Pengamanan yang tidak maksimal juga terjadi saat massa menjarah rumah Uya dan Sahroni.
Mengutip dari Antara, penjarahan di rumah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani di Jalan Mandar, Bintaro Sektor 3, Tangerang Selatan, terjadi pada Minggu (31/8) sekitar pukul 01.00 hingga 03.00 WIB.
Para saksi mata mengatakan massa berjumlah ratusan dengan mayoritas remaja. Mereka berkumpul dahulu sekitar jam 00.30 di depan kompleks.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seorang saksi lain menyatakan seperti ada aba-aba terlebih dahulu sebelum massa masuk kompleks.
"Aba-aba itu adalah kembang api, karena segera setelah bunyi kembang api, massa merangsek masuk ke kompleks," kata saksi itu, berdasarkan laporan Antara.
Belakangan, aparat kepolisian menyelidiki peristiwa penjarahan di beberapa lokasi itu. Polisi di antaranya telah menetapkan 10 orang tersangka penjarahan rumah Uya.
Penjarahan yang terjadi di beberapa lokasi itu seiring dengan gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah.
Opini yang beredar, politikus dan pejabat itu menjadi target karena dinilai tidak empatik dengan kondisi masyarakat saat ini.
Di Jakarta, demonstrasi pada Kamis (28/8) dan Jumat (29/8) berakhir ricuh. Kericuhan terjadi hari yang sama di berbagai daerah. Penjarahan lalu terjadi keesokan harinya.
Presiden Prabowo Subianto menyorot dugaan makar di balik perusakan yang terjadi saat gelombang demonstrasi Agustus lalu.
Hal itu disampaikan Prabowo usai menggelar rapat di Istana Negara, Jakarta, pada Minggu (31/8).
Prabowo menyatakan aspirasi murni yang disampaikan masyarakat harus dihormati. Hak untuk berkumpul secara damai harus dihormati dan dilindungi. Namun Prabowo menyinggung bahwa ada gejala tindakan-tindakan melawan hukum.
"Bahkan ada yang mengarah pada makar dan terorisme," kata Prabowo di Istana Negara.
Dia tak merinci detail soal gerakan makar dan tokoh yang melakukannya. Prabowo langsung memerintahkan Kepolisian dan TNI mengambil tindakan yang setegas-tegasnya, terhadap perusakan fasilitas umum, penjarahan rumah individu, dan sentra-sentra ekonomi, sesuai hukum yang berlaku.
"Kepada seluruh masyarakat, silakan sampaikan aspirasi murni secara damai. Kami pastikan akan didengar, akan dicatat, dan akan kita tindaklanjuti," kata Prabowo.
Peristiwa yang terjadi di rumah Sahroni hingga Sri Mulyani mengingatkan dengan perusakan, penjarahan dan pembakaran yang terjadi pada 1998.
Berdasar laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, ditemukan adanya pola untuk mengumpulkan massa di lokasi yang menjadi sasaran perusakan, penjarahan dan pembakaran.
Ada dua cara yang dipakai, yakni penyebaran isu tentang adanya aksi perusakan, penjarahan dan pembakaran di suatu lokasi. Isu itu disebar-luaskan lewat telpon, sopir-sopir angkutan, dan orang per orang.
Cara kedua, ada sekelompok orang yang membakar kayu, ban-ban bekas, atau benda-benda lain disertai semacam tuduhan dan ajakan.
Setelahnya, datang sekelompok orang yang berperan sebagai pengajak dan sekaligus pemimpin-pengarah massa agar melakukan perusakan, penjarahan dan pembakaran.
"Massa pada umumnya berasal dari daerah sekitar lokasi kejadian. Sedang sekelompok pengajak perusakan dan pembakaran bukan dari daerah setempat, atau dari tempat yang tidak diketahui oleh warga setempat," dikutip dari laporan TGPF.
Merujuk temuan TGPF, setidaknya terdapat empat ciri orang-orang atau kelompok pengajak dan pemimpin perusakan, penjarahan dan pembakaran.
Pertama, kelompok pemuda yang menggunakan pakaian pelajar SLTA atau pakaian mahasiswa. Kedua, kelompok remaja berpakaian lusuh dan berwajah dingin/ sangar.
Ketiga, kelompok pemuda yang berbadan kekar, berambut cepak, bersepatu boot militer dan terakhir kelompok pemuda berbadan kekar, berwajah dingin/sangar dan ber-tato.
Anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Mei 1998 Nursyahbani Katjasungkana menilai gelombang penjarahan yang menimpa rumah Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, dan Sri Mulyani memiliki pola, serupa dengan kerusuhan 1998.
Ia menyinggung kesamaan pola dengan 1998 yakni penggunaan massa dari luar daerah. Beberapa pelaku penjarahan bahkan disebut direkrut dari Jawa Barat.
Pada 1998, TGPF juga menemukan pola serupa. Massa penggerak datang dari luar.
Bedanya, pada 1998 target utamanya adalah pertokoan dan pemukiman etnis Tionghoa, sementara kini sasarannya pejabat publik, khususnya anggota DPR dan menteri yang dianggap bermasalah.
"Polanya hampir sama meskipun itu target tertentu, sangat spesifik yaitu rumah pejabat, terutama DPR yang kasar, nggak paham tentang kedaulatan rakyat. Anti kritik kayak Sahroni, yang enggak sensitif terhadap situasi rakyat kayak Eko dan Uya," kata Nursyahbani saat dihubungi, Selasa (2/9).
Menurutnya, ketidakadilan sosial menjadi latar belakang kemarahan massa. Jurang antara orang kaya dan miskin yang semakin lebar memicu protes dan penjarahan sebagai bentuk perlawanan kelas.
"Sehingga gerakan ini seperti gerakan sosial, maksudnya kelas sosial," katanya.
Anggota TGPF lainnya I. Sandyawan Sumardi, menilai gelombang protes, demonstrasi dan amuk massa akhir-akhir ini mirip dengan peristiwa 13-15 Mei 1998.
"Ada kemiripan polanya lebih baru, mulai di tengah dengan adanya agen-agen intelijen, kelompok-kelompok kepentingan yang berusaha menunggangi, atau lebih tepatnya membonceng," kata Sandyawan.
"Namun itu porsinya lebih kecil, di ujung saja yang dinyatakan dengan adanya penjarahan dan pembakaran fasilitas publik, tetap saja tidak mampu mengalahkan realitas gelombang protes demonstrasi massal yang kali ini jauh lebih bersifat organik," imbuh dia.
Ia menilai gelombang protes akhir-akhir ini pada dasarnya merupakan guncangan gempa yang berpusat dari puncak gunung es sedimentasi realitas ketidakadilan.
"Pajak yang dirasa sewenang‑wenang, proyek yang menggusur atas nama pembangunan, dan institusi yang kehilangan telinga. Menyebutnya sekadar ulah massa berarti menutup mata terhadap akar struktural," katanya.
Ia berpendapat gelombang protes, demonstrasi dan amuk massa ini menunjukkan kekecewaan yang saling terhubung melalui solidaritas digital media sosial.
Ia mengatakan seruan aksi yang menyebar lewat algoritma media sosial, bukanlah komando tunggal.
Massa nampak organik dan heterogen. Ada warga biasa, buruh, mahasiswa, pelajar, pengemudi ojek, komunitas keagamaan, ibu rumah tangga. Massa bergerak begitu cepat, cair, sekaligus riskan.
"Dalam gerakan sosial, ketiadaan struktur dapat memudahkan mobilisasi massa, namun sekaligus dapat menyulitkan kebutuhan disiplin, dan justru meningkatkan risiko adanya infiltrasi dan provokasi yang mengaburkan tuntutan dasar substantif," ujarnya.
Sebagian kalangan mencurigai fenomena penjarahan dan perusakan yang meluas ini bertujuan untuk menciptakan kondisi darurat sehingga bisa dimanfaatkan negara untuk mengambil kebijakan darurat sipil atau militer.
Apalagi, ada kesaksian tentang minimnya pengamanan dari pihak Polri maupun TNI di lokasi-lokasi yang jadi target penjarahan
Terkait hal ini Wakil Panglima TNI Jenderal Tandyo Budi Revita membantah aparatnya melakukan pembiaran. Tandyo mengaku TNI tak tinggal diam atas penggerudukan oleh massa tak dikenal terhadap rumah sejumlah pejabat tersebut.
"Kalau ada anggapan seperti itu, itu salah, jauh dari yang kami lakukan. Kami taat konstitusi, kami memberi bantuan kepada institusi lain karena permintaan konstitusi sendiri," kata Tandyo di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (1/9).
Ia juga membantah dugaan cipta kondisi yang mengarah ke penerapan hukum tata negara darurat.
"Saya kira apa yang kemampuan TNI untuk mencipta kondisi. Kita kan di belakang, terus di belakang Polri," imbuhnya.
Tandyo mengaku TNI cepat turun melakukan pengamanan seusai diminta. Mereka mulai melakukan pengamanan pada 31 Agustus atau H+1 penggerudukan rumah para pejabat.
"Kita selalu diminta dulu kan baru turun, makanya pada saat tanggal 30 dipanggil presiden kan mungkin ada permintaan, makanya tanggal 31 kita turun," ucapnya.
Tandyo mengatakan bahwa TNI senantiasa taat kepada aturan.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi belum merespons pertanyaan CNNIndonesia.com terkait minimnya pengamanan aparat di lokasi penjarahan. Serta dugaan ada pelaku terorganisir dalam penjarahan.
Dalam jumpa pers Selasa (2/9), Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya Kombes Wira Satya Triputra mengaku masih mendalami dugaan aksi terorganisir dalam penjarahan usai demo Agustus lalu.
"Terkait dengan gerakan daripada para para pengunjuk rasa anarkis kemarin apakah ini merupakan gerakan terstruktur, tentunya ini masih kami dalami lebih lanjut. karena sampai saat ini masih terus dilakukan pemeriksaan," kata Wira, Selasa.
(fra/yoa/fra)