Polemik RKUHAP, Tak Boleh Lagi Abaikan Partisipasi Bermakna Publik
Pemerintah dan DPR mengebut pembahasan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau RKUHAP.
Bahkan, Panitia Kerja (Panja) RKUHAP di Komisi III DPR hanya membutuhkan waktu dua hari saja untuk menyelesaikan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari pemerintah yang berisi 1.676 poin usulan.
Kemudian, DPR menargetkan pembahasan tersebut rampung pada September mendatang. Sementara pemerintah mengusulkan undang-undang ini mulai berlaku pada 2 Januari 2026, bersamaan dengan pemberlakuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, UU 1/2023.
Namun, pembahasan itu mendapat kritik dari publik, terutama pihak terkait hukum seperti organisasi nonsipil hingga riset. Salah satu yang menjadi sasaran kritik adalah pemenuhan syarat formil penerapan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
Target waktu penyelesaian pembahasan dan usul pemberlakuan sebagaimana disebut di atas sangat sulit diwujudkan dengan masih banyak substansi bermasalah dalam draf RKUHAP yang perlu untuk dilakukan pembahasan secara matang dan mendalam.
Lihat Juga : |
Dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama pascadisahkannya perubahan UU KPK pada 2019 silam, asas keterbukaan yang di dalamnya mengatur partisipasi publik selalu menjadi hal yang dibicarakan. Dampak dari pengabaian masukan publik adalah kinerja KPK kini dinilai menjadi tidak sekuat dulu.
Selain UU KPK, banyak UU lain yang dikritik karena dalam proses pembentukannya mengabaikan partisipasi publik seperti UU Cipta Kerja (2020), UU KSDAHE (2024), dan UU TNI (2025).
Pengamat menilai, pemerintah dan DPR seharusnya bijak dan bertindak dewasa untuk tidak terburu-buru mengesahkan RKUHAP yang mengatur hajat hidup semua orang.
Keberatan yang disampaikan oleh banyak pihak termasuk lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga Koalisi Masyarakat Sipil menandakan partisipasi publik yang bermakna dalam proses pembentukan Undang-undang dalam hal ini RKUHAP belum terpenuhi.
Padahal, pemenuhan poin tersebut menjadi tolok ukur suatu produk hukum telah tersusun dengan sempurna secara formil, sehingga secara materiil juga memenuhi rasa keadilan yang dikehendaki masyarakat.
Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan menyatakan apa yang sudah dilakukan DPR dengan mengundang audiensi sejumlah pihak dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) belum memenuhi kaidah partisipasi yang bermakna.
"Undang-undang ini enggak bisa ketika DPR sudah dipilih dan Presiden sudah dipilih, kemudian dia yang tentukan semuanya. Enggak gitu konsepnya, tetapi harus didengar dalam satu proses yang disebut deliberatif; ada respons, diskusi-tanya jawab, dan lainnya," ujar Fadhil saat dihubungi melalui sambungan telepon, Senin (14/7) malam.
Apalagi, berdasarkan informasi yang diperolehnya, Fadhil mengatakan RDPU tersebut rata-rata dilakukan tanpa ada draf yang diberikan sebelumnya.
"Kan kita bingung juga masukan mana yang diterima, masukan mana yang enggak diterima," imbuhnya.
"Kan enaknya begini: 'Mana bahan kalian, naskah akademik, sini kasih kami biar kalau RDPU jelas masukannya dalam batasan itu'. Ini kan enggak, ini kayak tarung bebas saja," tambah dia.
Fadhil lantas mengutip Putusan MK Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 (halaman 393) yang mengartikan partisipasi bermakna sebagai hak masyarakat untuk didengar pendapatnya (the right to be heard), hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya (the right to be considered), dan hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (the right to have an explanation).
Partisipasi publik tersebut terutama diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung atau memiliki perhatian terhadap rancangan UU yang sedang dibahas. Dalam konteks RKUHAP, semua orang masuk kualifikasi.
Adapun pemenuhan partisipasi yang bermakna sekurang-kurangnya harus dipenuhi dalam tahap pengajuan RUU, pembahasan, serta persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
"Prinsip pertama hak untuk didengar itu mewujud dalam beberapa konsep sebenarnya, salah satunya ketika seseorang mau didengar pendapatnya, harus dapat juga kesempatan yang sama. Itu dulu yang harus dipenuhi," kata Fadhil.
Pemerintah dan DPR diminta untuk taat terhadap proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 88 dan Pasal 96 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 yang kemudian diubah UU 13/2022.
Dalam putusan 91/2020, MK meminta Pemerintah dan DPR melakukan perbaikan guna memenuhi cara atau metode yang pasti, baku dan standar, serta keterpenuhan asas-asas pembentukan Undang-undang, khususnya berkenaan dengan asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna- yang merupakan pengejawantahan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD 1945.
Dampak dari konsep partisipasi yang bermakna sedikit banyak diakomodasi dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang perubahan atas UU 12/2011. Dalam UU tersebut terdapat beberapa perubahan salah satunya Pasal 96 yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat atau publik.
Perubahan dimaksud cukup signifikan yakni yang awalnya dalam Pasal 96 UU 12/2011 hanya memiliki 4 butir ayat, kemudian diubah menjadi 9 butir ayat dalam Pasal 96 UU 13/2022.
Konsep partisipasi bermakna
Konsep partisipasi yang bermakna berasal dari Mahkamah Konstitusi (MK) Afrika Selatan yang pada saat menjatuhkan putusan perkara Doctors for Life tahun 2006 mengembangkan "meaningful involvement test".
Konsep tersebut sering disampaikan para ahli dalam sejumlah perkara uji formil di MK, satu di antaranya oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Profesor Susi Dwi Harijanti.
Dilansir dari keterangannya dalam uji formil UU TNI perkara nomor 69 dan 81 tahun 2025, Susi menyoroti pentingnya prosedur dalam hukum dan kelembagaan termasuk di dalamnya mengenai partisipasi publik yang bermakna.
Mengutip Charles G. Howard dan Robert S. Summer, Susi mengingatkan prosedur adalah inti atau jantungnya hukum yang tidak hanya mengikat cabang kekuasaan eksekutif dan yudikatif, tetapi sangat penting dalam kerja lembaga legislatif.
"Ketaatan terhadap prosedur adalah representasi dari penghormatan terhadap nilai-nilai dasar konstitusional seperti demokrasi, keterbukaan, dan negara hukum," kata Susi.
"Dalam kerangka ini, prosedur menjadi alat utama untuk memastikan bahwa produk legislasi tidak menjadi hasil transaksi kuasa, melainkan ekspresi kehendak rakyat yang diperoleh melalui mekanisme deliberatif," sambungnya.
Sementara itu mengutip keterangan Susi, pasal 96 UU pembuatan peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai hak-hak fundamental, bukan sebagai mekanisme yang semata-mata bersifat formal.
"Sebagai hak, pengaturan dan penegakannya didasarkan pada prinsip-prinsip dasar hak asasi sebagaimana tercantum dalam Vienna Declaration and Programme of Action 1993, yaitu 'indivisible, interrelated, interdependent and of equal importance to human dignity'," ucap dia.
Sebagai informasi pada Kamis (10/7) lalu, Komisi III DPR bersama pemerintah secara resmi merampungkan pembahasan daftar inventarisir masalah (DIM) RKUHAP. Sebanyak 1.676 DIM rampung dibahas hanya dalam waktu dua hari sejak Rabu (9/7). Dari jumlah itu, sebanyak 1.091 DIM bersifat tetap dan 295 DIM redaksional.
Kemudian, Habib yang juga Ketua Panja RKUHAP menjelaskan dari total 1.676 DIM, ada 68 DIM yang diubah, 91 DIM dihapus, dan 131 DIM dengan substansi baru. Usai rampung pembahasan DIM, pembahasan RKUHAP selanjutnya akan masuk pada tahap sinkronisasi.
Pihaknya menargetkan RKUHAP bisa disahkan pada tingkat satu atau pleno pada pekan depan sebelum kemudian dibawa ke Paripurna untuk menjadi undang-undang.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal mengatakan pembahasan RKUHAP ditargetkan rampung pada September 2025. Ia menyebut DPR membuka ruang partisipasi publik dalam pembahasan.
"Ini kabar terbaik, bahwa kami lagi menyusun KUHAP. Bagaimana fungsi advokat ini harus di-protect, jangan sampai di ujung. Ketika mendampingi kliennya itu, hanya di persidangan tahunya sudah jadi tersangka," kata Cucun, Minggu (13/7).
(ryn/kid)