Jakarta, CNN Indonesia -- Gelontoran dana keluar dari kantong para orang kaya India untuk membangkitkan sepak bola bukan tanpa alasan. Selain kriket, kondisi industri olah raga India seolah mati suri.
Sebelum terbentuknya Liga Super India, pada 2007 lalu India juga membentuk I-League sebagai kompetisi kasta teratas untuk menggantikan Liga Nasional Sepakbola yang telah berjalan sebelas musim.
I-League dibentuk untuk mengenalkan pengelolaan yang lebih profesional ke publik sepak bola. Namun, hingga saat ini mereka gagal untuk membuat sepak bola lebih populer.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dibawa InggrisTentara Inggris membawa sepak bola ke negara India pada awal abad ke-19. Kala itu, tim India bahkan mampu mengalahkan Inggris untuk memenangkan turnamen lokal pada 1911.
Roy berkata bahwa kemenangan ini membuat India percaya diri untuk bergerak dan memperjuangkan kemerdekaan mereka, yang akhirnya tercapai 36 tahun kemudian.
Hingga 1970-an, India sendiri menjadi satu di antara beberapa kekuatan sepakbola Asia. Bahkan, pada Piala Dunia 1950 mereka pernah diundang FIFA untuk mengikuti Piala Dunia di Brasil, meski akhirnya mereka tidak jadi berangkat karena biaya perkajalanan terlalu mahal.
Meski demikian, pengaruh Inggris --atau Liga Inggris lebih tepatnya-- masih membayang-bayangi dunia sepak bola India.
Pada akademi milik Bhutia di Delhi, para murid yang berusia remaja biasa terjaga hingga dini hari untuk mengikuti jalannya liga-liga Eropa atau Piala Dunia.
Mereka semua bermimpi bisa bermain secara profesional di Eropa.
"Di Liga Inggris saya dukung Chelsea, sementara di La LIga, Barcelona," ujar Somil, seorang remaja berusia 14 tahun ketika diwawancarai CNN Internasional. "Namun saya tidak begitu tahu tentang sepak bola India."
Asosiasi Sepakbola India (IFA), yang mengatur jalannya kompetisi di daerah Bengal Barat, pada 2011 lalu menggelar laga persahabatan internasional pertama untuk India yaitu melawan Venezuela dan Argentina.
Kala itu, 120 ribu orang memadati Stadion Salt Lake di Kolkata untuk menyaksikan Lionel Messi bermain.
Meski masyarakat mengantre tiket untuk menonton satu di antara pemain terbaik dunia itu, laga sepak bola lokal justru "ditinggalkan" penonton dan hanya disiarkan di stasiun televisi yang tidak populer.
Mohun Bagan A.C. dan East Bengal F.C. adalah dua klub terbesar di India yang berbasis di Kolkata dan memiliki sejarah rivalitas yang terbentang selama 86 tahun, setara dengan panjangnya permusuhan antara klub Skotlandia Celtic dan Ranger.
Ketika kedua tim bertemu, kurang lebih 100 ribu penonton hadir di stadion.
"Klub ini tidak tahu mereka sangat beruntung, karena mereka tidak melakukan apapun untuk menjaga komitmen dari para suporter," kata jurnalis Hindustan Times, Dhiman Sarkar.
Anjan Mitra, sekertaris jenderal Mohun Bagan A.C, menyombongkan suporter klub yang tersebar di seluruh dunia. Namun, ketika ditanya tentang pernak-pernik yang tidak tersedia, ia hanya memberikan jawaban bahwa produk tersebut habis dan mereka akan segera menyediakannya.
Sarkar berkata bahwa ketidakmampuan untuk mengelola sepakbola adalah masalah besar.
Bhutia kini memiliki klub United Sikkim, yang telah naik ke divisi teratas I-League, hanya dalam waktu lima tahun.
Ia berargumen bahwa federasi harus bekerja sama dengan klub dalam hal pengelolaan,
"Federasi tidak membantu para pemilik klub yang tidak terkenal," ujar Bhuttia. "Sepak bola belum berubah; masih sama seperti tahun 1960-an dan 1970-an. Belum mampu menyusul jejak langkah sepak bola dunia."
"Seperti India sendiri."
Bukan Negara Olah RagaSunando Dhar, pemimpin dari I-League yang dibentuk Federasi Sepak Bola Seluruh India (AIFF), pada 2013 lalu pernah mengeluarkan penilaian tentang kompetensi negaranya dalam dunia olah raga. Ia memvonis bahwa, "India tidak memiliki gairah berolah raga bukan negara olah raga."
Pernyataan itu menimbulkan reaksi dari dua pakar sepakbola.
"Seperti halnya kriket, India telah memainkan sepakbola lebih dari 100 tahun," ujar seorang sejarawan dan ahli statistik Gautam Roy kepada CNN Internasional. "Ada banyak atlet yang memainkan kriket, sepak bola, atletik, dan juga hoki."
"Kami pernah memenangkan medali emas dan juga menjadi juara dunia (kriket), meski menurunkan pemain amatir. Jika India bukan negara olah raga, maka mengapa banyak orang memainkan olah raga?"
Mantan bintang sepak bola India, Baichung Bhutia, yang pernah bermain untuk klub Inggris, Bury FC, pada 1999 menambahkan, "Jika AIFF berkata India bukan negara olah raga, lalu apa tugas mereka? Anda harus membangunnya menjadi negara olahraga!"
Dhar sendiri membela pemikirannya dan berujar bahwa India tidak memiliki sejarah keikutsertaan yang kuat di olimpiade.
Merujuk tentang minat pada kriket yang melonjak tinggi setelah India memenangkan Piala Dunia Kriket pertama pada 1983, ia berkata: "Jika tim nasional tampil dengan baik, maka hal itu akan berpengaruh."
Mantan kapten tim nasional India, Sunil Chhetri percaya bahwa kritik Dhar menurunkan kepercayaan diri mereka, dan berkata bahwa seluruh pihak seharusnya bekerja sama.
Chhetri memberi harapan baru bagi India ketika ia bergabung dengan tim cadangan klub Portugal, Sporting Lisbon, pada 2012. Pakar sepak bola India, Arunava Chaudhuri menggambarkan kepindahannya sebagai "transfer terbesar dalam sejarah sepak bola India."
Meski demikian, tujuan utama bagi masyarakat India adalah memperbaharui kebanggaan pada tim nasionalnya, ketimbang mengelu-elukan masa lalu.
Mulai BerubahRoy merasa bahwa persepsi seluruh dunia telah berubah.
"Saat ini semua melihat ke arah India," katanya. "Di sini Anda memiliki lebih dari satu miliar orang; jika Anda bisa membuat sepak bola populer, maka olah raga ini akan menjadi hal paling populer."
Perkembangan ini juga yang terus dipantau oleh klub-klub besar Eropa. Bersama dengan Manchester United dan Liverpool, Barcelona telah membuka cabang sekolah sepak bola di negara ini. Terkait India sebagai pasar sepak bola, Dhar menyebutkan India adalah "area yang belum terjajah".