Jakarta, CNN Indonesia -- Ellyas Pical, dengan telepon genggam di tangannya, terburu-buru berjalan keluar dari ruangan di lantai 12 gedung itu. “Mau telepon dulu,” ujarnya sembari berlalu.
Bukan hal sukar untuk sekadar menemui seorang Elly, petarung pertama yang mengharumkan nama Indonesia di dunia tinju internasional. Ketika saya pertama kali menghampiri ruangan di lantai 12 gedung KONI itu pun saya tak butuh waktu lama untuk mencari petinju yang terkenal dengan kekuatan tangan kirinya tersebut.
Lain hal untuk berbicara dengannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Elly terlihat tidak fokus kala mendengar pertanyaan dan lebih sering membalas dengan bahasa isyarat, misalnya menggelengkan kepala atau melambaikan tangan. Tak sampai lima menit perbincangan kami, ia pun pergi.
Setelah melakukan panggilan telepon, Elly tak pernah kembali.
***
“Ronde” pertama saya dengan Elly jelas berakhir dengan kekalahan di pihak saya. Menurut salah seorang sahabatnya yang juga bekerja di gedung itu, Elly memang lebih sering mengambil sikap diam dalam keseharian. Ia jarang bercerita dan lebih senang bercanda melalui gerak tubuh dan tawanya. Sesekali Elly pun menyanyikan lagu favoritnya sembari bekerja – sebuah lagu Broery Marantika berjudul Aku Jatuh Cinta.
Terkadang, kala bersenda gurau, sahabatnya menirukan gerakan seorang petinju dan mengajaknya “bertarung”. Elly hanya tertawa saja dan tak pernah sekali pun naik pitam. “Dibercanda-in seperti apa pun Elly tak pernah marah. Ia biasanya hanya tertawa,” ujar Slamet, salah seorang kawannya yang lain.
Menurut teman-teman Elly, faktor pendengaran lah yang membuatnya tak bicara banyak dan lebih sering berkata-kata dengan suara pelan. Semasa kecil di Saparua, Maluku, Elly sendiri sering menyelam untuk mencari mutiara sehingga pendengarannya tak lagi peka. Maka isyarat tangan, gerak tubuh, dan tertawa menjadi cara Elly berkomunikasi dengan yang lain.
Nyaris sepuluh tahun Slamet mengenal seorang Elly. Setelah menggantungkan sarung tangan tinju, Elly sang mantan petinju kelas-bulu itu sempat bekerja sebagai satpam di sebuah diskotik di Jakarta dan ditangkap masuk jeruji besi pada tanggal 13 Juli 2005 karena terpergok polisi melakukan transaksi narkoba.
Usai tujuh bulan mendekam dalam bui, mantan atlet juara IBF Super kelas-bulu tiga kali tersebut dibawa Agum Gumelar yang menjabat Ketua KONI (2003-2007) untuk menjadi asistennya.
Elly kemudian menjadi staf karyawan TU hingga saat ini setelah Agum lengser dan digantikan oleh Rita Subowo (2007-2011), dan lalu Tono Suratman (2011-sekarang). Pekerjaannya sehari hari membantu kelancaran TU seperti melakukan foto kopi, mengirimkan surat, merapihkan arsip, dan tugas-tugas administrasi lain.
Memang tak ada jejak-jejak soal tinju dalam pekerjaan Elly kali ini. Namun bukan berarti ia tak serius melakukannya. Menurut Slamet, dari rumahnya di bilangan Bintaro, Kabupaten Tangerang, dengan menggunakan bus TransBintaro Elly nyaris tak pernah terlambat untuk datang setiap pagi setengah jam sebelum waktunya.
“Orangnya disiplin dan supel,” kata Slamet. “Hanya saja, ia memang jarang sekali mau menemui wartawan.”
Di mata temannya yang lain, Kirno, Elly adalah sosok yang lugu, disiplin, baik, dan rajin. “Kadang-kadang saya minta dipijat olehnya. Enak sekali, pijitannya benar. Langsung hilang pegelnya,” ujar Kirno.
Baik Kirno dan Slamet sendiri paham bahwa yang sebenarnya mereka hadapi setiap harinya adalah seorang mantan juara dunia. Elly adalah saksi sekaligus pilar yang menjadikan dunia olahraga Indonesia demikian perkasa pada era 1980 hingga awal 1990-an.
Pada periode waktu tersebut, dunia mengenal nama Icuk Sugiarto serta Lim Swie King yang merebut gelar nomor satu di ajang Kejuaraan Dunia Bulutangkis dan membawa Indonesia meraih Piala Thomas dan Piala Sudirman pertama. Pada 1988, Indonesia pun untuk pertama kali dalam sejarah merebut medali di ajang Olimpiade melalui empat srikandi panahan.
Tahun 1987 juga istimewa bagi para pecinta sepak bola, karena pada tahun itu lah Indonesia untuk pertama kali, dan hingga saat ini sekali-sekalinya, merebut emas di gelaran Sea Games.
Namun, di antara semuanya, kesuksesan Elly di atas kanvas tinju bisa dikatakan yang paling fenomenal. Elly adalah yang pertama dan yang membuka gerbang pintu bahwa dunia tinju Indonesia bisa berdiri sejajar dengan negara lain. Ia adalah preseden yang membuka jalan bagi Nico Thomas, M. Rachman, Chris John, dan Daud Yordan untuk mencatatkan nama sebagai juara tinju dunia dari Indonesia.
Ketika Elly mempertahankan gelar juara dunia pada 3 Mei 1985 melawan Ju Do Chun di hadapan publik Istora Senayan, demam Pical melanda Indonesia. Tak tanggung-tanggung, uppercut kiri Elly pun disetarakan dengan Exocet, peluru kendali buatan Perancis.
Di era 1980-an, nama rudal Exocet pernah mendunia karena menjadi hantu bagi pemerintah Inggris yang sedang berperang dengan Argentina untuk memperebutkan Kepulauan Malvinas. Hantaman Exocet-lah yang pada 4 Mei 1982 membuat salah satu kapal perang Inggris rusak dan tak berdaya.
Perbedaan generasi membuat saya tak pernah menyaksikan secara langsung hantaman Exocet-nya Elly pada Ju Do Chun, Hee Yun Chun, Matsuo Watanabe, atau Wayne Mulholland – para petinju yang gagal menganvaskan dan merebut gelar juara Elly. Tapi, saya membayangkan bahwa tangan kirinya itu tak kalah dashyat dengan rudal yang membuat Inggris merana.
Ingatan saya kembali kepada Kirno dan apakah ia paham bahwa tangan kiri yang memijatnya itu setara dengan penghancur kapal perang.
***
"Ronde kedua" saya melawan Elly didukung oleh cuaca sejuk. Cuaca tidak lagi terik panas seperti pertemuan seminggu sebelumnya karena awan memayungi saya dari sinar matahari meski saat itu tengah hari.
Kirno merupakan salah seorang sahabat dekat Elly. Ketika saya dipersilahkan masuk ke ruangannya, Elly yang sedang duduk di kursi sahabatnya itu lagi-lagi kaget melihat saya.
Nampaknya ia sudah hafal dengan perawakan laki-laki bertinggi badan 190 cm, berkumis, dan berrambut pendek yang mengincarnya untuk buka mulut seminggu yang lalu. Elly sontak berpindah tempat ke samping ruangan yang dibatasi oleh pintu geser.
Banyak anggapan yang muncul di kalangan wartawan tentang ketidakmauannya untuk diwawancarai. Beberapa berujar bahwa latar belakang pendidikan yang tidak sempat lulus jenjang sekolah dasar membuatnya kikuk dan kurang percaya diri.
Selain bekerja sebagai pegawai TU, Elly sendiri masih memiliki keterkaitan dengan olahraga bela diri. "Dia suka olahraga Muay Thai. Di luar jam kerja dua kali seminggu sore hari," ucap Kirno.
Elly senang dengan segala jenis makanan. Namun yang menjadi favoritnya menurut Kirno adalah lontong sayur, mie ayam, segala jenis ikan, dan sop iga. Sedangkan untuk minumannya, cukup teh manis atau air putih. Yang ia tidak sukai adalah ayam dan kopi. Seorang penjual rujak, Paimin, menambahkan bahwa Elly juga suka makan barang dagangannya.
Pukul tiga sore hari Rabu (4/2) itu, Elly berjalan ke arah kantin. Sepanjang jalan, tak sedikit orang yang menyapanya. Elly terlihat bergurau dengan tukang gorengan sejenak, dan kemudian kembali ke arah gedung. Dengan rambut pekat hitam yang tersisir rapih ia berjalan dengan tegap dengan tempo berjalan agak cepat dan tangan diayun. Sisa-sisa seorang juara dunia masih terlihat di tubuhnya yang selalu bergerak gesit dan terlihat jarang lelah.
Tatapan matanya tajam dan bibirnya seringkali tak menahan senyum dan bersikap ramah jika melihat seorang kawan.
Satu buah cincin batu bacan putih terpasang di jari manis tangan kirinya. Kalau ada rezeki, Elly juga sering berbagi batu kepada teman-temannya seperti batu jenis lumut aceh, bacan aceh, atau teh kecubung asap.
"Waktu itu juga pernah seruangan TU ditraktir bakmi," kata Karmiyo yang juga dekat dengan 'Pak Kumis', sebutan akrabnya kepada Elly.
Sebagai karyawan TU, sehari-hari Elly mengenakan baju kerja berwarna putih, membawa tas kecil yang ia silangkan di dadanya. Di kantong dadanya terdapat telepon genggam. Sepatu karet santai berwarna hitam yang tetap menunjukkan kesopanan menjadi pilihan untuk digunakan bekerja.
Sekembalinya ke dalam gedung, Elly tak lagi terlihat. Hingga pukul setengah lima sore, hari itu Elly tidak terlihat keluar dari pintu lobi biasanya di lantai satu. Pendengarannya memang terganggu akibat menyelam dan bicaranya pun tak begitu jelas, namun pandangannya masih sangat baik.
Tampaknya seorang Ellyas Pical selalu menyadari keberadaan saya dan berhasil menghindar. Elly pun memenangi "Ronde Kedua.”
(vws)