Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri menyebut informasi detail soal kematian diplomat muda Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arya Daru Pangayunan alias ADP (39) sebaiknya cukup disampaikan ke pihak keluarga.
Reza menyoroti langkah Polda Metro Jaya yang memajang atau menampilkan sejumlah barang bukti saat konferensi pers pada Selasa (29/7) kemarin.
Barang bukti yang ditampilkan itu antara lain satu gulung lakban warna kuning, ponsel, laptop hingga DVR. Ada pula satu kantong klip plastik yang berisi bungkus sisa makanan, alat kontrasepsi hingga pelumas.
"Karena almarhum meninggal bukan akibat pidana, berarti peristiwa yang ADP lalui seketika menjadi isu privat. Sayangnya PMJ tetap memajang 'bukti-bukti'--tepatnya barang pribadi--almarhum ke hadapan media," tutur Reza dalam keterangan tertulis, Rabu (30/7).
"Akibatnya, sekarang malah berkembang kasak-kusuk ihwal sisi pribadi almarhum. Padahal, dengan mengunci meninggalnya almarhum bukan sebagai akibat pidana, PMJ bisa mengingatkan khalayak agar mulai sekarang lebih membatasi diri saat menyoroti kehidupan almarhum," sambungnya.
Padahal, kata Reza, seharusnya Polda Metro Jaya lebih peka dalam menangani isu privat ini saat mengekspos barang-barang pribadi milik korban.
"Jadi, ringkasnya, penyampaian lisan oleh PMJ saat konpers sudah OK, namun display objeknya agak offside," ujarnya.
Kendati demikian, Reza mengapresiasi langkah Polda Metro Jaya yang menyatakan kematian Arya bukanlah sebuah perbuatan pidana.
"Terkait manner of death Arya, karena bukan pidana, maka ada tiga kemungkinan yakni alami (natural), suicide, dan accident. Tapi info spesifiknya cukup disampaikan ke keluarga almarhum saja," kata Reza.
Di sisi lain, Reza turut menyinggung soal respons keluarga Arya atas hasil penyelidikan yang dilakukan Polda Metro Jaya. Menurut Reza, kerja kepolisian patut dihargai, namun tetap harus membuka diri untuk dilakukan pengujian atas penyelidikan yang telah dilakukan.
Hal itu lumrah terjadi di beberapa negara, di mana hasil penyelidikan polisi tentang kematian seseorang, bisa diuji oleh pihak keluarga dari korban.
"Jika examination dan cross examination berkesimpulan sama, beres masalah. Tapi jika berbeda, hasil cross examination bisa diajukan ke hakim untuk kemudian 'dipertandingkan' dengan hasil examination. Hakim yang akan memutuskan, hasil manakah yang terpercaya. Itulah bentuk pemenuhan azas fairness," kata Reza.
Namun, praktik itu belum lumrah dilakukan di Indonesia. Bahkan, kata Reza, hal tersebut belum pernah terjadi di Indonesia.
"Pengujian forensik masih dikuasai oleh polisi. Pihak lain tidak memiliki akses setara untuk mengeksaminasi silang apa-apa yang telah disimpulkan polisi," ucap dia.
"Semoga penyempurnaan fairness terkait examination dan cross examination bisa masuk dalam RUU KUHAP versi baru yang sekarang tengah digodok DPR," sambungnya.
Arya Daru Pangayunan alias ADP (39) ditemukan tewas dengan kondisi wajah terlilit isolasi atau lakban warna kuning di sebuah kos di Jalan Gondangdia Kecil, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (8/7).
Sementara itu, kakak ipar almarhum ADP, Meta Bagus mengatakan, kasus kematian adik iparnya ini begitu berat bagi keluarga. Pihaknya pun mengapresiasi dukungan publik, termasuk dalam mengawal proses penyelidikan oleh kepolisian.
"Kami juga mengajak kepada teman-teman media dan masyarakat luas untuk ikut mengawal jalannya proses ini dengan empati, kemudian informasi yang cukup berimbang dan objektif," kata Bagus ditemui di kediamannya, Banguntapan, Bantul, DIY, Selasa (29/7) petang.
Secara garis besar, kata Bagus, pihak keluarga belum bisa bicara banyak mengenai ungkap hasil lidik oleh kepolisian karena proses itu sampai kini juga masih bergulir.
"Dan juga kami percaya bahwa kita semua bagian dari masyarakat ini percaya bahwa keadilan adalah milik bersama. Jadi pada waktunya nanti kami juga percaya kebenaran akan terungkap dengan terang. Dan membawa keadilan dan ketenangan bagi baru, juga bagi yang ditinggalkan," tuturnya.
(dis/dal)