Jakarta, CNN Indonesia --
Keberadaan sound horeg menuai kontroversi di tengah masyarakat antara kubu pro yang menganggapnya sebagai hiburan rakyat dan pemberi lapangan kerja hingga yang kontra karena menganggapnya mengganggu secara sosial dan kesehatan.
Petisi penolakan atas sound horeg ini pun bertebaran di dunia maya, ramai-ramai publik menolak keberadaannya.
Merespons gejolak sosial, sebuah pondok pesantren di Pasuruan menelurkan fatwa haram untuk sound horeg. Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur (MUI Jatim) mengeluarkan fatwa mengharamkan penggunaan sound horeg dengan catatan, termasuk bila digunakan secara berlebihan dan melanggar norma syariat serta mengganggu ketertiban.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MUI Jatim pun mendesak pemerintah menerbitkan aturan tersendiri terkait sound horeg itu. Gayung bersambut, Pemprov Jatim membentuk tim khusus untuk mengkaji aturan yang akan diterbitkan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa. Khofifah menargetkan aturan itu bisa terbit awal Agustus 2025 atau setidaknya sebelum HUT ke-80 RI pada 17 Agustus 2025.
Sementara itu, MUI Jatim dalam menelurkan fatwanya juga mengaku berdasarkan forum yang sudah dibuat dengan pengusaha sound horeg hingga dokter THT.
Dalam pertimbangannya, MUI Jatim menyebut sound horeg bisa mencapai 120-135 desibel (dB) atau lebih, sedangkan ambang batas yang direkomendasikan oleh World Health Organization hanya 85 desibel (dB) untuk paparan selama 8 jam.
Namun, MUI tetap membolehkan penggunaan sound horeg untuk kegiatan positif seperti resepsi pernikahan, pengajian dan selawatan asal dilakukan secara wajar dan terbebas dari hal yang diharamkan.
Sosiolog dari Universitas Indonesia Ida Ruwaida menyatakan pemerintah memang sudah seharusnya mengeluarkan regulasi yang mengatur soal sound horeg.
Ia menyebut idealnya pemerintah tidak melarang keberadaan sound horeg, tetapi mengaturnya lewat aturan. Namun ia menyatakan bahwa pemerintah juga harus mempertimbangkan dampak atau imbas negatifnya.
"Melarang di satu sisi bisa dianggap mematikan kreativitas masyarakat, juga sumber ekonomi sebagai warga," kata Ida kepada CNNIndonesia.com, Kamis (30/7).
Ida menekankan regulasi pengaturan sound horeg yang dimaksud itu perlu mencakup beberapa hal penting.
Ia menyebut aturan itu harus mengatur ihwal izin kepemilikan dan pengelolaan sound horeg, aturan saat pertunjukan baik dari segi waktu, tempat, volume, hingga penonton.
Ida juga menekankan pentingnya pemberian izin dari warga sekitar jika ada yang ingin menggelar pertunjukan sound horeg di lingkungannya.
"Pelibatan masyarakat dalam perizinan maupun mekanisme pertunjukan sound horeg," ucapnya.
Ida pun menekankan pentingnya pemerintah melakukan pendekatan yang bijak dan tidak mengeluarkan kebijakan yang reaktif.
Ia menyebut pemerintah dalam hal ini sangatlah penting untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk juga masyarakat luas.
"Untuk bermufakat, membangun, dan menegakkan komitmen," ujar dia.
Ida mengatakan pendekatan yang reaktif takkan menjadi jalan keluar atas persoalan ini. Ia menyebut pemerintah harus bisa merangkul sekaligus membina berbagai pihak terkait dalam persoalan ini.
Khususnya ialah bagaimana pemerintah mengambil posisi guna menghindari konflik horizontal di tengah masyarakat.
"Masyarakat kita juga harus mau diatur, mau menerima perbedaan," ucapnya.
Senada, Guru Besar Sosiologi Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto mengatakan pemerintah harus melibatkan berbagai pihak serta tokoh masyarakat dalam mengatasi persoalan ini.
Ia menyebut alangkah baiknya juga pemerintah tak mengatasi persoalan ini dengan menggunakan pendekatan hukum. Bagong kemudian mendorong pemerintah untuk mengeluarkan pengaturan yang lebih bijak soal sound horeg ke depannya.
Pergeseran fungsi sound
Bagong menjelaskan penggunaan sistem pengeras suara atau sound system mulanya ialah untuk menyebarluaskan kabar ke lingkungan sekitar. Ia mencontohkan semisal keluarga yang akan menggelar acara pernikahan.
Namun seiring berjalannya waktu, hal itu bergeser ke arah kontestasi antarpemilik pengeras suara.
"Kini penggunaan sound sudah bergeser menjadi kontestasi. Siapa yang paling horeg sound-nya itu dinilai lebih baik," ucap Bagong.
Oleh karenanya, Bagong pun mendorong pengaturan yang bijak akan penggunaan sound horeg ini.
Ia mengatakan pengaturan yang bijak itu sangatlah diperlukan guna menghindari konflik horizontal di tengah masyarakat.
"Makanya yang perlu dilakukan adalah pengaturan. Pendekatannya harus melibatkan masyarakat sendiri," ujar Bagong.
Baca halaman selanjutnya.
Terpisah, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Governance and Development Policy (CIGDEP) Cusdiawan mengatakan soal sound horeg bak pisau bermata dua.
Ia berpandangan isu ini harus dilihat secara proporsional, baik dari segi positif dan negatifnya.
Cus mengatakan pada satu sisi sound horeg merupakan tradisi dalam masyarakat yang memiliki nilai sosial-kultural sekaligus ekonomis.
Dari segi sosial-kultural, Cus menyebut sound horeg berpotensi merekatkan modal sosial di antara masyarakat.
Sementara dari sisi ekonomis, sound horeg juga tak hanya menguntungkan pelaku usaha belaka melainkan juga memberikan efek berlapis (multiplier effect) bagi pelaku usaha lainnya.
"Karena adanya pusat keramaian atau 'pesta' yang berlangsung bisa mendatangkan keuntungan bagi pelaku usaha lainnya terutama para pedagang, penjaja makanan dan sebagainya," kata Cus lewat aplikasi pesan kepada CNNIndonesia.com.
Namun dari segi negatifnya, sound horeg juga bisa mengundang keresahan masyarakat karena dianggap membuat kebisingan.
"Terlebih lagi ketika ada kondisi-kondisi tertentu seperti warga yang sakit dan sebagainya, maka hak-hak warga untuk mendapat ketentraman pun tidak bisa diabaikan," ujarnya.
Cus menyebut dalam ilmu kebijakan publik: Ketika isu dan keresahan terjadi dalam masyarakat, maka pemerintah perlu merespons dengan mengeluarkan kebijakan yang relevan dengan mendaasarkan pada kajian yang memadai dan kontekstual.
Ia mengatakan kebijakan itu dituangkan melalui beberapa aturan dari mulai edaran, pergub, atau perda untuk mengatur tata kelola sound horeg.
Cus menyebut jika melihat perdebatan yang berkembang, pemerintah perlu menghadirkan kebijakan yang lebih moderat dalam arti proporsional.
Ia mengatakan pemerintah harus bisa melihat potensi positif dari sound horeg ini, tetapi pada sisi lain juga harus bisa mitigasi potensi dampak negatifnya.
"Misalnya, perlu ada aturan-aturan teknis seperti 'membatasi' volume agar tidak terlalu bising, mengatur soal waktu pelaksanaannya baik soal bisa berlangsung pada pukul berapa saja dan durasinya diperkenankan hanya berapa lama," ucap dia.
"Bisa juga membuat aturan yang jelas mengenai lokasi yang diperkenankan dalam pelaksanaan sound horeg ini semisal terpusat di lapangan tertentu atau menghindari pemukiman yang padat dan seterusnya. Adanya kebijakan dan tata aturan yang jelas dan lebih moderat," imbuh Cus.
[Gambas:Photo CNN]
Lulusan Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran itu menyebut dengan langkah itu pun dampak positif dari sound horeg pun tetap dirasakan oleh masyarakat.
Serta secara bersamaan dampak negatif dari sound horeg ini juga tetap bisa diminimalisir, sehingga tidak mengganggu ketentraman warga.
Sementara di saat aturan itu masih belum ada, Cus pun meminta pemerintah melakukan imbauan atau sosialisasi kepada pihak terkait untuk menahan diri.
"Terutama ditujukan bagi pelaku sound horeg agar lebih membatasi aktivitas dan memahami bahwa ada masyarakat lain yang juga memiliki hak untuk tenang, sehingga keberlangsungan intensitas acara maupun volume bisa dibatasi," ujar dia.
Sikap pengusaha sound horeg
Sementara itu untuk menangkal citra negatif, paguyuban pengusaha sound system di Jatim menelurkan sikap antisipatif. Para pengusaha persewaan sound yang tergabung dalam Paguyuban Sound Malang Bersatu mendeklarasikan pencoretan istilah 'horeg' yang dianggap negatif.
Mereka mendeklarasikan istilah baru sebagai ganti sound horeg, yakni Sound Karnaval Indonesia. Deklarasi itu terjadi di tengah perayaan ulang tahun ke-6 Team Sotok di lapangan Desa Gedog Kulon, Kecamatan Turen, Malang, Jatim pada awal pekan ini.
Dalam video yang viral tampak hadir di acara itu Mas Bre, pemilik Brewog Audio Blitar, bos dari Memed Potensio alias Thomas Alva EdiSound Horeg. Memed adalah salah satu tokoh dalam komunitas sound horeg yang sosoknya belakangan viral di media sosial.
Ketua Paguyuban Sound Malang Bersatu David Stevan mengatakan perubahan istilah dilakukan demi menghindari kesalahpahaman masyarakat.
"Tidak lagi menggunakan nama sound horeg. Sudah ikrar agar namanya Sound Karnaval Indonesia. Kita ganti yang horeg itu menjadi Sound Karnaval Indonesia," ujar David, Rabu (30/7).
Dia akui komunitas pengusaha sound system juga tengah menunggu peraturan yang digodok pemerintah mengenai batasan desibel suara. Mereka juga terbuka untuk menyesuaikan dengan aturan yang akan diterapkan
"Kemudian untuk suaranya nanti tergantung peraturan nanti bagaimana," kata pengusaha sound system pemilik Blizzard Audio, salah satu pelopor karnaval dengan sound menggelegar itu.
David yang merupakan warga Turen, Malang mengungkapkan para pengusaha sound tidak pernah memberikan label 'sound horeg' selama menggelar parade atau karnaval sound system. Itu semua, katanya, berasal dari masyarakat berdasarkan getaran suara yang keluar.
David pun berharap seiring pergantian nama ini kegaduhan di masyarakat bisa mereda. Sebab, dia mengaku pihaknya sadar nama sound horeg saat ini sudah berkonotasi negatif.
"Harapan kami ke depannya tidak lagi ada kegaduhan terkait sound ini. Kita juga akan selalu patuh terhadap peraturan pemerintah," katanya.
Pada Rabu kemarin di Surabaya, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak menyatakan aturan tentang sound horeg akan segera diumumkan oleh Pemprov Jatim. Landasan dari aturan itu pun telah ditentukan.
"Landasan acuannya untuk memberi sanksi sudah ada, akan diumumkan saat semuanya sudah selesai (soal aturannya)," kata Emil.