Jakarta, CNN Indonesia -- Sebelum Serena Williams muncul dan mendominasi dunia tenis, ada nama Steffi Graf. Petenis wanita asal Jerman itu dikenal sebagai mesin yang memproduksi kemenangan demi kemenangan di era 1980-1990-an. Ia adalah nama pertama yang akan selalu diperbandingkan dengan Serena, ketika pertanyaan ‘Siapa petenis wanita terbaik sepanjang masa?’ dilontarkan.
Tapi sulit untuk membandingkan atau mengukur kehebatan Graf sebenarnya karena petenis Jerman itu memang tak pernah benar-benar ‘habis’.
Graf, petenis yang merebut 22 gelar grand slam sepanjang kariernya, memutuskan gantung raket di usia 30 tahun. Ketika ia masih menduduki peringkat tiga dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia pensiun hanya beberapa pekan setelah melaju ke final Wimbledon. Hanya berselang dua bulan dari gelar grand slam terakhirnya di Perancis Terbuka 1999. Dan hanya berselisih dua gelar dari rekor Margaret Court sebagai pengoleksi grand slam sepanjang masa dengan 24 kali juara.
Ia berhenti ketika belum saatnya ia harus berhenti.
Bagi kebanyakan atlet, usia 30 memang dianggap bukan masa keemasan. Tapi tentu juga hal itu bukan kartu mati, atau alasan saklek untuk memutuskan pensiun.
Roger Federer mendapatkan grand slam terakhirnya di usia 31 tahun, sementara Serena Williams membidik
Calendar Grand Slam di usia 33 tahun. Serena pada akhirnya memang gagal, tapi tiga gelar grand slam yang ia dapatkan pada 2015 membuktikan bahwa pasca-30 tahun bukanlah masa-masa mengerikan.
Tapi Graf berhenti begitu saja. Ia kehilangan motivasi dan baginya daya tarik dunia tenis yang telah ia kenal sejak usia tiga tahun telah memudar.
“Saya telah melakukan semua yang ingin saya lakukan di dunia tenis. Saya tak punya apa-apa lagi untuk dicapai,” kata Graf ketika memutuskan untuk pensiun.
Dan dengan diiringi kata-kata itu, dunia tak pernah lagi tahu sejauh apa Graf bisa melangkah. Ia memang tak pernah benar-benar memudar dan habis. Hanya berhenti bergerak.
**Sebagaimana tim nasional Jerman sering kali diibaratkan dengan analogi mesin diesel, demikian pula dengan Graf. Di atas lapangan, ia memiliki kecepatan kaki yang mengagumkan, kekuatan
forehand satu tangan yang akurat dan mematikan, dan juga mental pemenang yang telah diterpa oleh ayahnya yang obsesif sejak ia berusia tiga tahun.
Di luar lapangan ia nyaris tak punya kehidupan. “Saya hanya memikirkan tenis, tenis, dan tenis,” kata Graf dalam buku biografinya.
Tak semuanya karena keinginannya sendiri. Ayahnya, Peter, akan menentukan seluruh jadwal kegiatannya dan bahkan dengan siapa Graf akan berteman.
Sebelum ia menikah dengan Andre Agassi, hanya ada satu tujuan dalam hidup Graf, yaitu menguasai tenis. Baru di kemudian harilah dunia mengenalnya sebagai seorang istri, dan kemudian seorang ibu.
Di pengujung kariernya, Graf menjadi petenis dengan grand slam terbanyak di era terbuka. Ia memenangi 107 gelar (Serena 69) dan juga 900 pertandingan. Hingga saat ini, rekornya menjadi petenis nomor satu dunia terlama selama 377 pekan juga belum tergoyahkan.
Ia telah memenangi setiap grand slam setidaknya empat kali dan raihannya pada 1988 nyaris tak mungkin terulang kembali: Australia Terbuka, Perancis Terbuka, Wimbledon, AS Terbuka, dan emas Olimpiade.
Ia melakukannya dengan bermain dominan dan jarang sekali menyerahkan bahkan satu game pun. Di puncak kejayaannya, Graf memenangi Perancis Terbuka dengan skor 6-0 6-0 -- pertama kalinya dalam sejarah, seorang finalis Perancis Terbuka tidak merebut satu game.
**Masalah kedua dalam mengukur seorang Steffi Graf adalah Monica Seles.
Seles adalah petenis yang pada usia 16 tahun mengantarkan dua kekalahan pada Graf (1990) dan mengakhiri perjalanan 66 kali menang secara beruntun milik Graf. Dari
baseline, Seles akan memukul bola lebih keras dan meruntuhkan mental Graf.
Dari 1990-1993, Seles memenangi sembilan grand slam sebelum ia berusia 20 tahun. Ia adalah fenomena yang telah menjatuhkan Graf dari singgasananya.
Akan tetapi seorang penggemar Graf yang gila melakukan aksi brutal yang mengubah sejarah tenis wanita: menusuk Seles ketika ia sedang bermain tenis. Karena peristiwa itu Seles kemudian absen 27 bulan dan tak pernah lagi menunjukkan pukulan-pukulan terbaiknya
Meski tetap berada dalam jajaran lima petenis terbaik di dunia berdasarkan ranking WTA, Seles hanya pernah memenangi satu grand slam lagi, yaitu Australia Terbuka 1996.
Peristiwa penusukan tersebut membuat Graf mendapatkan sedikit kelonggaran. Ketika saingan terberatnya tak ada, Graf pun mampu mengoleksi enam grand slam tambahan pada era 1993-1999.
Tak heran hingga kini selalu muncul pertanyaan, apa yang akan terjadi jika Seles tak ditusuk? Apakah ia akan benar-benar mengakhiri era Graf, atau Graf mampu memberikan jawaban dan tetap merebut 22 grand slam sepanjang kariernya?
Apa boleh bikin, mengukur Steffi Graf memang bukan perkara yang gampang.
(vws)