OLAHRAGA TIONGKOK

Geliat 'Raksasa Tidur' di Sepakbola

CNN Indonesia
Jumat, 19 Sep 2014 14:53 WIB
Meski mendominasi dunia olahraga di tingkat Asia dan dunia, Tiongkok tak berjaya di lapangan hijau. Namun, kemunculan Guangzhou Evergrande mulai mengubah semua.
Marcelo Lippi membawa Guangzhou Evergrande menjadi klub Tiongkok pertama dalam 23 tahun yang juara di tingkat Asia. (Jason Reed/Reuters)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Tak ada gelar lebih bergengsi di dunia olahraga ketimbang juara Piala Dunia, dan Tiongkok belum mampu merebutnya.

Meski mendominasi dunia olahraga Asia selama tiga puluh tahun terakhir dan mulai menunjukkan kekuatan otot di cabang renang, basket, dan tenis --tiga cabang olahraga yang didominasi dunia barat-- prestasi Tiongkok di lapangan hijau memang masih semenjana.

Tim nasional Tiongkok tercatat hanya sekali masuk ke putaran final Piala Dunia, yaitu pada 2002. Ini pun berakhir dengan tiga kali kekalahan di fase grup tanpa pernah mencetak satu gol.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Demikian pula di tingkat benua. Tiongkok sama sekali belum pernah meraih gelar tertinggi, yaitu Piala Asia.

Namun, perlahan sang raksasa olahraga mulai bangun dari tidurnya di lapangan bola.

Bermula di kota Guangzhou

Kota Guangzhou terkenal sebagai kota dengan dengan tingkat polusi tertinggi di Tiongkok. Namun, di kota inilah aroma perubahan dalam sepakbola di Tiongkok pertama kali mulai tercium.

Tepatnya di klub Guangzhou Evergrande.

Pada 2010 lalu, orang terkaya nomor sepuluh di Tiongkok Xu Jiayin memutuskan untuk membeli Evergrande, yang kala itu mengalami kesulitan keuangan. Dengan kemampuannya menggelontorkan pundi-pundi uang, Jiayin pun menyulap klub tersebut menjadi klub bertabur bintang.

Tak hanya mendatangkan pesepakbola terbaik dari seluruh negeri, Jiayin juga mengontrak Marcelo Lippi, pelatih kenamaan  yang membawa negaranya juara dunia pada 2006 lalu.

Tak tanggung-tanggung, Jiayin mengeluarkan biaya US$ 10 juta setahun untuk menggaji Lippi.

Namun ini semua tak sia-sia. Selama tiga tahun berturut-turut, Guangzhou Evergrande mampu mendominasi liga domestik dengan meraih gelar juara.

Di tingkat Asia pun Evergrande mampu mengganggu dominasi klub-klub mapan Korea Selatan dan Jepang dengan menjadi klub Tiongkok pertama yang meraih gelar Liga Champion Asia dalam 23 tahun terakhir.

Di sisi bisnis, keputusan membeli Evergrande menjadi keputusan yang sangat baik.

Empat tahun lalu, klub ini dibeli Jiayin dengan nilai US$16 juta. Namun, pada Juni 2014 sebagaimana dilaporkan oleh Wall Street Journal, ketika Jiayin menjual 50 persen saham klub, ia mampu mendapatkan US$ 193 juta dari perusahaan Grup Alibaba.

Dengan kekuatan jumlah penduduk sebanyak 1,35 miliar orang, Tiongkok sendiri adalah pasar potensial bagi klub-klub Eropa untuk memasarkan produknya.

Namun, tak seperti pasar Asia Tenggara atau Amerika Serikat, Tiongkok relatif tak memberikan 'hasil'.

Hal inilah yang mulai didobrak oleh Evergrande. Dianggap sebagai kebanggaan negara, Evergrande mulai mendapatkan tempat di hati jutaan penduduk Tiongkok.

Sebagaimana dilaporkan oleh ESPN, kini Evergrande menjual rata-rata 40 ribu tiket stadion tiap laga. Kala mereka bermain di final Liga Champion Asia, ada 68 juta penduduk Tiongkok yang menyaksikan lewat televisi. Mereka juga mulai dijuluki oleh "China Evergrande".

Akademi Terbesar di Dunia

Tak hanya berinvestasi di tim utama, Jiayin juga menaruh pundi-pundi uangnya di pembinaan pemain muda dengan cara membangun akademi sepakbola terbesar di dunia.

Bertempat 75 kilo meter dari kota Guangzhou ia membangun Sekolah Sepakbola Internasional Evergrande. Mampu menampung lebih dari 2.300 siswa, sekolah ini memiliki 50 lapangan bola dan sedang membangun 30 lainnya.

Tak hanya lapangan bola, akademi ini memiliki stadion utama, auditorium film, kolam renang luar pintu, beberapa lapangan tenis, enam kantin, gimnaium, perpustakaan dan ruangan komputer raksasa.

Menurut mantan kiper Real Madrid yang melatih di sekolah ini, Miguel Angel, "Tak ada yang pernah membangun akademi sepakbola dalam skala sebesar ini."

Inilah ambisi dari Jiayin, yaitu membangun cadangan pemain sepakbola sebesar mungkin.

"Strategi jangka panjang kami adalah dalam delapan sampai sepuluh tahun kedepan menggunakan hanya pemain lokal untuk Evergrande, dan membuat mereka bintang di Tiongkok, Asia, dan dunia," ujar Jiayin ketika sekolah ini dibuka pada 2012 lalu.

Untuk menyokong proyek tersebut, Sekolah Sepakbola ini juga memberikan beasiswa bagi para anak-anak yang tak mampu, termasuk juga di antaranya adalah penyediaan asrama.

Tiongkok tentu akrab dengan pembinaan atlet berskala besar seperti ini. Para atlet terkenal dari Tiongkok pun lahir dari model pembinaan yang sama, yaitu melalui Sekolah Olahraga Beijing Shichahai.

Pada 2008, Tiongkok telah mendapatkan hasil dari pembinaan atlet skala besar dengan mendapatkan juara umum di Olimpiade Guanzhou -- mendobrak dominasi Amerika Serikat selama puluhan tahun.

Jika sepuluh tahun mendatang mereka mulai berbicara di sepakbola tingkat dunia, maka mungkin Evergrande adalah penyebabnya.
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER