Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi Harry Edwards, seorang penulis buku "Revolusi Atlet Kulit Hitam", berbagai pencapaian yang dilakukan Serena Williams di dunia tenis adalah tonggak sejarah baru di dunia olahraga.
Williams adalah peraih 21 belas grand slam. Ia adalah wanita kedua sepanjang sejarah tenis di era terbuka yang mampu mengumpulkan gelar grand slam terbanyak. Ia juga wanita kulit hitam pertama yang namanya disejajarkan dengan legenda seperti Martina Navratilova, Steffi Graf, atau Margaret Court.
Menurut Edwards, sebagaimana dikutip dari Bloomberg, pencapaiannya ini terlihat demikian hebat, terutama jika melihat hal-hal yang harus ia terima sebagai seorang atlet.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ia harus menghadapi kenyataan bahwa citra dirinya tidak memenuhi ukuran penilaian para ahli pemasaran atau pengiklan," ujar Edward. "Namun, ia tidak pernah kehilangan kebanggaan atas dirinya sendiri, atau mengalami rendah diri. Dan hal ini sangat berarti bagi para gadis remaja minoritas, atau para wanita pada umumnya."
Dari para sponsor, Williams hanya mengumpulkan uang US$12 juta, sementara petenis Rusia Maria Sharapova mampu mendapatkan US$23 juta dan petenis Tiongkok, Li Na, meraih US$15 juta.
Nilai yang diterima Williams hanya berselisih US$1 juta dari Caroline Wozniacki, petenis Denmark yang belum pernah memenangi satu pun gelar grand slam.
Menurut Jim Andrews, seorang wakil presiden senior untuk satu perusahaan konsultan pemasaran, sponsor tradisional sendiri lebih senang dengan atlet wanita yang memenuhi kriteria standar kecantikan: berkulit putih dan berambut pirang.
Namun, apa yang tidak didapatkan oleh Serena dari para sponsor, ia tebus di lapangan. Serena sendiri tercatat sebagai salah satu petenis wanita peraih uang hadiah terbanyak sepanjang sejarah, yaitu mengumpukan total US$74 juta.
Nilai ini nyaris dua kali lipat dari Sharapova di tempat kedua yang mendapatkan US$35,8 juta.
Menerjang StereotipeMenjadi petenis nomor satu di dunia tidak mudah dilakukan Williams. Ia tak hanya harus bertanding di atas lapangan, tapi juga bertarung melawan perlakuan rasialisme dan cap-cap stereotipe lainnya.
Salah seorang kolumnis dari New Yorker, Ian Crouch, berpendapat bahwa Williams sering kali digambarkan sebagai petenis yang emosional dan mengumbar kata-kata kasar.
Sikapnya yang sering meminta wasit untuk meninjau ulang keputusan, atau seperti merendahkan lawan-lawannya dalam sesi wawancara, membuat ia tak pernah jadi petenis kesayangan Amerika Serikat.
Williams dianggap urakan, kasar, dan pemarah, tiga kriteria yang masih bisa diterima dalam diri petenis pria, namun tidak termaafkan jika terdapat pada diri wanita.
Cemoohan terhadap fisiknya juga kerap menyertai langkah Serena.
Komentar-komentar seperti: "lihat ototnya, ia pasti menggunakan steroid," atau "jika ia laki-laki, pasti ia adalah anak Barack Obama," atau nada yang meragukan bahwa ia adalah seorang perempuan sering kali dilontarkan, entah itu di media sosial atau kolom komentar berita dalam jaringan.
"Melihat perlakuan rasialisme dan tuduhan-tuduhan yang sering ditujukan padanya, keheranan saya adalah Serena tidak menjadi lebih pemarah dari sekarang," ujar Edwards.
Meski demikian, keinginan keras untuk terus maju dan menang menjadi inspirasi bagi banyak wanita kulit hitam -- kelompok yang dianggap paling lemah dalam tingkatan sosial di Amerika Serikat.
Pada turnamen AS Terbuka tahun lalu, terdapat empat wanita kulit hitam yang berusia di bawah 21 tahun yang berpartisipasi. Menurut Asosiasi Tenis Amerika Serikat, angkat ini tertinggi sepanjang sejarah penyelenggaraan.
Ibu dari Vickery Liverpool, satu dari empat petenis wanita kulit hitam tersebut, mengatakan pada Bloomberg bahwa anaknya memiliki kesamaan fisik dengan Williams. Namun sang anak lebih nyaman bermain dan menunjukkan kekuatannya karena ia menempatkan Williams sebagai idola.
"Jika Anda merasa terhubung dengan seorang bintang yang memiliki kesamaan fisik dengan diri Anda, maka Anda akan merasa mampu mencapai apa yang ia capai," ujar Liverpool.
(vws)