Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Jika ada satu wajah yang bisa mewakili Olimpiade 2016 kali ini, maka Fu Yuanhui adalah atlet yang akan saya nominasikan. Seorang perenang asal China yang menggemparkan dunia dengan wawancaranya yang kelewat jujur.
Ketika seorang wartawan menyebutkan catatan waktunya ketika merebut perunggu nomor 100 meter gaya punggung adalah 58,95 detik, ia tercengang. Fu dua kali menunjukkan reaksi kekagetan yang merebut hati netizen.
“58,95 detik?” katanya, sembari mengambil napas dalam-dalam dan mata yang melotot tak percaya. “Saya kira itu 59 detik. Saya sangat cepat! Saya sangat senang. Saya telah…saya telah….menggunakan seluruh kekuatan mistis saya. Ini adalah waktu terbaik saya.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Saya menggunakan waktu tiga bulan ini untuk mendapatkan hasil ini. Saya tahu yang telah saya lalui. Masa-masa itu sangat sulit. Saya sempat merasa saya tak mungkin melakukannya. Ada kalanya saya merasa, hidup tak lebih baik dari mati. Tapi, saya sangat senang dengan hasil ini.”
Lewat potongan video wawancara yang kemudian menjadi viral itu, Fu secara gamblang menunjukkan semangat seorang manusia yang ingin menyebut dirinya Olimpian: menjadi lebih cepat lagi, lebih kuat lagi, lebih tinggi lagi. Bekerja hingga ambang batas tertinggi selama berbulan-bulan dan bahkan bertahun-tahun hanya demi mempercepat laju renangnya 0,05 detik—sebuah ukuran waktu yang tak lebih lama ketimbang ketika kita mengerjapkan mata.
Semangat ini juga yang tentunya dimiliki setiap atlet yang datang ke Brasil, tak terkecuali bagi mereka yang kini menyandang status sebagai yang terhebat sepanjang masa seperti Michael Phelps.
Melihat Phelps mendulang emas demi emas memang terasa sebagai kewajaran dalam tiga Olimpiade terakhir. Namun setelah memenangi nomor favoritnya, 200 meter gaya kupu-kupu, secara terang-terangan ia mengakui: “Tubuh saya kesakitan, kaki saya terasa sangat sakit. Saya sangat lelah.”
Berbincanglah dengan Susy Susanti, maka ia akan menceritakan bagaimana emas Olimpiade pertama Indonesia direbut lewat proses yang benar-benar tak mudah.
Untuk melatih servis, setiap harinya Susy akan berusaha memasukkan 100 shuttlecock pada sebuah kotak yang ia tempatkan di sudut lapangan, secara berurutan. Jika satu saja gagal, maka ia akan mengulangi dari hitungan pertama.
Susy bukan manusia setengah dewa. Tapi Olimpian yang paham benar bahwa kejayaan adalah wajah lain sebuah keping bernama penderitaan.
Dan dalam kisah para Olimpian itulah tersembunyi harga mahal yang harus dibayar untuk mendapatkan sebuah medali emas Olimpiade – proses latihan yang ditebus oleh fisik maupun material.
Harga Sebuah Medali EmasJoseph Schooling mengagetkan dunia ketika ia menjadi perebut medali emas pertama Singapura dalam sejarah. Turun di nomor 100 meter gaya kupu-kupu, ia mengalahkan sang Olimpian pengoleksi emas terbanyak sepanjang masa, Michael Phelps.
Singapura sendiri berutang banyak pada orang tua Schooling atas pencapaian ini.
Sejak usia 14 tahun, Schooling belajar di sekolah Bolles – sekolah renang yang memiliki sistem High Performance Management yang didukung oleh sport science yang melahirkan atlet-atlet tingkat dunia. Diberitakan Asia Finance, orang tuanya harus membayar uang sekolah US$63 ribu setiap tahun, atau Rp830 juta per tahun.
Setelah lima tahun dididik Bolles, Schooling kemudian pindah ke Universitas Texas yang biayanya mencapai US$68 ribu setiap tahun. Jika ditotalkan dengan pengeluaran transportasi dan akomodasi, orang tua Schooling mengeluarkan hingga US$1,34 juta, atau setara Rp17,6 miliar, untuk membuatnya menjadi seorang perebut emas.
Di sekolah itu, Schooling menjajal 5.000-7.000 meter setiap sesi latihan, ditambah dengan jam demi jam di pusat kebugaran untuk memperkuat otot-ototnya.
“Latihan-latihan itu membuat tubuh saya sangat kesakitan. Rasa sakit paling terasa adalah ketika saya bangun di pagi buta ketika cuaca dingin, namun harus menyemplungkan diri ke kolam yang lebih dingin lagi,” kata Schooling.
Namun, untuk menjadi atlet yang mengalahkan para perenang kelas dunia, maka Schooling memang terlebih dahulu harus menjadi produk sistem kelas dunia.
Jika kisah Schooling berada pada tataran individual, maka Britania Raya punya cerita bagaimana negara menyokong atlet-atletnya menjadi lebih digdaya.
Sebelum Olimpiade Atlanta 1996 silam, pemerintah Britania Raya hanya mengeluarkan dana £5 juta per tahun, untuk menyokong para atlet elitnya. Mereka menyelesaikan Olimpiade 1996 dengan berada di urutan ke-36.
Jelang Olimpiade 2012, pemerintah Inggris telah mengeluarkan £264 juta per tahun, atau setara Rp4,54 triliun, untuk para atlet elit mereka. Dana ini didistribusikan kepada cabang-cabang olahraga yang menjadi prioritas, di antaranya adalah dayung, bersepeda, renang, atletik. Pusat-pusat latihan pun dibangun. Pelatih terbaik di datangkan. Penelitan ilmu keolahragaan dikembangkan.
Hasilnya Inggris terus memetik emas di nomor-nomor tersebut pada dua Olimpiade terakhir. Mereka bahkan menyelesaikan Olimpiade 2016 di peringkat dua dunia, mengalahkan China sebagai satu-satunya negara yang bisa menguntit Amerika Serikat selama satu dekade terakhir.
Jepang bertekad mengulangi hal sama. Terpilih menjadi tuan rumah Olimpiade 2020, sejak 2015 lalu Jepang telah merancang berbagai program untuk menambah pundi-pundi emas mereka yang hanya 12 medali dari Rio De Janeiro. Perdana Menteri Shinzo Abe bahkan memberikan tempat bagi seorang Menteri Olimpiade di kabinet pemerintahannya – untuk mensukseskan baik prestasi maupun penyelenggaraan ajang olahraga terbesar di dunia tersebut.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Meski sukses mengembalikan tradisi emas Olimpiade lewat Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir, dunia olahraga Indonesia sesungguhnya menghadapi lampu kuning jelang Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang.
Dampak pemangkasan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara membuat Satlak Prima sebagai ujung tombak pembinaan atlet di level elite, merana. Mereka hanya mengantongi Rp274 miliar untuk tahun 2016. Rencana try-out dan pengiriman atlet ke luar negeri untuk latihan, sebagaimana dituturkan Kasatlak Prima Ahmad Sutjipto, terpaksa diubah besar-besaran.
Padahal, dalam soal pembinaan, elemen waktu menjadi satu hal yang tak bisa diganggu-gugat. Tak boleh ditawar-tawar. Berjaya di tanah sendiri pada 2018 nanti semestinya ditebus dengan sistem pembinaan yang dirancang jauh-jauh hari. Bukannya menghadapi persoalan kekurangan peralatan hanya dua tahun sebelum Asian Games dimulai.
Di Asian Games 2014, Indonesia hanya mendapatkan empat emas dan menduduki peringkat 17. Sementara itu, target Satlak Prima yang juga diamini Kemenpora, adalah menembus peringkat 10 besar Asia.
Lagi-lagi, ini bukan persoalan gampang. Apalagi target ini perlu dicapai ketika Kemenpora dan pemerintah sedang sibuk-sibuknya memastikan seluruh proyek infrastruktur dan promosi Asian Games 2018 berjalan tanpa terhambat sedikitpun, mengingat tenggat waktu yang semakin terlihat ujungnya. Presiden Komite Olimpiade Asia, Wei Jizhong, bahkan sampai menyebutkan bahwa Indonesia harus mengeluarkan upaya yang sangat ekstrem agar Asian Games terlaksana tanpa kendala.
Bukan saja memutar akal. Tapi harus bergegas, bergegas, dan bergegas. Sebagaimana para Olimpian, pemerintah pun perlu melihat dan menghargai waktu dalam dimensi yang berbeda. Bahwa memangkas satu hari saja yang bisa menghalangi program latihan atlet, adalah kerja besar yang harus ditebus dengan penderitaan.
Sekali saja terlambat melangkah, iming-iming bonus Rp5 Miliar untuk setiap atlet pun mungkin tak lagi cukup untuk menghalangi agar emas tak direbut di negeri sendiri.
(dlp)