Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menyatakan usulan Presiden ke-2 RI Soeharto sebagai pahlawan nasional oleh Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf alias Gus Ipul merupakan langkah yang mengecewakan.
"Hari ini Kemensos lewat menterinya juga sudah mengirimkan usulan nama yang diserahkan kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Tentu ini sebuah langkah yang mengecewakan tapi juga tidak mengagetkan," ujar Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya selaku perwakilan dari koalisi saat dihubungi, Selasa (21/10).
Sikap tidak kaget tersebut berkaca dari Presiden saat ini yang merupakan produk dari Orde Baru dan orang dekat Soeharto. Selain momentum politik, Dimas mengatakan wacana memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sudah muncul sejak lama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Misalnya pada tahun 2009, setelah berapa waktu meninggalnya Soeharto kemudian dari Partai Golkar mendorong wacana pemberian gelar pahlawan bagi Suharto," tutur Dimas.
"Lalu muncul kembali tahun 2014, waktu itu momennya ketika Pemilu dan yang menyampaikan adalah pak Presiden juga yang waktu itu juga tengah melakukan kampanye pemilihan presiden, dan kemudian muncul kembali tahun 2017," sambungnya.
Koalisi, terang Dimas, sudah membaca gelagat rencana pemberian gelar pahlawan nasional akan berjalan dengan mulus. Hal itu didukung oleh Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Fadli Zon yang merupakan orang dekat Prabowo.
"Kita tahu sendiri juga sebenarnya kalau latar belakang pak Fadli Zon ini kan sangat dekat dengan cendana. Kami merasa bahwa penunjukan pak Fadli Zon menjadi Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan itu kuat sekali muatan konflik kepentingannya," ucap Dimas.
Dimas lantas menyinggung upaya-upaya yang dilakukan GEMAS untuk mendorong agar Soeharto tidak diusulkan menjadi pahlawan nasional. GEMAS, kata dia, sudah memberikan surat terbuka yang ditandatangani lebih dari 100 lembaga dan individu berisi penolakan kepada Kementerian Sosial.
Dasar penolakan tersebut mengacu pada aturan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Di sana termuat perihal asas kemanusiaan.
"Kalau kita lihat rekam jejaknya pak Soeharto dalam urusan kemanusiaan itu tentu patut dipertanyakan. Kenapa? Karena selama kemudian masa kepemimpinan beliau, 32 tahun rezim Orde Baru, ada banyak sekali kekerasan negara, teror negara, dan juga pelanggaran berat hak asasi manusia serta kejahatan terhadap kemanusiaan terjadi," ungkap Dimas.
"Mulai dari proses malapetaka '65 sampai kemudian diakhiri dengan sejumlah tragedi atau kekerasan negara yang terjadi tahun 1998," lanjutnya.
Selain faktor kemanusiaan, dalam surat terbuka tersebut juga dijelaskan mengenai kerugian negara.
"Apa itu kerugian negara yang kemudian kami catat adalah pak Soeharto pernah didaulat sebagai pemimpin terkorup di dunia karena melakukan serangkaian korupsi yang memperkaya anak-cucu, keluarga, dan juga kroni-kroninya, dan itu kemudian merugikan bangsa Indonesia sangat berat," ungkap dia.
"Tentu kemudian dari klasifikasi atau dari konteks pemberian gelar pahlawan ini sama sekali bertentangan dengan asas-asas kemanusiaan, lalu dengan asas-asas perilaku yang baik," pungkasnya.
Sebelumnya, Kementerian Sosial mengusulkan sebanyak 40 nama tokoh untuk mendapat gelar pahlawan nasional, termasuk aktivis buruh perempuan asal Nganjuk, Jawa Timur, Marsinah.
Terdapat pula nama Presiden ke-2 RI Soeharto dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyerahkan berkas usulan tersebut kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Fadli Zon di Kantor Kementerian Kebudayaan, Jakarta, Selasa (21/10) siang.
"Usulan ini berupa nama-nama yang telah dibahas selama beberapa tahun terakhir. Ada yang memenuhi syarat sejak lima atau enam tahun lalu, dan ada pula yang baru diputuskan tahun ini. Di antaranya Presiden Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid, dan juga Marsinah," kata Saifullah.
Proses pengusulan nama pahlawan nasional itu berawal dari masyarakat melalui Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD).
Selain Marsinah, Soeharto, dan Gus Dur, tokoh lain yang diusulkan antara lain ulama asal Bangkalan, Syaikhona Muhammad Kholil; Rais Aam PBNU KH Bisri Syansuri; KH Muhammad Yusuf Hasyim dari Tebuireng, Jombang; Jenderal TNI (Purn) M. Jusuf dari Sulawesi Selatan; serta Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin dari Jakarta (mantan Gubernur Jakarta).
Sementara itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menambahkan bahwa pihaknya akan menggelar sidang membahas pengusulan 40 nama dari hasil proses panjang berupa kajian, diskusi, dan seminar yang dilakukan lintas lembaga itu.
"Tentu nanti kami akan bersidang, rencananya besok bersama Tim Dewan Gelar. Setelah itu hasilnya akan kami sampaikan kepada Presiden Republik Indonesia," kata Fadli.