Trian menerangkan bangunan Masjid Laweyan yang ada sekarang bukan lagi bangunan asli.
Menurut Trian, sekitar lebih dari 4,5 abad lalu, Ki Ageng Beluk menyerahkan pura yang ia pimpin kepada Ki Ageng Henis untuk menjadi langgar atau musala. Seiring berjalannya waktu, langgar Laweyan pun melewati beberapa kali renovasi.
"Bangunan aslinya berupa rumah panggung dari kayu," kata Trian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekitar tahun 1800-an, SISKS Pakubuwana X merenovasi Langgar Laweyan hingga menjadi bentuknya yang sekarang. Di masa itu pula Pakubuwana X meresmikan Langgar Laweyan menjadi Masjid.
"Mimbar sama bedug kita ini juga peninggalan dari Pakubuwana X," ungkap Trian.
Masjid Laweyan berada di Pajimatan (makam leluhur Kerajaan Mataram). Jika jendela di sisi Barat Masjid dibuka, kita bisa melihat langsung hamparan makam-makam tersebut.
Keluarga Keraton Surakarta pun masih rutin berziarah ke sana saat Ruwah (menjelang Ramadan), dan sebelum ritual-ritual penting Keraton seperti Tingalan Jumenengan (peringatan kenaikan tahta raja).
Heri menerangkan keberadaan makam di Masjid Laweyan menjadi bukti kuat akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Tradisi Ruwahan, kata Heri, sudah ada sebelum masyarakat Jawa mengenal Islam. Alih-alih menghilangkan, Ki Ageng Henis justru memanfaatkan tradisi tersebut untuk menggiring warga Laweyan masuk Islam.
"Jadi setelah salat tetap menyambangi kuburan. Bedanya, kalau dulu meminta kepada arwah, sekarang meminta kepada Allah dan mendoakan arwah-arwah leluhur," katanya.
![]() |
Hingga kini, Masjid Laweyan masih menjadi salah satu pusat kegiatan masyarakat Laweyan. Berbagai macam kajian rutin diadakan setiap hari untuk beragam usia.
Corak tradisinya masih terasa kental meski bangunannya sudah banyak berubah dari aslinya. Di hari-hari tertentu, Masjid tersebut banyak dikunjungi peziarah dari berbagai daerah.
"Bisa dikatakan Masjid Laweyan sebagai monumen keberhasilan dakwah Islam yang tidak mencederai kepercayaan lokal," kata Heri.