Awal Mula Hasto Terjerat Kasus Masiku hingga Duduk di Kursi Pesakitan

CNN Indonesia
Jumat, 25 Jul 2025 07:26 WIB
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menanti vonis dalam perkara perintangan penyidikan kasus Harun Masiku. Bagaimana kasus tersebut bermula?
Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menanti vonis dalam perkara perintangan penyidikan kasus Harun Masiku. (ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S)

Pokok perkara Hasto Kristiyanto resmi dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada PN Jakarta Pusat oleh jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal Maret 2025.

Permohonan praperadilan yang diajukan Hasto sebelumnya dinyatakan gugur oleh hakim.

"Mengadili: satu, menyatakan permohonan Praperadilan oleh pemohon gugur," kata hakim dalam amar putusan yang dibacakan, PN Jakarta Selatan, Senin (10/3).

Proses persidangan pun dimulai. Hasto menjalani sidang perdana di di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat, (14/3).

Ia didakwa melanggar Pasal 21 UU Tipikor Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP, yang mengatur ancaman pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun, serta denda antara Rp150 juta hingga Rp600 juta. Ia juga didakwa melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Sidang kemudian berlanjut dengan pembacaan eksepsi atau nota keberatan oleh tim penasihat hukum Hasto pada Jumat (21/3).

Dalam eksepsi tersebut, Hasto meminta majelis hakim membebaskan dirinya dari dakwaan dengan alasan adanya keraguan dalam pembuktian unsur pidana dan penerapan hukum oleh JPU KPK.

Ia juga membantah memiliki motif untuk menyuap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan maupun melakukan perintangan penangkapan Harun Masiku.

Namun, dalam sidang lanjutan pada Kamis (17/4), Wahyu Setiawan justru memberikan keterangan bahwa dirinya sempat ditawari uang operasional untuk membantu Harun masuk ke DPR RI menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.

Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Wahyu menyebut tawaran itu datang dari Saeful Bahri, Agustiani Tio Fridelina, dan Donny Tri Istiqomah, yang disebut sebagai utusan Hasto. Namun, Wahyu mengaku tidak mengetahui sumber uang yang diduga sebagai suap tersebut.

Keterangan Wahyu itu berbeda dengan pernyataannya saat penyidikan, di mana sebelumnya ia menyebut uang suap berasal dari Hasto. Menurut pihak Hasto, perbedaan keterangan tersebut menunjukkan adanya pengaburan fakta hukum dalam persidangan.

JPU KPK juga memutar rekaman percakapan telepon antara Saeful Bahri dan Agustiani Tio Fridelina, yang mengungkap adanya rencana PDIP untuk memecat Riezky Aprilia demi memuluskan proses PAW Harun Masiku. Dalam rekaman tersebut, Saeful menyebut bahwa Hasto mengatakan PAW Harun adalah "perintah ibu." Namun, Saeful tidak menjelaskan siapa sosok "ibu" yang dimaksud.

Jaksa turut mendalami kontak dengan nama "Sri Rejeki Hastomo" saat memeriksa staf Hasto, Kusnadi. Saat ditanya, Kusnadi mengaku tidak tahu siapa pemilik nomor tersebut. Namun penyidik KPK AKBP Rossa Purbo Bekti menyatakan bahwa nomor itu adalah milik Hasto. Hasto sendiri membantahnya dan mengatakan bahwa nama tersebut bukan milik pribadi, melainkan milik kesekretariatan partai.

Nama "Sri Rejeki Hastomo" kembali mencuat dalam persidangan, karena disebut sebagai pihak yang memerintahkan Harun Masiku untuk merusak barang bukti elektronik berupa ponsel.

Di hadapan majelis hakim, Hasto juga mengklaim tidak memiliki kedekatan dengan Harun. Ia mengaku baru bertemu Harun saat proses pendaftaran sebagai caleg PDIP tahun 2019 di kantor DPP. Namun, Jaksa KPK kemudian membuka isi percakapan antara keduanya, yang memuat ucapan terima kasih dari Harun kepada Hasto.

Pada Kamis (3/7), JPU KPK membacakan tuntutan terhadap Hasto. Ia dituntut pidana 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Hasto Kristiyanto dengan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan," ujar Jaksa KPK Wawan Yunarwanto di Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat.

Dalam pertimbangannya, jaksa menyampaikan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan adalah Hasto dianggap tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi dan tidak mengakui perbuatannya. Sementara itu, hal yang meringankan adalah sikap sopan selama persidangan, memiliki tanggungan keluarga, serta belum pernah dihukum.

Hasto disebut terbukti merintangi penanganan perkara yang menjerat Harun Masiku, mantan calon legislatif PDIP yang kini masih buron.

Majelis hakim dijadwalkan membacakan putusan terhadap Hasto Kristiyanto pada Jumat, 25 Juli 2025.

"Putusan akan kita lakukan pada hari Jumat, 25 Juli 2025, dan oleh karena Jumat supaya tidak ada jeda karena Jumatan, kita lakukan setelah salat Jumat," kata Ketua Majelis Hakim Rios usai agenda duplik pada Jumat (18/7).

Dalam dupliknya, Hasto kembali meminta pembebasan dari segala dakwaan. Ia berdalih bahwa jaksa KPK gagal membuktikan dua alat bukti yang cukup mengenai dugaan suap dan perintangan penyidikan.

"Saya dan tim penasihat hukum terdakwa Hasto Kristiyanto memohon kepada majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara ini agar kiranya dapat mengabulkan dan menjatuhkan putusan," kata Hasto.

"Membebaskan terdakwa Hasto Kristiyanto dari segala dakwaan (verkapte vrijspraak), atau setidak-tidaknya dinyatakan lepas dari segala tuntutan (onslag van alle rechts vervolging)," imbuhnya.

(kay/isn)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER