Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Piala Thomas diprakarsai oleh Sir George Alan Thomas dari Inggris, pun begitu halnya dengan Piala Uber oleh Betty Uber. Namun Inggris sama sekali tidak pernah merasakan manisnya mengangkat dua trofi tersebut.
Piala Sudirman lahir tiga dekade setelah kemunculan Piala Thomas dan Uber. Piala Sudirman ini diambil dari nama Dick Sudirman, pendiri PBSI dan juga orang yang banyak berperan di Federasi Bulu Tangkis Dunia (IBF).
Berbeda dengan Inggris yang tidak pernah mengecap manisnya menjadi juara Piala Thomas dan Uber, Indonesia secara meyakinkan langsung menjadi juara Piala Sudirman di edisi pertama turnamen yang berlangsung pada tahun 1989.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kejayaan Indonesia di ajang beregu campuran ini terhenti sampai di titik itu saja. Pada 2015 ini, Indonesia memiliki kesempatan terakhir untuk mengakhiri puasa prestasi di Piala Sudirman selama seperempat abad.
Jika pada edisi kali ini Indonesia kembali gagal menjadi pemenang, maka resmi sudah Piala Sudirman tidak pulang ke Tanah Indonesia selama 26 tahun. Sebuah durasi yang lama jika melihat status Indonesia sebagai negara bulu tangkis dan dengan turnamen yang digelar dua tahun sekali.
Namun, melihat materi tim saat ini, harapan untuk bisa membawa pulang Piala Sudirman sepertinya butuh perjuangan yang sangat keras di lapangan.
Mengandalkan GandaDi atas kertas, Indonesia bukan lagi negara yang berada di garis terdepan dalam daftar negara favorit di ajang Piala Sudirman ini. Hal itu terlihat dari fakta bahwa Indonesia bahkan tidak masuk dalam daftar empat unggulan teratas.
Jika melihat materi pemain, Indonesia saat ini benar-benar memiliki selisih besar dengan negara-negara lain di nomor tunggal dan bakal menggunakan nomor ganda sebagai andalan.
Di nomor tunggal putra, Indonesia memilih untuk meninggalkan nama-nama berpengalaman seperti Simon Santoso dan Tommy Sugiarto dan memilih untuk mempercayakan nomor tunggal putra pada tiga nama muda, Jonatan Christie, Ihsan Maulana Mustofa, dan Firman Abdul Kholik.
Untuk nomor tunggal putra, Indonesia diisi oleh dua pemain berpengalaman Bellaetrix Manuputty dan Linda Wenifanetri, namun mereka saat ini masih kalah kelas dibandingkan tunggal putri dari negara-negara lainnya.
Otomatis, tumpuan terbesar Indonesia untuk mendapatkan poin ada pada tiga nomor ganda, ganda putra, ganda putri, dan ganda campuran.
Indonesia memiliki Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan di nomor ganda putra, Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari di ganda putri, dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir di ganda campuran.
Meski tiga ganda ini masuk dalam kategori ganda papan atas, namun jaminan poin tidak akan mutlak selalu datang dari mereka, terutama jika Indonesia menghadapi negara-negara favorit lainnya.
Tiga ganda yang dimiliki Indonesia saat ini memang kuat, namun tidaklah sampai disebut benar-benar dominan dalam persaingan di level dunia sehingga datangnya poin bukanlah sebuah garansi yang pasti.
Baca Juga:
Kisah Susi Susanti yang Menjadi Andalan Indonesia Saat Meraih Satu-Satunya Piala Sudirman Moh. Ahsan dan Hendra Setiawan akan main pertama jika lawan Indonesia tidak menggunakan rangkap pemai. (Dok. PBSI) |
Format yang Tak MenguntungkanFormat susunan pertandingan Piala Sudirman sendiri membuat posisi Indonesia di turnamen kali ini menjadi makin tidak diuntungkan.
Jika tidak ada pemain yang main di dua nomor, maka format pertandingannya secara berturut-turut adalah ganda putra, tunggal putri, tunggal putra, ganda putri, dan ganda campuran.
Dengan mengasumsikan dua nomor tunggal sulit mendapatkan poin, maka nomor ganda putra yang jadi partai pembuka harus bisa memastikan diri untuk menjadi penyumbang poin.
Namun, jika nomor ganda putra kalah, maka ada kekhawatiran Indonesia langsung bakal kalah di tiga pertandingan awal sehingga dua partai terakhir, ganda putri dan ganda campuran tidak lagi perlu dipertandingkan.
Peluang mengubah format pertandingan agar dua nomor ganda dimainkan di tiga pertandingan awal bisa saja dilakukan, andai Indonesia melakukan rangkap pemain. Namun hal itu terlalu berisiko, mengingat Indonesia akan mengutak-atik nomor ganda ketika nomor ganda adalah nomor yang lebih diandalkan di Kejuaraan ini.
Jelas bukan sebuah pilihan yang terbilang baik, terlebih saat ini tidak ada pemain Indonesia yang secara serius dan reguler bermain di dua nomor pada turnamen-turnamen individu. Niatan untuk memajukan dua nomor ganda di tiga pertandingan awal malah bisa jadi bumerang karena berpeluang merusak komposisi kekuatan.
Dua tahun lalu, Indonesia sempat melakukan rangkap nomor yaitu ketika Liliyana Natsir bermain di nomor ganda campuran dan ganda putri. Hasilnya, Indonesia 'berhasil' memaksa Tiongkok bersusah payah sebelum akhirnya mereka mengalahkan Indonesia dengan skor 3-2.
Namun situasi saat itu berbeda dengan kondisi sekarang. Saat itu, Indonesia memang benar-benar kalah di atas kertas dari Tiongkok sehingga strategi itu merupakan sebuah perjudian yang mesti dilakukan.
Jika strategi seperti itu kembali dilakukan saat ini, maka Indonesia harus mengorbankan duet Greysia/Nitya yang dalam beberapa bulan belakangan ini secara nyata bisa melakukan perlawanan sengit menghadapi ganda-ganda elit dunia.
Belum lagi mengacu fakta kondisi stamina Liliyana yang semakin berumur harus jadi perhatian. Dan, dalam strategi rangkap pemain, Liliyana menjadi pemain yang paling mungkin digunakan dua kali.
Dengan demikian, harapan Indonesia untuk mendapatkan susunan dua partai ganda dimainkan di tiga pertandingan awal adalah dengan berharap calon negara lawan melakukan rangkap pemain.
Situasi akan menjadi lebih mudah bagi Indonesia jika nomor tunggal, putra dan putri, yang diharapkan tampil nothing to lose dan tanpa beban, berhasil membungkam suara-suara yang meremehkan keberadaan mereka dalam tim ini dan menyumbangkan poin.
Bila berhasil dilakukan, maka peluang Indonesia untuk memenangkan pertandingan-pertandingan yang ada di depan mata akan semakin terbuka lebar.
Ini adalah kesempatan terakhir Indonesia untuk menggagalkan tak pulangnya Piala Sudirman ke Tanah Indonesia selama seperempat abad.
Dan jika Indonesia gagal pada kesempatan kali ini, maka Piala Sudirman akan makin menyerupai Piala Thomas dan Piala Uber, Piala yang tak pernah dimiliki oleh negara tempat dimana nama Piala tersebut berasal.
(ptr)