Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie mengungkap bahwa Presiden Prabowo Subianto sempat marah terhadap sembilan hakim MK buntut putusan pemisahan pemilu.
Kabar tersebut disampaikan Jimly saat hadir memberikan sambutan di acara diskusi Partai Buruh soal redesain pemisahan pemilu di Hotel Tavia, Jakarta Pusat, Kamis (31/7).
Jimly bercerita bahwa dirinya belum lama ini baru bertemu dengan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia. Ia mengaku mengingatkan agar partai-partai tak perlu terlalu serius menanggapi putusan MK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemarin saya ketemu dengan Ketua Umum Golkar, diskusi di kantornya, saya jelaskan iyakan, ah ya kan Kahmi sudah tahu tuh cara bekerjanya HMI zaman dulu, ini hanya permainan hidup, enggak usah terlalu serius kalian ini partai-partai marah-marah semua sama MK ini gitu loh," kata Jimly.
Bukan hanya partai, kata Jimly, Presiden Prabowo juga marah mengetahui putusan MK tersebut. Menurut Jimly, Presiden marah terhadap sembilan hakim yang kompak dalam putusan tersebut.
"Semua partai sekarang ini bersatu, marah-marah. Eksekutif? sama, Prabowo marah juga, marah juga, iya kan. Marah juga. 'Ini apa ini sembilan orang ini'," kata Jimly menirukan ucapan Prabowo.
Oleh karena itu, Jimly mengaku sempat mengingatkan kepada sembilan hakim MK setelah putusan pemisahan pemilu. Dia mengingatkan agar para hakim Mahkamah tetap bersatu.
"Maka saya sudah bilang waktu itu putusan ini selesai, yang terakhir ini saya udah bilang itu sembilan hakim, eh hati-hati kalian, sabar-sabar yah, banyak-banyak berdoa, ini pasti abis ini partai ini bersatu ini," ucap dia.
"Nah kebetulan MK-nya juga alhamdulillah bersatu sembilan orang, nah ini kan ada tiga partai ini, sembilan orang ini di putusan terakhir bersatu, termasuk Anwar Usman," imbuh Jimly.
CNNIndonesia.com telah mengonfirmasi pernyataan Jimly ini kepada Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Kepala PCO Hasan Nasbi, namun belum direspons.
Keputusan MK soal pemisahan pemilu tertuang lewat perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Lewat putusan itu, MK meminta agar pemilu daerah atau lokal digelar setelah pemilu nasional minimal 2 tahun atau maksimal 2,5 tahun. Pemilu nasional meliputi pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan DPR, dan pemilihan DPD.
Sedangkan pemilihan lokal atau daerah meliputi kepala daerah gubernur dan bupati wali kota, serta DPRD. Namun, putusan itu dianggap dilematis karena, baik implementasi maupun pengabaiannya bertentangan dengan konstitusi.
DPR kini belum mengambil sikap soal putusan tersebut. Namun, hal itu akan dibahas dan diputuskan lewat revisi UU Politik Omnibus Law yang skema penyusunannya telah disetujui.
(fra/thr/fra)