Jakarta, CNN Indonesia -- Liga Inggris kini menjadi liga paling multi-kultural, dan menarik perhatian pemain dari berbagai penjuru dunia.
Namun, meski banyak pihak percaya bahwa atmosfer sepakbola Inggris telah bersih dari aksi rasialisme dan diskriminasi, grup Anti-Rasialisme Kick It Out berkata bahwa masih banyak kerja yang harus dilakukan.
"Kami ingin sepakbola di negeri ini dimainkan, diatur, diurusi, dan disaksikan dari berbagai lapisan masyarakat di Inggris," ujar juru bicara Kick It Out, Danny Lynch kepada CNN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namun kami tidak memiliki hal tersebut. Kami tidak memiliki pemain homoseksual yang secara terang-terangan membuka diri. Dari 92 klub saat ini, kami hanya memiliki sedikit manajer berkulit hitam, dan juga sedikit wanita yang menjadi petinggi klub:
"Jadi masih ada ketidakseimbangan dan saya pikir kerja yang kami lakukan dengan seluruh klub dan agensi adalah untuk mengatasi hal tersebut.
Kerja itu berlanjut di dalam stadion. Berbagai peralatan dan peraturan digunakan untuk mengawasi tindak rasialisme para suporter.
Stadion-stadion, dan juga petugasnya, kini telah dilengkapi kamera pengawas sehingga para suporter sulit untuk berbuat onar.
Selain itu, para suporter yang berulah di stadion juga harus membayar mahal tindakan mereka, mulai dari sanksi finansial hingga larangan untuk menghadiri pertandingan sepakbola.
"Kami memiliki sekitar 75 kamera di seluruh lapangan pertandingan, dan jika ada tindakan rasialisme yang dilaporkan kepada kami, kami dapat dengan cepat mengerahkan satu, dua, hingga tiga kamera ke lokasi kejadian," ujar petugas keamanan Brighton, Chris Baker.
Namun meski berada dalam pengawasan yang ketat, seringkali pihak yang berwenang di stadion masih 'kecolongan', dan berbagai tindakan rasialisme masih marak terjadi di dunia sepakbola Inggris.
Suporter tidak terbiasa melihat orang-orang yang berkulit berbeda pada saat ituClyde Best |
Rasialisme InggrisSecara umum, rasialisme sendiri bukan barang baru di Inggris. Sejak akhir Perang Dunia II, saat para imigran mulai berdatangan ke Inggris dari koloni-koloni mereka di berbagai belahan dunia, tingkat aksi rasialisme mulai meningkat.
Jumlah warga non kulit putih di Inggris meroket sekitar 1,45 juta dalam periode antara tahun 1945 hingga 1970.
Pada 1968, seorang politisi konservatif Inggris, Enoch Powell lewat pidatonya yang disebut pidato Birmingham, tetapi lebih dikenal publik sebagai pidato 'rivers of blood", memperingatkan bahaya akan kian banyaknya imigran di Inggris.
Pada tahun yang sama itulah Clyde Best pertama kali menjejakkan tanah di kompetisi Inggris, setelah klub asal London, West Ham United, memboyongnya dari Bermuda.
Sebagai pemain kulit hitam pertama yang bermain di divisi utama sepakbola Inggris, Best mendapatkan reaksi yang sangat ekstrem ketika ia tiba di London.
"Suporter tidak terbiasa melihat orang-orang yang berkulit berbeda pada saat itu. Saya selalu berpikir, jika kita tidak bermain untuk diri sendiri, kita bermain untuk orang-orang yang ada di belakang kita, itulah yang membuat saya tetap bertahan," ujar Best kepada CNN.
"Namun kami harus mengabaikan semua itu dan menjadi lebih kuat. Inilah yang harus kita lakukan," ujar Best melanjutkan.
Best sendiri tidak asing dengan banyaknya serangan bernada rasialisme yang diarahkan padanya, ia bahkan juga pernah menerima surat ancaman.
Surat tersebut menyatakan bahwa ketika Best berlari melewati terowongan pemain, mereka akan melemparkan asam ke mukanya. "Saya sangat ketakutan dan saya mungkin tidak pernah bergerak begitu sering dan begitu cepat di lapangan sepakbola, selama seumur hidup saya." ujar Best.
Namun kegigihan Best untuk bertahan dari banyaknya serangan rasialisme para suporter, turut membantu memberikan jalan bagi Viv Anderson, menjadi pemain berkulit hitam yang tampil di tim nasional Inggris.
Masuknya Anderson di timnas merupakan sebuah keberhasilan tersendiri, karena di era 1920-an, Jack Leslie ditolak masuk ke timnas Inggris karena ia memiliki darah Jamaika.
Berasal dari Nottingham, Anderson tampil bersama Inggris saat mereka menjamu Cekoslovakia, yang juga memiliki sejarah rasialisme dalam sepakbola, di Stadion Wembley.
Manajer Inggris saat itu adalah Ron Greenwood, yang juga memboyong Best ke West Ham.
"Bermain bagi negara di depan 100 ribu orang melawan Ceko, yang memiliki reputasi bagus, membuat saya tidak mau mengecewakan diri sendiri, orangtua, dan semua orang yang saya kenal," ujar Anderson.
"Permasalahan warna kulit menjadi hal terakhir yang saya pikirkan, yang paling utama adalah menjadi seorang pesepakbola profesional," ujar Anderson melanjutkan.
Kembali Mengingat Esensi Paling Penting SepakbolaMasih banyaknya kasus rasialisme yang tarjadi di dunia sepakbola, termasuk di Inggris, membuat Best berharap sepakbola tetap dapat fokus mempertahankan keindahan permainannya.
"Saya rasa hal yang paling penting diingat dari sepakbola, dengan segala tindakan bodoh seperti rasialisme dan hal-hal seperti itu, ketika gol terjadi, saya dapat hitam sehitam-hitamnya atau menjadi seputih salju... begitu gol terjadi, semua berpelukan satu sama lain,
"Hal yang paling penting untuk diingat adalah bola tidak peduli pada warna kulit anda," ujar Best.
**
Catatan: Tulisan pernah ditayangkan di CNN Internasional dan telah mengalami penulisan ulang.