Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia --
Tim nasional U19 tersingkir dari turnamen Hassanal Bolkiah, dengan menderita tiga kekalahan, satu imbang, dan satu kali menang. Turnamen ini digunakan sebagai persiapan Indra Sjafri dan timnya menjelang putaran final Piala Asia pada Oktober mendatang. CNN Indonesia berbicara tentang hal ini dengan Tommy Apriyantono, dosen sekaligus pendiri jurusan Ilmu Keolahragaan, Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung, yang juga terlibat dalam pembentukan Timnas U19 dari tiga tahun lalu.***
Kesalahan utama dalam pembinaan pemain muda, atau dalam kasus tim nasional U19, adalah tidak adanya sistem kompetisi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal, penting untuk menciptakan suasana persaingan bagi para pemain muda, dan bukan dalam suasana persahabatan seperti yang telah dijalani timnas U19 dalam tur nusantara.
Dalam delapan bulan terakhir, timnas U19 bertanding melawan tim Pra-PON di Aceh, Padang, Malang, sampai Bandung. Namun, mereka selalu dielu-elukan di tempat bertanding, bukan berkompetisi.
Setelah pertandingan pun tak jarang mereka diarak di kota tempat berlaga.
Saat sedikit dikasari oleh lawan, seperti yang terjadi di Bandung, para pemain terpancing emosinya dan pelatihnya pun marah-marah. Ini karena timnas U19 sepanjang tur nusantara selalu berada di atas angin sejak menit-menit awal.
Bukan tak mungkin pula lawannya telah diberi pesan untuk tidak bertanding terlalu keras.
Padahal, para pemain muda secara mental harus terbiasa untuk menghadapi situasi apa pun dan bertanding melawan musuh dengan "kulit" dan bahasa berbeda.
Apalagi di putaran final Piala Asia yang akan diselenggarkan pada 9-23 Oktober tersebut tim nasional U19 akan berhadapan dengan Australia, Uzbekistan, dan Arab Saudi.
Pelatnas jangka panjang yang diprogramkan PSSI dan Badan Tim Nasional untuk timnas U19 juga sesungguhnya tidak pas.
Negara-negara lain tidak mengenal sistem pelatnas jangka panjang. Mereka mengadakan pemusatan latihan hanya maksimal selama dua minggu saja. Dulu negara-negara komunis pernah menggunakan sistem tersebut, tapi sekarang telah ditinggalkan.
Bahwa tim nasional U19 telah menjalani berbagai pertandingan selama delapan bulan terakhir sudah betul. Namun, akan menjadi sia-sia jika tidak dalam suasana persaingan.
Tak heran jika timas U19 tersingkir di Turnamen Hassanal Bolkiah. Pasalnya, mereka berhadapan dengan lawan-lawan yang kelompok usianya lebih tinggi, sementara Evan Dimas dkk tidak pernah disiapkan untuk menghadapi hal tersebut.
Menghadapi Piala Asia kurang lebih lima minggu lagi, yang bisa dilakukan oleh timnas U19 adalah mencari lawan dengan kelompok usia yang sama, namun lebih tangguh.
Misalnya saja timnas U19 Jepang atau Korea Selatan.
Dilarang Dikontrak Klub ProfesionalSalah satu kendala dalam menciptakan suasana persaingan untuk pemain muda adalah karena tidak ada peraturan yang memaksa klub untuk menggunakan pemain muda.
Dulu di masa kepemimpinan Djohar Arifin (ketua umum PSSI -red), sempat dirancang pembagian kompetisi untuk pemain muda. Namun, ia lalu meralatnya sendiri.
Semula Divisi Utama diplot untuk pemain kelompok usia U23, sementara divisi satu untuk U21. Namun, sistem ini gagal karena klub-klub di Indonesia lebih mementingkan hasil cepat ketimbang pembinaan.
Karena ingin mendapatkan hasil, klub di divisi bawah lebih sering mengontrak mantan pemain berusia 30 tahun ke atas yang sudah tidak terpakai lagi. Pemain yang perkembangannya sudah mentok.
Akibatnya, pemain muda tidak memiliki tempat bermain.
Sebagai perbandingan adalah Jerman yang menjadi juara dunia. Di Bundesliga, ada peraturan yang menyaratkan klub untuk memainkan pemain muda binaan sendiri. Klub di negara tersebut juga mewajibkan setiap klub untuk memiliki akademi.
Di Indonesia, tidak ada satu klub pun yang memiliki akademi. Sebagai contoh adalah dua tim di Bandung, Persib dan Pelita Bandung Raya (PBR). Akademi milik Pelita Bandung Raya sudah dibubarkan, sementara Persib tidak betul-betul membina, tapi mencomot pemain dari mana-mana.
Kendala lain adalah pemain yang berusia 17-18 tahun tidak bisa dikontrak secara profesional oleh klub, karena terkendala peraturan dari PSSI. Akibatnya, banyak bintang muda tidak bisa bermain rutin dan merasakan suasana berkompetisi.
Padahal, kunci dari pembinaan adalah kompetisi.