Wacana perubahan sistem pemilu kembali mengemuka setelah muncul usulan agar kepala daerah bisa ditunjuk atau dipilih lewat DPRD.
Terbaru usulan itu mengemuka kembali saat disampaikan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin dalam pidato di peringatan hari lahir (harlah) ke-27 PKB, Rabu (13/7) malam lalu. Dalam pernyataannya, Muhaimin mengaku sudah menyampaikan usulan terkait pilkada itu ke Prabowo Subianto selaku presiden.
"Kami juga telah menyampaikan kepada Bapak Presiden langsung, saatnya, pemilihan kepala daerah, dilakukan evaluasi total manfaat dan madorot-nya," kata Cak Imin dalam acara yang juga dihadiri Prabowo itu di Jakarta.
"Kalau tidak ditunjuk pusat, maksimal pilkada dipilih DPRD di seluruh Tanah Air," imbuhnya.
Usulan pilkada lewat DPRD menambah daftar opsi perubahan sistem pemilu yang harus diatur ulang oleh DPR dan pemerintah.
Sebelumnya, beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga memerintahkan perubahan, mulai dari ambang batas pencalonan presiden, ambang batas pencalonan pilkada, hingga pemisahan pemilu lokal nasional. Ada pula usul audit keuangan hingga kenaikan dana partai politik.
DPR disebut akan mengakomodasi itu lewat RUU Politik Omnibus Law yang telah disetujui model penyusunannya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati menilai usulan pilkada tak langsung atau pilkada lewat DPRD itu akan bertentangan dengan putusan MK soal pemisahan pemilu.
Menurut Ninis, sapaan akrabnya, MK dalam beberapa amar putusannya menyebut pilkada termasuk bagian dari pemilu. Artinya, pemilihan kepala daerah mulai tingkat kabupaten kota maupun provinsi tetap harus dipilih secara langsung oleh masyarakat.
Dia menegaskan hal tersebut merupakan amanat dari UUD '45.
Hal itu ia sampaikan sekaligus merespons sejumlah pendapat yang menyebut pilkada bukan termasuk dari pemilu lima tahunan dan dipilih langsung sesuai Pasal 22E UUD, seperti pilpres, DPD, DPR, dan DPRD.
"Dalam beberapa putusannya, MK menegaskan bahwa pilkada adalah pemilu. Oleh sebab itu karena salah satu prinsip pemilu adalah langsung maka pilkada juga dilaksanakan secara langsung. Putusan 135 [pemisahan pemilu] semakin menegaskan hal itu," kata dia saat dihubungi, Selasa (29/7).
Sehingga, Ninis berpandangan opsi agar pilkada digelar secara tidak langsung alias lewat DPRD mestinya sudah tertutup.
Dia juga mengaku tak sependapat dengan dalil ongkos politik yang terlalu mahal yang dijadikan dalil politisi pemegang kekuasaan saat ini untuk mengubah sistem pilkada jadi tidak langsung.
Menurut dia, persoalan ongkos politik yang mahal mestinya cukup hanya mengatur ulang mekanisme pembiayaannya, alih-alih harus mengubah sistem pemilu.
Pada 2014, lanjut Ninis, pembentuk undang-undang pernah membuat pasal pilkada lewat DPRD lewat revisi UU Pilkada. Namun, usulan itu menuai protes keras oleh publik dan akhirnya pemerintah mengeluarkan Perppu pilkada yang mengembalikan pilkada langsung.
Menurut dia, bukan tidak mungkin kasus serupa kembali terulang jika pemerintah dan DPR ngotot agar pilkada kembali diusulkan lewat DPRD.
"Sehingga bisa jadi hal ini akan terulang jika pilkada diubah ke DPRD," kata dia.
Ninis menyebut pilkada merupakan ruang bagi partai untuk melakukan kaderisasi menuju kepemimpinan nasional. Sehingga, dia menilai, siapapun sosoknya harus dipilih dan mendapat mandat langsung dari masyarakat.
"Pilkada merupakan salah satu ruang bagi parpol untuk kaderisasi untuk menuju kepemimpinan nasional. Kepala daerah yang dipilih secara langsung juga mendapatkan mandat dari rakyat," katanya.
Baca halaman selanjutnya.