JESSE OWENS

Kisah Ironis Pelari yang Jaya di Markas NAZI

CNN Indonesia
Jumat, 24 Okt 2014 13:55 WIB
Di hadapan Adolf Hitler, seorang atlet kulit hitam mampu meraih empat medali emas. Namun ketika kembali ke negaranya ia tetap berhadapan dengan diskriminasi.
Dalam dunia atletik dan olahraga, nama Jesse Owens menjadi legenda. Atlet Afrika-Amerika ini meraih empat medali emas atletik di Olimpiade Berlin 1936, di hadapan Adolf Hitler. (Getty Images/Mark Dadswell)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika seorang atlet berkulit hitam bernama Jesse Owens memasuki arena pertandingan di Olimpiade Berlin 1936, tidak ada yang menyangka ia akan menjadi perusak teori 'kedigdayaan' ras Arya.

Berhasil meraih empat medali emas di negara yang mengagungkan ras Arya, pencapaian Owens tidak hanya berarti pada dirinya sendiri, namun juga warga kulit hitam yang seringkali hidup dalam diskriminasi.

Atlet yang kala itu masih berusia 22 tahun tampak tidak peduli dengan situasi politik yang sedang memanas pada saat itu, ataupun adanya sosok Adolf Hitler dan partainya Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) yang berkuasa di Jerman.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di hadapan Hitler, sosok yang percaya bahwa yang lemah harus dimusnahkan, dengan kekuatannya Owens membuktikan bahwa ras kulit hitam mampu berdiri setara dengan ras Arya atau kaum kulit putih. 

Bersahabat dengan "Musuh"

Medali pertama berhasil didapatkan Owens pada ajang lari 100 meter. Ia berhasil mengalahkan rekan senegaranya, Ralph Mtcalfe, dengan catatan waktu 10,3 detik.

Owens mendapatkan medali emas keduanya dari ajang lompat jauh. Sempat melakukan pelanggaran dalam dua usaha awal, ia kemudian mendapatkan saran dari pelompat jauh asal Jerman, Luz Long.

Long berkata pada Owens untuk bermain lebih aman, yaitu dengan melompat sedikit lebih awal dari titik loncat. Atlet Amerika ini kemudian mengikuti saran Long dan akhirnya keluar sebagai juara.

Tidak berhenti di situ, Long juga menjadi orang pertama yang menyelamati Owens dan mereka berdua berjalan bersama untuk memberi penghormatan pada seluruh penonton yang hadir.

Tindakan ini membuat seluruh penonton pada saat itu bangkit dan memberi penghormatan kepada mereka berdua.

"Dibutuhkan banyak keberanian darinya (Long) untuk berteman dengan saya di hadapan Hitler," ujar Owens.

Tidak puas dengan raihan dua medali emas, Owens kembali beraksi di lari 200 meter dan kembali keluar sebagai juara setelah mengalahkan Jackie Robinson, untuk mencatatkan rekor Olimpiade saat itu dengan catatan waktu 20.7 detik.

Owens kemudian memimpin tim Amerika Serikat untuk keluar sebagai juara lari estafet 4x100 meter, sekaligus mencatatkan medali keempatnya di Olimpiade Berlin.

Menjadi orang yang mendobrak 'keangkuhan' Hitler dan ras Aryanya di kandang mereka sendiri tentu merupakan sebuah pencapaian yang membanggakan.

Namun sayangnya, kisah inspiratif Owens tidak selesai begitu saja.

Juara di Kandang Nazi, Dilupakan di Negeri Sendiri

"Bukan Hitler yang menolak saya, melainkan FDR (Franklin Delano Roosevelt)."

Ketika meraih kemenangan di Jerman, Adolf Hitler yang turut menghadiri Olimpiade Berlin dilaporkan menolak untuk bersalaman dengan Owens.

Namun 73 tahun kemudian, kisah mengenai penolakan Hitler untuk bersalaman dengan Owens mulai dipertanyakan.

Siegfried Mischner, seorang reporter olahraga di Olimpiade Berlin 1936, mengaku Owens membawa sebuah foto yang menggambarkan dirinya sedang bersalaman dengan Hitler.

Kesaksian Mischner ini sendiri belum pernah dikonfirmasi oleh Owens sendiri. Atlet Amerika ini pada 1980 silam telah lebih dulu menutup usia pada usia 66 akibat mengidap kanker.

Namun apapun kenyataannya, Owens sendiri selalu menolak perannya sebagai sebuah simbol politik. Berasal dari keturunan budak, Owens juga kecewa dengan klaim Amerika terkait  anggapan moral bahwa mereka lebih baik dari para Nazi.

"Setelah semua cerita mengenai penolakan Hitler, saya kembali ke negara saya dan saya masih tidak bisa duduk di bagian depan bus," ujer Owens.

"Saya harus duduk di pintu belakang. Saya tidak dapat hidup di tempat yang saya inginkan. Di mana perbedaannya?"

Selain itu Owens juga masih mengalami banyak tindakan diskriminatif seperti layaknya warga kulit hitam di Amerika pada saat itu.

Para sebuah pesta yang dirancang untuk merayakan kemenangan 'inspirasional'-nya di Jerman, Owens diharuskan menggunakan lift yang berbeda dengan lift tamu, yang hanya digunakan bagi orang berkulit putih.

Presiden Amerika saat itu, Franklin Roosevelt, juga tidak pernah memberi selamat ataupun mengundang Owens ke gedung putih.

Lebih jauh, Owens juga mengaku segala kisah kemenangan inspirasionalnya di Olimpiade Berlin dijadikan propaganda oleh negaranya sendiri.

Jika Jerman selalu diidentifikasikan dengan Hitler dan Nazi, yang berlaku semena-mena kepada ras lain selain Arya, Owens justru mendapatkan sambutan meriah dari warga Jerman saat ia berlaga di Olimpiade Berlin.

Persahabatannya dengan Luz Long juga merupakan contoh 'kehangatan' yang ia terima saat di Jerman. Keduanya saling bertukar surat meski akhirnya persahabatan keduanya putus, setelah Long terbunuh di Perang Dunia II.

Kisah Owens semakin jauh dari akhir yang bahagia, setelah ia dikeluarkan dari Persatuan Atlet Amatir Amerika.

Owens didepak setelah menolak untuk membela negaranya di sebuah turnamen di Swedia, karena meminta hadiah dari hasil jerih payahnya di Olimpiade Berlin.

Setelah pemecatan tersebut, Owens akhirnya terlunta-lunta mencari pekerjaan lain untuk menghidupi keluarganya.

Mitos dan Realita Owens, Eksploitasi Atlet Kulit Hitam

Setelah 'ditinggalkan' oleh negara yang ia bela, Owens bagaikan sebuah objek sirkus saat ia harus berlari melawan banyak objek, mulai dari atlet dari olahraga lain, mobil, motor, anjing, hingga kuda.

Owens bahkan sempat bekerja sebagai pembersih WC di sebuah taman bermain anak-anak dan juga sebagai penjaga pom bensin.

"Orang-orang bilang beradu lari melawan kuda sangatlah merendahkan bagi seorang juara Olimpiade. Tetapi apa yang harus saya lakukan? Saya memiliki empat medali emas, tetapi kita tidak dapat memakan medali emas," ujar Owens.

Keadaan semakin memburuk bagi Owens setelah ia mendirikan sebuah bisnis binatu. Namun dua rekannya merupakan penipu, sehingga Owens terpaksa menyatakan bangkrut, hanya tiga tahun setelah berjaya di Olimpiade.

Tidak berhenti di situ, Owens juga mendapatkan masalah dari pengadilan, setelah ia didakwa menunggak pembayaran pajak.

"Setelah saya pulang dengan empat medali emas, semua orang ingin menyalami tangan saya dan mengundang saya, namun tidak ada yang mau menawarkan saya pekerjaan," ujar Owens.

"Untuk sejenak saya adalah orang paling terkenal di dunia, namun saya segera sadar bagaimana kosongnya sebuah popularitas, dan bagaimana sangat mudah bagi orang-orang untuk mengeksploitasi itu, dan saya," ujar Owens melanjutkan.

Butuh beberapa tahun bagi Owens untuk bangkit. Ia akhirnya berhasil menjadi pembicara publik, dan bahkan menjadi seorang disc jockey (DJ) musik Jazz.

Simbol Perjuangan yang Kosong

Berkaca pada pengalamannya di Olimpiade, Owens cenderung bersikap skeptis terhadap perjuangan kaum kulit hitam untuk mendapatkan tempat di masyarakat Amerika.

Ketika pada Olimpiade Meksiko 1968, dua atllet kulit hitam dari Amerika, Tommie Smith dan John Carlos, melakukan gerakan simbolis dengan mengepalkan tangan ke udara pada saat penerimaan medali, Owens menganggap aksi kedua atlet tersebut sebagai sebuah simbol yang tak memiliki arti.

"Saat Anda membuka kepalan itu, tidak ada apa-apa selain jari-jari yang lemah. Satu-satunya saat ketika kepalan tangan memiliki arti signifikan adalah saat terdapat uang di dalamnya. Itulah di mana kekuatan berada," ujar Owens.

Owens sendiri menghabiskan masa-masa terakhir hidupnya dalam kehidupan yang berkecukupan. Lalu, setelah ia meninggal, presiden dan pemerintah Amerika berlomba-lomba untuk menghormati dirinya sebagai sebuah simbol atletik dan juga perlawanan terhadap fasisme.

Ironis memang, seorang atlet kulit hitam yang menjadi simbol perlawanan terhadap diskriminasi terhadap kulit hitam, pada akhirnya menjadi korban dari diskriminasi tersebut.

Pada kenyataanya, Owens hanyalah 'sebuah' simbol, yang dikelilingi mitos tentang kisah heroik, tetapi terbenam dalam realita diskriminasi.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER