Jakarta, CNN Indonesia -- Goreng-gorengan menjadi makanan yang akrab bagi penduduk Indonesia. Namun jenis makanan tersebut sangat terlarang bagi para atlet angkat besi, terutama karena bisa membuat mereka mudah lemas.
"(Proses) Menggoreng menurunkan ikatan oksigen sehingga atlet berada dalam kondisi seperti mengantuk dan mudah lemas. Jadi kalau seorang atlet kuat mengangkat beban tetapi biasa makan gorengan, maka potensi maksimalnya belum tercapai," kata mantan penasihat tim Pengurus Besar Persatuan Persatuan Angkat Besi-Binaraga-Angkat Berat Seluruh Indonesia (PB PABBSI) Dr. Phaidon L. Touran kepada
CNNIndonesia.com.
Masalah nutrisi dan asupan gizi sendiri menjadi salah satu hal penting yang harus dijaga oleh seorang atlet. Terutama bagi mereka yang bergelut di dunia angkat besi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain gorengan, makanan yang menurunkan performa mereka adalah karbohidrat sederhana seperti nasi putih, mie ayam, bubur ayam, martabak, donat, bakpau atau roti.
"Karbohidrat sederhana mudah membuat lemas dan mudah ditumpuk jadi lemak," kata Phaidon. "Artinya, jika atlet angkat besi mengonsumsi makanan seperti ini, maka potensi angkatannya tidak akan pernah optimal.
Selain mengendalikan pola makan, atlet juga harus awas dengan persentase lemak tubuh. Kondisi ideal untuk performa yang baik adalah persentase lemak 5% dari berat badan, atau maksimal 4%.
"Lebih rendah dari itu (4%) akan kurang optimal dan beresiko. Beda dengan binaragawan yang boleh memiliki kondisi persentase lemak 3%, seperti Ade Rai saat bertanding. Ini disebabkan karakter pertandingan yang berbeda. Angkat besi harus mengerahkan tenaga maksimal," ucap Phaidon.
Soal asupan kalori, Phaidon menyatakan bahwa hal ini tak bisa disamaratakan kepada setiap atlet. Mereka memiliki kebutuhan kalorinya masing-masing tergantung metabolisme. Atlet yang memiliki metabolisme cepat, membutuhkan kalori lebih banyak. Sementara atlet yang memiliki metabolisme lambat, butuh kalori lebih sedikit.
Yang terpenting, ucapnya, bukan hitungan kalori tapi kecukupan gizi, penggunaan suplementasi yang tepat, serta penyajian yang optimal agar bahan gizi memiliki nilai biologis di dalam tubuh, serta 'nutrient timing' atau kapan memasukkan nutrisi yang tepat dan pada saat apa.
"Misalnya, pelatih harus tau dengan tepat kapan memberi asupan
whey protein kepada atlet agar pemulihan sempurna.
"Pada menit ke berapa sebaiknya atlet berhenti dulu latihan sejenak agar hormon testosteron tidak turun terlalu banyak, dan hormon kortisol tidak naik terlalu tinggi dan nutrisi apa yang sebaiknya diberikan untuk mengoptimalkan kondisi tersebut," tutur Phaidon.
(vws)