maksiat, judi, hingga pesta minum.
Di tengah kekacauan tersebut, terbersit ide membangun masjid. Besar harapan rumah ibadah tersebut bisa menuntaskan penyakit masyarakat itu.
Waktu berlalu, Ishak mengatakan saat pembangunan itu kendala utama adalah sumber daya manusia dan material sehingga pembangunannya mencapai satu dasawarsa.
Berdasarkan kisah yang diceritakan turun temurun, Ishak mengatakan, "Pembangunan masjid dimulai pada 1881 dan makan waktu 10 tahun untuk selesai."
Kini, Masjid Shiratal Mustaqiem berdiri megah di sisi Sungai Mahakam, Samarinda Seberang. Luas bangunan 625 meter persegi dan luas tanah 4.000 meter persegi.
Masjid ini berada di Jalan Bung Tomo, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang.
Bentuknya klasik arsitektur khas Indonesia. Ada teras di keempat sisinya dan berpagar kayu ulin pada bagian teras tersebut atau biasa disebut atap tumpang. Berwarna dominan kuning dan hijau. Begitu menonjol bila disandingkan dengan bangunan sekelilingnya.
![]() |
Dalam proses pembangunan pada abad ke-19 lalu, Abdurrahman yang bergelar Pangeran Bendahara terlebih dahulu berdiskusi dengan warga setempat, terutama mengenai bentuk bangunan masjid.
Walhasil disepakati wajah bangunan diawali dengan empat tiang utama (sokoguru) yang berada di bagian tengah. Jenisnya ulin setinggi 7 meter.
Semangat gotong royong membangun rumah ibadah rupanya memantik tokoh masyarakat. Tiga dari mereka kemudian menyumbang kayu ulin. Kapitan Jaya memberikan ulin dari Loa Haur (Gunung Lipan), Petta Loloncong menyumbang ulin dari Gunung Salo Tireng (Sungai Tiram, anak Sungai Dondang) dan Usulonna memberikan ulin dari Karang Mumus.
"Sedangkan Pangeran Bendahara memberikan ulin dari Gunung Dondang Samboja. Sengaja dipilih dari daerah berbeda agar syiar islam dan berdirinya masjid menyebar ke empat penjuru angin," sebutnya.
Berdasarkan pengamatan CNNIndonesia.com, keempat tiang utama masjid tersebut berdiameter 30-60 sentimeter dan hingga sekarang masih kukuh berdiri meski sudah berusia 133 tahun.
Ishak menuturkan, ada kisah menarik lain yang erat nuansa supranatural mewarnai pembangunan masjid ini. Hikayat tersebut dituturkan secara lisan. Awalnya, pemancangan tiang sokoguru tidak berhasil meskipun dilakukan beramai-ramai. Mulai dari pagi, siang hingga sore.
Menjelang petang, tiba-tiba seorang perempuan berusia lanjut mendekat dan meminta izin memberikan bantuan mendirikan tiang pancang. Semua warga pun tertawa. Tapi, kata Ishak, Abdurrahman menunjukkan respons sebaliknya. Dia justru memberikan lampu hijau kepada nenek tersebut.
Oleh sang nenek, semua warga, termasuk juga Said Abdurachman, diminta kembali ke rumah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka, karena keempat tiang utama masjid telah tertanam kukuh pada pagi hari.
"Cerita ini kami terima dari orang-orang lama (tetua) di sini. Pembangunan masjid pun terus dilakukan hingga 1891," ujar Ishak.
Masjid pun selesai dibangun pada 1891 atau tepatnya 27 Rajab 1311 Hijriah, Sultan Kutai Kartanegara Aji Muhammad Sulaiman meresmikan sekaligus menjadi imam masjid untuk pertama kalinya.
Meski tak langsung menghilang, namun penyakit masyarakat perlahan-lahan berkurang dengan kehadiran masjid itu. Satu dekade kemudian, seorang saudagar asal Belanda bernama Henry Dasen menyumbangkan hartanya untuk membangun menara masjid berbentuk segi delapan setinggi 21 meter pada 1901.
"Henry Dasen ini merupakan mualaf," imbuhnya lagi.
Baca halaman selanjutnya