Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM (Pukat UGM) Zaenur Rohman memandang pembebasan bersyarat yang diberikan kepada Setya Novanto telah melemahkan upaya pemberantasan korupsi oleh negara.
Pada kesempatan itu, Zaenur juga mengkritik aturan ketat remisi untuk koruptor yang dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada 2021 silam.
Setya Novanto alias Setnov adalah terpidana kasus korupsi KTP-elektronik (e-KTP) yang dinyatakan bebas bersyarat usai Mahkamah Agung mengabulkan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) yang diajukan Setnov.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pembebasan bersyarat Setya Novanto ini menunjukkan yang dijalani oleh terpidana korupsi itu sangat sebentar di dalam lembaga permasyarakatan gitu ya. Sisanya menjadi mitra permasyarakatan, di luar lembaga permasyarakatan," kata Zaenur dalam keterangannya, Selasa (19/8).
"Tentu dampaknya ya rendahnya deterrent effect, pidana badannya rendah, perampasan aset hasil kejahatan juga rendah, sehingga apa yang mau diharapkan dari penjeraan pidana di Indonesia terhadap pelaku tindak pidana korupsi," sambungnya.
Zaenur mengatakan, pembebasan bersyarat Setnov ini memang tidak ada salahnya bila dilihat dari sisi aturan. Akan tetap, Pukat UGM dalam hal ini justru mempersoalkan beleid yang jadi dasar pemberian bebas bersyarat itu.
Zaenur sedikit berkilas balik kala pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tiga jenis kejahatan luar biasa yakni narkoba, korupsi, dan terorisme diperketat lantaran diberi syarat tambahan.
Syarat tambahan ini tertuang dalam PP Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan.
Dulu, katanya, aturan tersebut biasa dikenal dengan julukan 'PP aturan ketat remisi koruptor'.
Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43A ayat (1) huruf (a), Pasal 43A ayat (3) PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur narapidana terorisme, narkotika, korupsi bisa mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat jika menjadi justice collaborator atau membantu membongkar kasus yang dilakukan dan membayar lunas denda dan uang pengganti.
Namun, pada Oktober 2021 lalu Mahkamah Agung (MA) justru mencabut syarat ketat remisi yang tertuang pada pasal-pasal di PP 99 Tahun 2012 tersebut. MA mencabut beleid itu melalui putusan perkara nomor: 28 P/HUM/2021, yang diketok pada 28 Oktober 2021.
Hasilnya PP 99 Tahun 2012 pun dibatalkan, sehingga semua terpidana kasus kejahatan berat berhak mendapatkan remisi dan tak perlu lagi menjadi justice collaborator.
Dengan dicabutnya pasal di atas oleh MA, kata Zaenur, maka pemberian remisi kembali merujuk pada PP 32/1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan jo PP Nomor 28 Tahun 2006, dengan tidak memandang jenis kejahatan yang dilakukan.
Syarat pemberian remisi bagi semua napi itu antara lain berbuat jasa kepada negara, melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau melakukan perbuatan yang membantu kegiatan Lapas.
Pukat UGM termasuk golongan yang tak sepakat ketika PP 99/2012 itu dicabut MA pada 2021 silam.
Menurut Zaenur dkk, itu adalah berkah bagi koruptor karena dampaknya adalah menghilangkan efek jera.
Idealnya, lanjut Zaenur, penjatuhan hukuman pidana bagi koruptor sepenuhnya kewenangan hakim. Panjang pendeknya sanksi pidana yang dijalani harus sesuai dengan putusan sang pengadil.
Zaenur menambahkan, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana kewenangan memberikan remisi atau pembebasan bersyarat oleh Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas).
"Ke depan kan harus ada perubahan itu, tentang bagaimana kewenangan memberikan remisi, kewenangan memberikan kebebasan bersyarat, ini kan kemudian menjadi kewenangan dari Kementerian Imipas kemudian dioperasionalkan oleh Ditjen Pas dan satuan kerja di bawahnya," papar Zaenur.
Menurut pihaknya, pemberian remisi maupun bebas bersyarat seharusnya menjadi putusan hakim, bukan kewenangan pemerintah. Hal yang terjadi saat ini, katanya, putusan hakim itu terdistorsi oleh keputusan pemerintah memberikan keringanan hukuman.
"Ini kan kemudian putusan hakim itu terdistorsi oleh adanya pemberian remisi maupun kebebasan bersyarat, bukan berarti kami menolak itu semua, kami setuju adanya instrumen-instrumen itu, tetapi harusnya itu menjadi putusan hakim, bukan menjadi kewenangan dari pemerintah," lanjutnya.
"Karena kan penjatuhan pidana itu kewenangan hakim. Jadi kami justru menggunakan argumentasi Mahkamah Agung untuk menentang putusan Mahkamah Agung itu sendiri, untuk mengkritik ya bukan menentang. Jadi kalau mudah keluar seperti sekarang ini, efek jeranya menjadi enggak ada," kata Zaenur lagi.
Permasalahan remisi bagi koruptor kembali mencuat setelah narapidana kasus korupsi e-KTP, Setya Novanto (Setnov), mendapatkan bebas bersyarat.
Buah remisi, serta pengurangan hukuman setelah Peninjauan Kembali (PK)-nya diterima MA, hingga masa tahanan yang telah dijalani, Setnov keluar dari sel dengan status bebas bersyarat.
"Berdasarkan perhitungan dari 12 tahun 6 bulan, beliau mendapatkan pembebasan bersyarat di tanggal 29 Mei 2025 dan beliau sudah melaksanakan pembebasan bersyarat di tanggal 16 Agustus 2025," kata Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pemasyarakatan (Kanwilpas) Jawa Barat Kusnali, Minggu (17/8).
Ia menambahkan, hukuman Setnov sebelumnya diputus 15 tahun penjara, namun melalui amar putusan PK dikurangi menjadi 12 tahun 6 bulan dengan denda Rp500 juta subsider lima bulan kurungan.
"Namun itu sudah dibayar sehingga beliau sudah bisa melaksanakan pembebasan bersyarat yang dilaksanakan pada tanggal 16 Agustus 2025," jelasnya.
Pada hari yang sama, Dirjen PAS Kemenimipas Brigjen Pol Mashudi mengatakan total remisi yang didapat Setnov selama di penjara mencapai 28 bulan 15 hari. Namun, dia membantah bahwa Setnov mendapat remisi pada HUT ke-80 RI.
"(Total terima remisi) 28 bulan 15 hari," kata Mashudi di Lapas Kelas IIA Salemba, Jakarta Pusat,.
"Tidak (remisi HUt ke-80 RI), dia (Setnov) bebas bersyarat. Dia setelah membayar subsider, yaitu bahwa kerugian negara sudah dibayar, sehingga surat dari kewenangan KPK sudah melayangkan ke kita. Kita wajib memproses. Bahwa dia haknya sudah selesai. Sudah dibayar lunas sehingga dia langsung bebas (bersyarat)," imbuh Mashudi.