LIPUTAN KHUSUS

Beda Bonek Dulu dan Sekarang di Mata 'Veteran'

Arby Rahmat | CNN Indonesia
Rabu, 09 Sep 2015 10:45 WIB
Sejarah Bonek tak selamanya soal aksi demonstrasi, tapi juga memiliki catatan kelam persaingan dengan musuh bebuyutan mereka, Aremania.
Tubagus Dadang Kosasih, seorang bonek veteran ketika ditemui di Wisma Persebaya, Surabaya, pada Kamis (3/9). (CNN Indonesia/M. Arby Putratama)
Surabaya, CNN Indonesia -- Tubagus Dadang Kosasih adalah seorang laki-laki asal Sawalian, Surabaya, yang telah puluhan tahun mendukung Persebaya bersama arek-arek Bondo Nekat (Bonek) -- sebutan untuk pendukung Persebaya.

Pria berusia 59 tahun yang akrab dipanggil Dadang mengalami banyak momen bersama Persebaya, bahkan ketika Bonek belum 'ada'.

"Kalau zaman saya, zamannya orang lama-lama. Zamannya Mas Bodro, Abdul Kadir, dan lain-lain. Dulu yang namanya Bonek belum tercipta, sebatas suporter aja, belum mempunyai wadah," tutur Dadang kepada CNN Indonesia di Wisma Persebaya, Kamis sore (3/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Nama Bonek sendiri memang baru tercipta pada pertengahan 1980-an. Menurut sejarawan Gerson Sumolang, nama itu diberikan oleh harian Jawa Pos kepada para pendukung Bajul Ijo. Bagi Dadang, bukan hanya nama saja yang menjadi pembeda bonek dulu dan sekarang, tapi juga bagaimana mereka beraksi di tribun stadion.

"Dulu lihat pertandingan ya lihat saja, setelah itu pulang. Tapi kalau sekarang kulturnya sudah beda. Kalau dulu tertib, kalau sekarang sampai Gelora (Bung Tomo) saja dipanjat.

Perbedaan lain yang ia rasakan adalah masalah gontok-gontokan dengan suporter lawan, terutama musuh bebuyutan Persebaya, Arema Malang. Menurut Dadang, dahulu tidak ada pertikaian fisik atau pertumpahan darah seperti sekarang.  

"Kalau dulu mobil Arema keluar-masuk Stadion 10 November di Tambak Sari tidak ada aksi lempar-lempar batu," kata Dadang. "Kalau sekarang beda, nyawa dibuat mainan. Perbedaannya di situ, sangat drastis sekali."

Seperti halnya Persija dan Persib, Arema dan Persebaya memang terkenal memiliki jejak permusuhan yang terentang selama lebih dari 20 tahun terakhir.

Semula rivalitas ini bermula dari era Galatama yaitu saat Arema dan Niac Mitra (Surabaya) berlaga di kompetisi yang sama. Persebaya sendiri main di kompetisi Perserikatan dan Persema Malang di divisi di bawahnya. Kemudian mulai terjadi konflik ketika Persebaya dan Arema bertemu di era Liga Indonesia yang dimulai pada 1993/1994.

Namun Dadang punya pandangan berbeda. Menurutnya rivalitas antara Arema dan Persebaya sendiri tak melulu soal sepak bola, tapi juga merambah ke bidang musik. Kedua kota, dikatakan Dadang, saling mengaku sebagai gudang musik rock.

"Kalau berbicara bahwa ini hal buruk, ya buruk," katanya. "Tapi kalau berbicara mempersatukan Arema dan Persebaya, tidak akan ketemu."

Dua Persebaya dari Surabaya

Dalam dua tahun terakhir tak ada lagi "pertempuran" antara Bonek dan Aremania -- sebutan untuk suporter Arema -- terutama karena mayoritas Bonek memang tidak menginjakkan kaki lagi ke dalam stadion. (Baca Juga: Bonek Mengubur Kerinduan pada Sepak Bola Dalam-dalam)

Persebaya yang eksis sejak 1927 ini kini terbagi menjadi dua yakni Persebaya dari PT Persebaya Indonesia dan Persebaya dari PT Mitra Muda Inti Berlian (MMIB). Bonek pun menjadi ikut terbagi dua, ada Bonek 1927 (PT Persebaya Indonesia) dan Bonek Persebaya Surabaya (PT MMIB).

Dadang menilai kalau jati diri Persebaya kini telah dirampok sejak 2010 ketika Persebaya dari PT MMIB muncul. Ia mengklaim bahwa seluruh masyarakat Surabaya dan bahkan Jawa Timur mengetahui bahwa Persebaya Surabaya hanya yang berasal dari Karang Gayam, Surabaya, tempat Wisma Persebaya berdiri.

Sebelum Persebaya terbagi dua, aktifitas Persebaya memang dilakukan di Karang Gayam. Sampai sekarang foto-foto dan piala-piala prestasi Persebaya disimpan di wisma tersebut.

Kini suasana di sana sepi. Lantai dua wisma tak terurus dan kosong, beberapa piala terlihat berdebu, serta kamar tempat para pemain Persebaya tinggal pun tak berhuni. Padahal, dahulu di tempat itulah Persebaya menciptakan pemain-pemain nasional.

"2010 kita udah pisah. Di sana Bonek Pemuda Pancasila (PP), di sini Bonek 1927 yang punya sejarah. Kalau dulu kita bersatu. Sekarang jumlah Bonek perbandingannya 80 (1927) : 20 (MMIB)," ujar Dadang.
 
"Tapi apapun alasannya, saya yakin di hati kecil mereka tetap cinta persebaya. Mereka terlahir dari sini. Kita sudah berusaha bersatu, tapi ndak akan ketemu." (Baca Juga: Bonek MMIB: Ini Persebaya yang Sebenarnya)

Dua tahun lebih Bonek 1927 tidak menonton bola, Dadang bahkan menganggap diplomasi tidak bisa menjadi jalan keluar. Secara pribadi Dadang sebenarnya tidak bermasalah dengan adanya dua klub sepak bola di Surabaya, yang penting jangan mengatasnamakan Persebaya dan menggunakan logo Persebaya karena menurutnya yang punya legalitas itu adalah Persebaya 1927.

"Kalau di Surabaya ada dua tim, mau bikin pake nama Surabaya United atau Surabaya Football Club, ya silakan. Asal jangan nama Persebaya, haram untuk kita di sini. Kita sudah dizalimi seperti ini, harusnya tidak seperti ini kejadiannya," katanya.

(vws)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER