Kultur Kekerasan The Jakmania Dinilai Punya Dimensi Berbeda

Ahmad Bachrain | CNN Indonesia
Senin, 27 Jun 2016 17:00 WIB
Antropolog Universitas Indonesia mengingatkan bahwa pemangku kepentingan harus berhati-hati dalam menangani budaya kekerasan suporter.
Pertandingan antara Persija melawan Sriwijaya sempat dihentikan karena ada kerusuhan suporter. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kerusuhan kelompok suporter Persija, The Jakmania, kembali pecah. Dalam laga melawan Sriwijaya FC di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jumat (24/6), terjadi bentrok antara Jakmania dan pihak kepolisian yang menyebabkan pertandingan dihentikan di menit ke-77.

Ini bukan pertama kalinya bentrok serupa terjadi di dunia sepak bola Indonesia. Pada dua bulan terakhir, terjadi empat peristiwa kekerasan yang dua di antaranya menyebabkan korban tewas.

Seorang suporter Persija, Muhammad Fahreza, diduga meninggal akibat dianiaya pihak keamanan, ketika klub ibu kota itu tampil di SUGBK, 13 Mei lalu. Satu pekan berselang, suporter PSS, Stanislaus Gandhang Deswara (16), diduga meninggal akibat bentrokan dengan suporter lainnya di Jalan Magelang KM 14, Triharjo, Sleman, Minggu (22/5) dini hari WIB.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak hanya itu, suporter tim PS TNI juga terlibat bentrokan dengan pendukung Persegres Gresik, Minggu (22/5).

Antropolog Universitas Indonesia, Semiarto Aji Purwanto mencoba mengurai akar masalah budaya kekerasan yang selalu berulang di kelompok suporter, termasuk The Jakmania.

Aji menerangkan, secara umum pendukung sepak bola memiliki dua kecenderungan. "Pertama, suporter mendukung klubnya karena faktor kualitas permainan di lapangan. Fokusnya adalah pada permainan tim," ungkapnya.

Berikutnya, menurut Aji, adalah pendukung klub sepak bola yang berbasis pada artikulasi kepentingan dan identitas beragam komunitas di dalamnya.

Khusus untuk The Jakmania, ia melihat kecenderungan yang kedua karena kompleksitas identitas berbagai macam komunitas kota Jakarta di dalamnya.

"Mungkin bisa dibandingkan dengan Viking (suporter Persib) dan Bonek (Persebaya)," tutur Aji. "Viking atau Bobotoh dikenal dengan identitas kesundaaan, begitu pula Bonek, kental sebagai identitas bagi Arek (Surabaya)."

Sementara untuk Persija, menurutnya, tak lantas bisa disematkan dengan identitas etnis seperti kebetawian saja misalnya. "Tepatnya bukan seperti itu melihat kompleksitas Jakarta dan komunitas-komunitas di dalamnya," terang Aji.

Menurutnya, The Jakmania yang terdiri dari beragam komunitas yang umumnya masyarakat marjinal di Jakarta.

"Kalau dalam konsep psikologi mereka butuh semacam outlet. Artinya, butuh adanya semacam pelampiasan terhadap masalah-masalah keseharian yang dihadapi," terang Aji.

Perlu diketahui, Jakarta yang notabene markas Persija, merupakan 'rumah besar' bagi semua komunitas, etnis, kepentingan dan kelas yang sangat beragam. Setiap perbedaan itu berinteraksi satu sama lain dan membetuk kerumitannya sebagai kota yang sangat plural.

Lebih lanjut, pria berkaca mata itu memandang bahwa realitas fans Persija membutuhkan penyaluran --meski tak selalu demikian-- untuk perasaan ketertindasan mereka.

Aji pun merujuk dimensi lain pada kerusuhan The Jakmania yang terjadi di Stadion Utama Gelora Bung Karno, pada laga Persija melawan Sriwijaya FC, Jumat (24/6) malam WIB.

Ia menegaskan, pihak berwenang perlu melihat preseden sebelumnya. Contohnya ketika Jakmania menuntut pengusutan kasus kematian Muhammad Fahreza.

"Ada perasaan ketidakadilan dan ketertindasan yang menguat yang mereka alami sehingga ada solidaritas kolektif dan membuat mereka harus mencari jalan keluarnya sendiri," ucap Aji.

"Saya yakin (kekerasan) bukan karena saat itu Persija dalam posisi kalah 0-1. Seandainya menang pun, kerusuhan sulit dihindari karena ini bukan menyangkut hasil yang ada di lapangan lagi bagi mereka."

Tak heran jika dikenal pula adanya kelompok sendiri dalam The Jakmania yang kerap disebut 'Rojali' (Rombongan The Jakmania Liar). Mereka biasanya tak berafiliasi pada keanggotaan resmi The Jakmania.

Para 'Rojali' ini juga acap kali dituduh sebagai biang onar yang memenuhi jalan-jalan raya ibu kota tanpa datang ke stadion untuk menyaksikan Persija. Mereka biasanya berada dalam satu rombongan yang menyewa angkutan umum, hingga memenuhi atap kendaraan, sembari menyanyikan yel.

Untuk itu, menurut Aji, dibutuhkan kehati-hatian dari setiap pemangku kepentingan dalam menyikapi setiap konteks itu. "Boleh dibilang, The Jakmania tak seperti suporter klub di beberapa kota seperti Bandung dan Surabaya. Mereka masih mencari bentuknya sejauh ini," tuturnya.

Aji pun mengamati ada perbedaan dari The Jakmania sekarang dibandingkan saat suporter itu pernah digawangi oleh Muhammad 'Gugun" Gunawan.

"Dulu ada upaya dan kesan bahwa The Jakmania memang sasarannya untuk kelas menengah," ungkapnya. Namun, kenyataannya saat ini The Jakmania lebih cenderung disematkan kepada kalangan kelas bawah.

Ia juga menyoroti tindakan yang seharusnya dilakukan aparat kepolisian dalam penanganan terhadap suporter, khususnya The Jakmania. "Kepolisian juga tetap harus bertindak profesional dan netral dalam penanganannya, tanpa sikap represif yang berlebihan," ungkap Aji.

Penerapan hukum juga harus tetap ditegakkan dengan memperlakukan para pelaku kerusuhan suporter sebagai pelanggar hukum.

(vws)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER