Jakarta, CNN Indonesia -- Cita-cita PT. Liga sangat sederhana, membuat semua klub peserta Liga Super Indonesia dalam beberapa tahun mendatang bisa mengakhiri kompetisi dengan status surplus dalam kondisi finansial mereka.
Namun cita-cita yang sederhana itu tak akan mudah diwujudkan semudah membalikkan telapak tangan. Jalan panjang dan terjal menanti dan PT.Liga beserta klub-klub peserta Liga Super Indonesia harus bekerja keras untuk mewujudkannya.
Secara sederhana, bisa dilakukan simulasi untuk menghitung dan pendapatan-pengeluaran klub-klub agar tak merugi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai patokan awalan untuk hitung-hitungan, mari gunakan rincian ideal pendapatan Manchester United sebagai salah satu klub terkaya di dunia. Bukan mengenai nominal, namun presentase pos-pos pendapatan.
Berdasarkan laporan The Guardian, United mendapatkan pemasukan dengan porsi 40 persen dari sponsor dan merchandise, 30 persen dari tiket penonton, dan 30 persen lainnya dari hak siar.
Dengan proporsi tersebut, maka tidak ada satu sektor pendapatan yang lebih dominan sehingga jika satu sektor tiba-tiba terkena masalah, klub tidak akan langsung terkena imbasnya seperti halnya yang terjadi pada Persik Kediri ketika mengalami masalah dengan Gudang Garam.
Asumsi pos-pos pendapatan itu kemudian coba diaplikasikan oleh
CNN Indonesia pada lalu lintas pendapatan dan pengeluaran klub-klub di Indonesia.
Pola penghitungan menggunakan simulasi jika Liga Super Indonesia hanya diikuti oleh 14 tim yang berarti tim yang ikut adalah tim yang lebih terseleksi dibandingkan kuota 18 tim yang ada saat ini.
PT Liga sendiri tidak menutup kemungkinan bahwa di masa depan, bisa saja Liga Super Indonesia diikuti oleh hanya 14 tim jika memang dirasa jumlah itulah merupakan jumlah ideal untuk syarat sebuah sehatnya kompetisi.
Untuk pos pengeluaran tiap tim, bisa dibagi menjadi tiga kategori yaitu penyelenggaraan partai kandang, tur untuk partai tandang, dan gaji pemain.
Menghitung Pengeluaran IdealJika menarik angka 300 juta rupiah sebagai uang yang harus dikeluarkan untuk satu kali penyelenggaraan partai kandang, tiap tim harus mengeluarkan biaya sebesar total Rp 3,9 miliar dalam satu musim kompetisi untuk alokasi partai kandang.
Kedua, untuk partai tandang. Walaupun Indonesia terdiri dari kepulauan yang berarti tiap tur tandang pasti menghasilkan pengeluaran yang berbeda-beda, mari sepakat mengambil nilai tengah sekitar Rp 181,5 juta untuk sebuah tim melakoni laga tandang, termasuk tiket transportasi, hotel, makan, dan lain-lain.
Dengan pengeluaran sebesar Rp 181,5 juta untuk sekali laga tandang, maka klub harus menggelontorkan uang senilai Rp 2,35 miliar selama satu musim kompetisi.
Ketiga, gaji pemain. Pos ini adalah pos terbesar perihal pengeluaran sebuah tim.
Klub di Liga Super Indonesia sendiri memiliki rataan gaji berbeda-beda, mulai dari kisaran belasan hingga nyaris menyentuh angka 30 miliar rupiah. Namun dalam simulasi ini, angka yang akan digunakan adalah Rp 20 miliar yang dianggap sebagai angka rata-rata total gaji sebuah klub Indonesia.
Jika ketiga pos pendapatan tersebut dijumlahkan, maka sebuah klub harus memiliki dana sebesar Rp 28,85 miliar untuk menjalani kompetisi semusim penuh.
Angka 28,85 miliar rupiah itu jika kemudian dibagi dalam proposi pendapatan seperti yang dimiliki United, maka seharusnya tiap klub di Indonesia setidaknya mendapat 11,54 miliar rupiah (40 persen dari sponsor dan merchandise), 8,65 miliar rupiah (30 persen dari tiket penonton), dan 8,65 miliar rupiah (30 persen dari hak siar).
Hasil Tiket yang Jauh dari IdealAngka-angka yang terpapar di atas kemudian semakin menarik jika dipaparkan menjadi prakiraan pemasukan, agar tidak ada klub yang merugi.
Misal untuk tiket pertandingan dengan tiap klub setidaknya ditargetkan mendapat Rp 8,65 miliar. Hal ini berarti mereka harus meraup pendapatan berkisar 665 juta rupiah di setiap pertandingan (dibagi jumlah 13 pertandingan kandang semusim).
Jika rata-rata tiap pertandingan kandang dihadiri 15 ribu penonton dengan harga tiket dipukul rata, maka tiap penonton harus membayar 44 ribu rupiah untuk bisa mencapai target 665 juta rupiah dalam satu kali pertandingan.
Padahal, rata-rata harga tiket di Liga Super Indonesia sendiri ada di kisaran 25 ribu. Jika harga 25 ribu yang dijadikan patokan, maka stadion harus dipenuhi oleh 26.600 orang dalam tiap pertandingan kandang.
Hal ini kemudian kembali menemukan masalah pelik jika mengacu pada data dari Liga Indonesia bahwa rata-rata jumlah penonton pada musim lalu hanya ada di angka 8.400 penonton.
Hal ini berarti harga tiket memang harus dinaikkan jika ingin pendapatan tiket bisa mencapai angka ideal.
Hak Siar yang Butuh PeningkatanSoal hak siar, dengan menggunakan metode penghitungan di atas, maka nilai minimal yang harus diterima klun adalah Rp 8,65 miliar. Sayangnya, untuk musim ini, hak siar yang didapatkan tiap klub baru ada di angka Rp 2,5 miliar.
Artinya, klub-klub di Indonesia masih belum bisa mendapatkan jumlah ideal.
Tugas dari PT. Liga dan klub-klub agar mereka bisa lebih bisa menjual diri mereka dengan harga lebih tinggi ketika menawarkan hak siar sehingga porsi pembagian keuntungan nantinya bisa lebih besar.
Sponsor yang Tak PastiDi Liga Super Indonesia, sponsor memegang porsi terbesar dalam pendapatan setiap klub, bisa menyentuh total 80 persen dari total pendapat klub tersebut.
Namun jumlah yang didapat klub-klub di Liga Super Indonesia jelas bervariasi. Ada klub yang bisa mendapat nilai kontrak sponsor hingga lebih dari 20 miliar rupiah namun tak sedikit pula sponsor yang kesulitan mendapatkan nilai kontrak sponsor 'untuk sekadar' di angka belasan miliar rupiah.
Padahal, jika menggunakan metode penghitungan yang dijabarkan di atas, setidaknya klub harus bisa mendapatkan Rp 11,54 miliar dari sponsor. Dan karena dua pos lainnya belum bisa diandalkan, maka tiap klub otomatis harus bisa meraih lebih banyak pemasukan dari sponsor.
Pengorbanan Pemilik, Pemilik Saham, hingga DonaturPerhitungan di atas jelas memperlihatkan betapa sulitnya jalan yang harus ditempuh oleh klub-klub di Indonesia untuk mendapatkan surplus di akhir kompetisi atau sekedar mencapai titik impas.
Jika perhitungan di atas tidak dapat diwujudkan, maka yang kemudian terjadi kembali adalah pengorbanan dari pemilik klub, pemilik saham, atau donatur di akhir kompetisi.
Mereka harus merogoh kocek mereka untuk menambal kekurangan dana yang dibutuhkan oleh tim di akhir kompetisi.
Meski pada akhirnya klub tersebut mampu menyelesaikan kompetisi, namun dari segi manajemen keuangan, mereka kembali gagal untuk bisa membentuk neraca keuangan yang sehat bagi klub mereka.
(ptr)