Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani menyoroti rendahnya angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia yang hanya berada pada kisaran 30-40 persen untuk kelompok usia 19-23 tahun.
Lalu mengaku prihatin dengan angka tersebut. Sebab, masih ada jurang ketimpangan antara tingkat partisipasi masyarakat terhadap pendidikan dasar dan pendidikan tinggi.
"Dan untuk kelompok usia 19-23 tahun, jenjang pendidikan tinggi, partisipasi kembali anjlok ke level 30-40 persen," kata Lalu dalam keterangannya, Kamis (14/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data BPS 2024, Lalu menyebut angka partisipasi sekolah (APS) untuk jenjang SD mencapai lebih dari 99 persen. APS jenjang SMP masih tinggi, namun di SMA menurun signifikan ke kisaran 70-85 persen, lalu kembali merosot tajam di pendidikan tinggi.
Secara nasional, Lalu mengungkapkan, rata-rata lama sekolah penduduk di usia 15 tahun ke atas hanya 9,22 tahun atau setara tamat SMP. Angkanya, kata dia, bahkan bisa lebih memprihatinkan antar provinsi.
Di Papua Pegunungan misalnya, rata-rata lama sekolah hanya di angka 5,10 tahun, artinya banyak penduduk belum tamat SD. Kondisi ini dinilai ironis memasuki usia 80 tahun kemerdekaan RI.
"Pendidikan hari ini adalah penentu nasib bangsa dalam menapaki abad kedua kemerdekaan Indonesia Emas 2045," ujarnya.
Lalu mendorong reformasi pendidikan untuk meningkatkan kelanjutan studi hingga SMA dan perguruan tinggi, terutama di daerah tertinggal. Dia juga mendorong peningkatan kualitas kurikulum, kompetensi guru, literasi digital, penguatan karakter, untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah.
"Jika kita gagal mengentaskan ketimpangan dan menyiapkan generasi yang benar-benar merdeka berpikir, maka bekal menuju Indonesia emas hanyalah retorika tanpa pijakan nyata," tegasnya.
Sementara, Mendikdasmen Abdul Mukti sebelumnya menyebut Indonesia tengah mengalami masalah learning loss secara serius. Learning loss adalah kondisi di mana motivasi, kemampuan belajar, dan pencapaian akademis siswa menurun.
Kondisi itu, menurut dia, terutama disebabkan akibat pandemi Covid-19.
"Selama pandemi, pembelajaran dilakukan secara daring, atau malah tidak ada pembelajaran sama sekali, dan dampaknya masih bisa dirasakan sampai sekarang," kata Mukti saat mengisi kuliah di UGM beberapa waktu lalu.
(thr/wiw)