Jakarta, CNN Indonesia -- Terjun di dunia sepak bola menjadi pilihan hidup yang tak terelakkan bagi Eduard Tjong. Sebab, darah bola telah mengalir deras sejak masih berada di dalam kandungan ibunda tercinta.
Edu, begitu ia akrab disapa, adalah putra dari Harry Tjong, mantan penjaga gawang tangguh tim nasional Indonesia era 1960-an. DNA sepak bola sang ayah juga membuatnya 'terseret' arus untuk menekuni si kulit bundar.
Semula, sepak bola adalah hobi yang ditularkan sang ayah. Namun, bakat Edu sejak kecil membuat sang ayah mulai serius menempanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bagaimana enggak mau ikut terjun (ke sepak bola). Tiap pagi dan sore ikut ayah latihan ke lapangan. Kebiasaan itu kemudian berlanjut sampai pada akhirnya diseriusi," kata Edu yang ditemui CNNIndonesia di lokasi pemusatan latihan Timnas U-19 di Sawangan, belum lama ini.
Selain Edu, adik bungsunya Billy juga sempat menekuni sepak bola. Tak hanya itu, sang adik perempuan Edu pun menikahi pesepak bola tersohor, Adityo Darmadi, yang sempat mengilap bersama Persija Jakarta.
Dua putera Adityo, yakni Andro Levandy dan Adixi Lenzivio juga merintis karier sebagai pesepak bola profesional. Keduanya sempat berada dalam tim yang sama, Persija, di tahun 2015.
"Anak laki-laki saya, D’stefano juga mulai merintis karier di Persis Solo. Saya tidak pernah memaksakan kehendak kepada anak. Tapi, mungkin memang darah bola sudah mengalir di keluarga kami. Saya tidak mungkin melarang," ungkap Edu.
Ikuti Jejak Sang AyahEdu kecil sempat bermimpi untuk meneruskan peran sebagai benteng pertahanan terakhir di bawah mistar gawang. Namun, impiannya sulit terkabul karena menderita patah tangan ketika SMA.
"Kejadian (patah tulang) itu sempat membuat saya trauma dan khawatir tidak bisa melanjutkan sepak bola," kenang Edu.
Semangat Edu untuk meniti karier sebagai pemain profesional mengalahkan kecemasannya. Setelah sempat beralih ke posisi striker, Edu akhirnya menemukan posisi ideal sebagai gelandang serang.
Pria kelahiran Solo, 1 Januari 1962 itu kemudian menjadi tulang punggung Arseto mulai tahun 1980 ketika ditangani juru taktik asal Belanda, Wiel Coever. Pria bermata sipit dan beperawakan tegap itu turut andil mengantarkan Arseto menjuara Divisi Utama Galatama
Pamornya bersama Arseto membawanya menembus timnas Indonesia. Namun, kariernya bersama tim Merah Putih tidak terlalu mengilap. Serangkaian cedera yang menghantui membuatnya kerap kehilangan kesempatan bersaing di tim utama.
Ia memilih pensiun dari Arseto pada tahun 1998. Setelah sempat membantu Persis Solo, Edu akhirnya memutuskan untuk menimba ilmu kepelatihan pada 1999. Bahkan, ia sempat menjalani kursus di Belanda.
Jebolan Putera Rama Jakarta Timur itu kemudian mencoba peruntungan menjabat asisten pelatih Persikabo Bogor sebelum menangani Persiba Bantul dan Persires Bali Devata.
Pamor Edu sebagai pelatih mulai menanjak ketika menjabat pelatih kepala Persela Lamongan pada 2013. Kemudian berpetualang ke Papua untuk menangani Persiram Raja Ampat pada 2014.
Karier Edu di Persiram tidak bertahan lama karena kompetisi Liga Super Indonesia (ISL) terhenti lantaran kisruh PSSI dan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Edu sempat membesut PS TNI yang tampil di Indonesian Soccer Championship (ISC) 2016. Namun, ia memilih untuk menanggalkan jabatan setelah menuai hasil buruk di pertengahan kompetisi.
Di Balik Bayang-bayang Kesuksesan Indra SjafriKini, Edu mendapat tawaran untuk menangani timnas Indonesia U-19 yang akan berlaga di Piala AFF U-19. Ia hanya memiliki waktu mempersiapkan tim Garuda selama tujuh pekan sebelum tampil di Hanoi, Vietnam, 11 September mendatang.
PSSI yang baru saja aktif dari masa sanksi 'pembekuan' hanya mengontraknya selama dua bulan. Namun, ia tak mau ambil pusing. Karena menurutnya, tawaran menangani timnas adalah tanggung jawab yang harus diemban dengan sukacita.
"Saya tahu risikonya. Sepak bola kita masih belum ideal setelah sanksi kemarin. Saya hanya dikontrak dua bulan. Tapi, saya tak pernah mau menolak kesempatan yang ada. Apalagi menangani timnas," ujarnya.
Edu memang terbebani dengan kesuksesan pelatih Indra Sjafri yang berhasil membawa Timnas U-19 menjuarai Piala AFF 2013. Namun, ia tak minder dan justru termotivasi untuk bekerja lebih keras di waktu yang singkat.
"Beban dari Timnas U-19 sebelumnya pasti ada karena mereka punya prestasi bagus. Tapi, kami mencoba berbuat yang terbaik. Paling tidak, jangan membuat malu karena kita ini bangsa yang besar. Itu saja."
Edu mengaku kagu dengan kinerja Indra bersama skuat Garuda Jaya. Sistem "blusukan" yang dilakukan pelatih asal Sumatera Barat itu dinilai menjadi salah satu kunci keberhasilan Evan Dimas dkk.
"Dia (Indra Sjafri) punya satu hal yang positif dengan datang ke daerah untuk menyeleksi langsung pemain berbakat. Tapi, itu karena dia memiliki waktu dua tahun. Sementara saya hanya punya waktu tujuh minggu. Tidak mungkin menghabiskan waktu dengan cara yang sama."
Kendati demikian, mantan pelatih Persela Lamongan dan PS TNI tersebut berjanji akan berusaha keras untuk mengharumkan Merah Putih di Vietnam.
"Saya sudah melihat video dari lawan-lawan kami untuk bayangan kekuatan mereka. Hanya Australia yang belum kita dapat. Semoga mental anak-anak tidak turun dan mau bekerja keras memberikan yang terbaik," paparnya.
Timnas Indonesia tergabung di Grup B bersama dengan Thailand, Laos, Myanmar, Australia, dan Kamboja. "Target awal adalah lolos grup dulu. Setelah itu baru kita bisa pasang target lebih tinggi lagi," tegas Edu.
(jun)