Subaraya, CNN Indonesia -- Sejarawan asal Surabaya, Dhahana Adi, mengingatkan agar para pecinta klub sepak bola Persebaya tidak larut dalam prestasi masa lalu dan fokus mencari solusi permasalahan dualisme di tubuh klub tersebut.
Dualisme yang terjadi dalam Persebaya seakan menjadi noda dalam sejarah sepak bola Surabaya. Sejarah juga terkadang dijadikan alat pendukung asumsi masing-masing pihak yang berseteru.
Sejarawan yang akrab dipanggil Ipung ini mengingatkan bahwa penyelesaian konflik dualisme tidak boleh merugikan siapa pun dan agar jangan menafikkan sejarah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nilai dan kebanggaan dari Surabaya harus tetap ada sebagai sebuah bentukan identitas yang egaliter," kata Ipung kepada CNN Indonesia di C2O Library & Collabtive, Rabu petang (2/9).
Menurutnya salah satu konsekuensi penyelesaian masalah itu adalah putusnya mata rantai sejarah salah satu Persebaya. Ipung memandang bahwa hal ini lumrah terjadi di berbagai bidang, salah satunya adalah di perfilman nasional.
"Tapi bukan berarti nilai-nilai yang ada di dalamnya hilang. Untuk pendewasaan, sebuah konsep memang harus bergerak maju, tapi yang dipentingkan adalah nilai pokok sejarah,"
Sebagai sejarawan dan penulis buku
Surabaya Punya Cerita yang sudah 30 tahun tinggal di Surabaya, Ipung memberikan usul agar konflik dualisme diselesaikan dengan cara Surabaya, yaitu duduk bersama.
Menurutnya manajemen Persebaya bisa mengumpulkan beberapa elemen masyarakat entah itu komunitas, anak muda, stakeholder (pemerintah kota), pemerhati sejarah hingga budayawan.
"Jadi di situ duduk bareng dan dirumuskan dari kacamata sejarah, ketatakotaan, budaya, dan suporter (bonek). Diambil jalan tengah tanpa melupakan bahwa Persebaya merupakan identitas tersendiri bagi kota Surabaya.
"Persebaya adalah Surabaya dalam bentuk olahraga," ujar Ipung.
Bagi Ipung, elemen sejarah bukan hanya dibutuhkan dalam penyelesaian konflik tapi juga dibutuhkan untuk bonek, atau suporter Persebaya 1927.
Di matanya, minim edukasi mengenai sejarah atau pemahaman terbentuknya Surabaya juga menjadi persoalan bagi Bonek. Hal ini lalu mengakibatkan Bonek memahami Persebaya hanya sebatas kebanggaan dan identitas, tapi bukan makna Persebaya sebagai representasi olahraga kota Surabaya.
Ipung juga memandang nilai-nilai sejarah ini yang bisa membuat sense of belonging Bonek akan menjadi lebih terarah, dan bukan hanya sekadar nekat.
"Ke depannya, kalau dikemas lebih baik atau lebih elegan tentu ketimbang lebih baik ketimbang yang sekarang."
"Jadi permasalahannya adalah karena nilai-nilai sejarah itu tidak pernah dikaji atau diajarkan atau ditularkan," katanya.
(vws)