Jakarta, CNN Indonesia --
Pada 2025, Indonesia memberangkatkan empat jamaah haji berusia lebih dari 100 tahun: Sumbuk (109 tahun/ Embarkasi Bekasi), Sutiah (107 tahun/ Embarkasi Lampung), Sulaeman Rotte Bagulu (102 tahun/ Embarkasi Makassar), dan Tahir Amra (100 tahun/ Embarkasi Aceh).
Seluruhnya, kemudian kembali ke Tanah Air dalam keadaan sehat dan selamat.
Namun tidak semua jamaah lansia bernasib sama. Dari 447 jamaah haji meninggal dunia asal Indonesia tahun 2025, 286 (hampir 65%) diantaranya berusia di atas 65 tahun dan masuk kategori lansia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan kata lain meski bagi sebagian lansia (bahkan yang usianya sangat lanjut) perjalanan ibadah haji dapat dilangsungkan dengan baik dan aman, bagi sebagian lainnya bisa mengancam nyawa.
Dua faktor mempengaruhi hal ini; pertama, karena haji adalah ibadah fisik jangka panjang khususnya program reguler yang berlangsung rata-rata 42 hari.
Kondisi fisik jamaah akan terpengaruh, terutama, suhu udara lokal yang sangat tinggi, jadwal ibadah yang padat, dan lokasi pemondokan yang berjarak cukup jauh dari tempat ibadah utama seperti Masjidil Haram maupun Nabawi.
Yang kedua, mayoritas jamaah usia lansia asal Indonesia memiliki komorbiditas (penyakit penyerta) yang menurunkan kualitas maksimal kesehatan -- yang kemudian mengurangi kemampuan jamaah beribadah.
Akibat dua kondisi ini, jumlah kematian jamaah haji Indonesia dalam tiga tahun terakhir setelah periode Covid-19 bertahan sedikitnya di angka sekitar 450 jiwa. Angka ini setara dengan satu kelompok terbang.
Kritik Arab Saudi
Angka kematian yang tinggi ini menimbulkan kritik pedas Otoritas Haji dan Umrah Arab Saudi. Indonesia bahkan menjadi kontributor terbesar kematian jamaah di Arab Saudi, sekitar 14 persen dari total kematian jamaah haji secara global.
Wakil Menteri Pemerintah Arab Saudi Abdul Fattah Mashat saat mengunjungi kantor Daerah Kerja Makkah Juni lalu, mengkritik tingginya angka kematian jamaah haji Indonesia pada tahun 2025.
Mashat menyoroti masalah dalam standar istitha'ah (tes kesehatan) yang dilaksanakan pada calon jamaah sebagai syarat keberangkatan.
Bagaimana menjelaskan angka kematian yang begitu tinggi padahal jamaah tersebut telah dinyatakan lolos tes kesehatan fisik dan mental untuk perjalanan ibadah haji, kira-kira demikian gugatan Otoritas Haji Saudi Arabia.
Kematian bahkan terjadi dalam pesawat saat keberangkatan, menunjukkan kondisi fisik jamaah yang memang tidak prima.
Pemerintah Arab Saudi menuntut perbaikan sistem Istithaah dengan memperketat seleksi kesehatan calon jamaah agar angka kematian dapat diturunkan secara signifikan pada musim haji selanjutnya
Isu ini kabarnya sempat membuat gusar pemerintah Kerajaan Saudi, sehingga menjadi salah satu mata bahasan utama dalam pertemuan puncak Presiden Prabowo Subianto dan Pangeran Mohammed bin Salman, di Istana Al Salam Jeddah awal Juli.
Kerentanan jamaah lansia hingga meninggal dunia
Jumlah lansia terus bertambah dalam daftar tunggu keberangkatan jamaah haji Indonesia saat ini yang seluruhnya melebih 5 juta orang.
Daftar tunggu ini sangat panjang (antara 17 sampai 47 tahun), sehingga jemaah yang masih muda ketika mendaftar bisa jadi masuk kategori lansia saat menjalankan gilirannya berangkat haji.
Akibatnya, meski ada kuota prioritas lansia yang diterapkan 5% dari total jamaah, kuota ini tiap tahun cenderung dilanggar karena terlalu banyaknya lansia dalam antrian haji reguler.
Tak heran korban jiwa dari Indonesia bertahan pada level ratusan jamaah -- searah dengan data resmi haji yang menunjukkan kelompok lansia paling rentan terhadap risiko sakit dan kematian.
Kasus terbanyak penyebab kematian jamaah adalah penyakit jantung, pneumonia, syok kardiogenik, dan infark miokard akut. Sementara risiko menjadi lebih berat akibat kondisi fisik dan mental yang rapuh, penurunan daya tahan tubuh, adaptasi lingkungan, serta faktor komorbiditas jamaah.
Dilema istitha'ah
Kaitan antara usia lanjut dan risiko tinggi keselamatan jamaah sudah lama diketahui. Sempat muncul gagasan membatasi usia haji, namun akhirnya pemerintah Arab Saudi memutuskan tak memberlakukan aturan itu.
Karena itu Saudi menuntut kepastian jamaah yang berangkat siap secara fisik dan mental. Tuntutan ini sejalan dengan UU Haji Tahun 2019 yang menyebut salah satu syarat wajib keberangkatan adalah istitha'ah atau skrining kesehatan.
Pada kenyataannya proses pemeriksaan ini tidak berjalan rinci dan maksimal. Misalnya dalam berbagai kasus jamaah hilang dan tersasar di Tana Suci. Penyebabnya seringkali karena jamaah tersebut linglung dan kehilangan orientasi lokasi akibat faktor usia.
Padahal seharusnya karena alasan kesehatan ini, jamaah tersebut tak diloloskan.
Ada juga jamaah yang semestinya didampingi secara khusus tapi ternyata berangkat sendiri sebagai individu yang dianggap mampu. Atau, ada jamaah yang di atas kertas dinyatakan memiliki pendamping, sementara pada praktiknya tidak.
Inisiatif Kementerian Kesehatan meluncurkan Program Haji Ramah lansia sejak tahun lalu belum berhasil menghentikan laju kematian dan sakit jamaah lansia secara signifikan.
Di sisi lain, penerapan aturan skrining kesehatan secara ketat juga tidak mudah. Bayangkan antrian panjang puluhan tahun yang sudah dijalani gagal dipenuhi karena satu-dua hal yang dianggap masih bisa dimaklumi demi keberangkatan ibadah haji.
Petugas istitha'ah dan otoritas haji Indonesia berada dalam posisi dilematis: mengedepankan pertimbangan aturan secara ketat atau prioritas kemanusiaan bagi jamaah/keluarganya yang memaksa berangkat karena sudah menunggu terlalu lama.
Formulasi strategi haji 2026
Apapun alasannya, pengetatan istitha'ah adalah mekanisme yang sudah tidak bisa ditawar. Kementerian Kesehatan dan Kementerian Haji dan Umrah (sebagai pelaksana Haji sesuai revisi UU haji yang disahkan hari ini) perlu melihat kembali apakah metode skrining yang berlaku sudah memenuhi ketentuan yang ketat sekaligus adil bagi jamaah.
Pengetatan ini mungkin harus disertai dengan training ulang petugas kesehatan untuk memenuhi standar baru yang disepakati.
Pengetatan istitha'ah perlu diikuti pengetatan skema pendampingan wajib, dengan lansia usia tertentu (misalnya ≥70 tahun dengan kondisi tertentu atau kelompok risiko tinggi (risti) karena penyakit penyerta) harus didampingi keluarga/pengasuh muda dalam ibadah haji.
Ketentuan ini sudah berlaku, tetapi banyak kasus menunjukkan praktik berbeda di lapangan.
Pendampingan bisa dilakukan dengan mempercepat antrean kerabat yang memang sudah mendaftar, atau pihak lain yang menandatangani kesepakatan tanggungjawab sebagai pendamping.
Strategi lain yang bisa diperkuat adalah sosialisasi masif untuk skema murur dan tanazul pada calon jemaah. Murur berarti 'melintas' adalah upaya pengembalian jamaah dari Arafah ke Mekah tanpa menginap di Muzdalifah dan bahkan di Mina.
Tujuannya mengurangi kepadatan jamaah di dua titik tersebut, sekaligus mengurangi risiko keselamatan bagi jamaah lansia dan berisiko tinggi yang dapat istirahat dengan leluasa di pemondokan asalnya.
Dalam pelaksanaan haji 2025, skema ini sudah diberlakukan, tapi tidak hanya terhadap lansia dan risti tapi juga terhadap sebagian jamaah reguler lainnya. Akibatnya muncul reaksi penolakan karena sejak awal sosialisasi haji yang menyebut skema berlaku untuk jamaah yang berhalangan.
Sementara tanazul dapat menjadi solusi bagi jamaah lansia atau risti yang perlu pulang lebih awal tanpa menunggu jadwal penerbangan pulang sesuai kloternya, sepanjang wajib hajinya telah dipenuhi.
Di luar isu spesifik kelompok lansia dan risti, peningkatan kualitas layanan ibadah haji dapat dilakukan dengan memperbaiki dua hal: transportasi dan kesediaan kemah.
Sampai pelaksanaan ibadah haji 2025, dua isu ini masih jadi persoalan serius di mana ribuan jamaah terlambat atau tak terangkut pada puncak haji dari Mekah-Arafah-Muzdalifah-Mina.
Di tiga lokasi terakhir ini juga masih terjadi kelangkaan kemah sehingga ribuan jamaah bertahan di luar ruang, menyebabkan naiknya risiko sakit.
Seluruh strategi ini membutuhkan koordinasi erat antara aparatus haji Indonesia dan Arab Saudi. Langkah ini telah dimulai dengan kunjungan khusus Presiden Prabowo Juli lalu, sebagai upaya melicinkan jalan negosiasi kuota baru serta upaya perbaikan layanan.
Sebaliknya, peningkatan kapasitas petugas haji baik yang bertugas di Indonesia maupun di Arab Saudi turut menjadi isu strategis.
Perbaikan kemampuan negosiasi di lapangan, kemampuan bahasa Arab dan koordinasi dengan sejawat dari Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi menjadi keharusan untuk menjamin perbaikan kualitas ibadah haji 2026.