Eddy Hiariej-Haris Azhar Debat RUU KUHAP, Bahas RJ & Judicial Scrutiny

CNN Indonesia
Minggu, 10 Agu 2025 18:01 WIB
Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharief Hiariej terlibat debat terbuka dengan aktivis HAM Haris Azhar, saat membahas RUU KUHAP. (ANTARA FOTO/FAUZAN)
Jakarta, CNN Indonesia --

Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharief Hiariej atau Eddy Hiariej terlibat debat terbuka dengan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) sekaligus pendiri Lokataru Foundation Haris Azhar membahas Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) di area Masjid Baitul Qohar, Yayasan Badan Wakaf, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Sabtu (9/8). Acara tersebut diinisiasi oleh Social Movement Institute (SMI).

Di awal pemaparannya, Eddy Hiariej menjelaskan filosofi hukum acara pidana bukanlah untuk memproses tersangka, melainkan untuk melindungi HAM dari kesewenang-wenangan negara. Atas dasar itu, ia mengatakan RUU KUHAP yang sedang dibahas DPR bersama pemerintah diformulasikan sedemikian rupa supaya tidak mengutamakan satu pihak dan meninggalkan pihak yang lain.

"Ketika berbicara mengenai hak korban, hak tersangka, hak perempuan, hak saksi, hak disabilitas, itu semua akan kita tampung karena pengarusutamaan dari filosofis hukum pidana tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan individu," kata Eddy Hiariej dalam debat tersebut, dilansir dari akun YouTube Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Minggu (10/8).

Eddy Hiariej menuturkan dalam hukum acara pidana terdapat dua kepentingan yang bertentangan, yakni kepentingan pihak pelapor dan pihak terlapor. Untuk itu, jelas dia, hukum acara pidana harus diramu secara netral dalam pengertian di satu sisi ada kewenangan aparat penegak hukum, namun di sisi lain kewenangan tersebut harus dikontrol supaya mengakomodasi hak asasi manusia.

"Untuk mencegah supaya tidak terjadi kriminalisasi terhadap warga, dalam usulan pemerintah kita mengatakan bahwa untuk menyeimbangkan antara kewenangan polisi dan jaksa yang begitu besar, tidak lain dan tidak bukan kita harus memperkuat dan memposisikan advokat sederajat dengan polisi dan jaksa," imbuhnya.

Dalam RUU KUHAP, terang dia, advokat memainkan peran penting dan bersifat imperatif. Artinya, setiap orang yang diproses secara hukum wajib didampingi oleh advokat mulai dari tahap penyelidikan bukan lagi penyidikan. Advokat berhak mengajukan keberatan dan dicatatkan dalam berita acara.

"Peran advokat sangat sentral karena mulai seseorang ketika dipanggil, belum masuk ke penyidikan, ketika dia dipanggil untuk dimintai klarifikasi atau keterangan pada tahap penyelidikan, itu dia wajib didampingi oleh advokat. Advokat tidak hanya duduk diam di situ. Satu, dia berhak mengajukan keberatan. Kedua, keberatan itu dicatatkan dalam berita acara sehingga penyelidikan itu akan terlihat oleh umum," ucap Eddy Hiariej.

Sementara itu, Haris Azhar menyoroti judicial scrutiny atau yang ia sebut sebagai pengawasan terhadap kinerja aktor penegak hukum. Haris menerangkan sudah puluhan tahun hukum acara pidana Indonesia tidak digunakan secara profesional dan proporsional.

Dia mengatakan KUHAP yang saat ini digunakan (UU 8/1981) tidak up to date, baik dari sisi peristilahannya, konsep pidananya, hingga kurang kuatnya restorative justice. Dia sepakat momentum akan berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru pada awal tahun 2026 perlu diimbangi juga dengan KUHAP yang baru.

"Kita gagal Prof, puluhan tahun kita lihat bahwa penggunaan hukum acara itu tidak dalam konteks yang proporsional dan profesional. Itu yang kemudian jadi persoalan kita sekarang bagaimana kita menanggulangi," kata Haris.

Haris juga mengusulkan pengungkapan kebenaran dimulai dari tahap penyelidikan. Maksudnya adalah sebuah laporan mengenai apakah suatu perkara dilanjutkan atau dihentikan, entah itu karena ketiadaan barang bukti atau karena termasuk restorative justice. Apabila perkara itu telah selesai, maka laporan fakta atau kebenaran itu dapat menjadi pembelajaran.

"RJ [Restorative Justice] yang ada hari ini dia adalah nama dari suatu praktik untuk... itu sebetulnya diselesaikan secara manipulatif. Tadi bahasanya impunity, kejahatan tanpa hukuman. Hukuman di sini maksudnya ada perbaikan kondisi korban, ada standar kebenaran yang diungkap, lalu juga memulihkan kondisi, memulihkan aturan atau memulihkan alat kerja, termasuk juga dan yang penting adalah yang menghukum sampai titik proporsional tertentu kepada pelakunya," tutur Haris.

Mengutip pandangan sejumlah ahli HAM, Haris mengatakan restorative justice harus berbasis kepada kebenaran.

"Dia harus berbasis kepada kebenaran, ada truth yang diungkap, meskipun dia masih di penyelidikan, karena penyelidikan pun sudah makan duit negara kalau pakai pendekatan hukum administrasi negara," kata Haris.

"Dilanjutkan atau dihentikan atas dasar ketiadaan alat bukti atau karena dia restorative justice, ada perdamaian, maka dia harus memproduksi suatu laporan truth-nya itu, faktanya. Dan karena dia sudah pakai duit negara dan dianggap selesai, maka laporan itu harus bisa dipublikasi biar dia jadi pembelajaran bersama buat kita semua. Jadi, truth tadi itu apakah bisa menjadi satu standar kaidah yang masuk dalam KUHAP yang akan diterbitkan segera ini?" imbuhnya.

Menanggapi itu, Eddy Hiariej mengakui KUHAP yang sementara berlaku lebih fokus pada kewenangan aparat penegak hukum, bukan pada perlindungan HAM. Oleh sebab itu, terang dia, RUU KUHAP disusun dengan prinsip due process of law yang menjamin dan melindungi hak-hak individu, serta memastikan aparat penegak hukum menjalankan aturan yang termuat di dalam KUHAP.

Eddy Hiariej juga setuju akan perlunya pengungkapan kebenaran sebagaimana yang disampaikan oleh Haris. Menurut dia, pengungkapan kebenaran diperlukan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak. Dengan ada laporan fakta, jika seseorang kedapatan melakukan tindakan pidana yang kedua kalinya, maka ia tidak bisa mendapatkan restorative justice lagi.

"Benar yang dikatakan Mas Haris, pengungkapan kebenaran itu harus ada. Karena kalau tidak kan dia tidak tahu dia benar atau salah," ucap Eddy Hiariej.

"Betul bahwa itu harus ada suatu pengungkapan kebenaran supaya ketika dia melakukan perbuatan pidana lagi, tidak bisa lagi direstorasi karena sudah lebih dari satu kali. Jadi, ada pembatasan-pembatasan terhadap pemberlakuan suatu perkara untuk dilakukan restorasi. Jadi, tidak bisa seenaknya. Nanti hanya orang berduit yang bisa restorasi, kan tidak demikian," lanjut dia.

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Eddy Hiariej, DPR berencana untuk melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) lagi untuk menerima masukan dari masyarakat. Kata dia, Kementerian Hukum juga melakukan inventarisasi masukan yang rinci dan jelas, mencakup siapa yang memberikan masukan, pada tanggal berapa, dan bagaimana keputusan atas masukan tersebut.

"Kita punya catatan yang rapi bahwa ini masukan dari siapa, kita akomodasi seperti ini, mengapa usulan ini tidak kita akomodasi, apa dasar pertimbangannya. Kami dari pemerintah dan DPR wajib untuk mendengarkan masukan, wajib untuk mempertimbangkan. Kemudian dalam pertimbangan kita kenapa tidak digunakan usulan 'A' tapi kita menggunakan usulan 'B', itu kita wajib untuk menjelaskan kepada publik. Itu adalah arti dari meaningful participation," ungkap Eddy Hiariej.

(ryn/isn)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK